Banyak Naskah Aceh yang Dapat Diajukan ke UNESCO

Banyak Naskah Aceh yang Dapat Diajukan ke UNESCO
Filolog Aceh Hermansyah pada seminar Gelar Karya Besar Hikayat Aceh dan Hamzah Fansuri Memory of The World UNESCO di Museum Aceh, Banda Aceh pada Sabtu, (24/5/2025). Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Banyak naskah Aceh yang dapat diajukan ke UNESCO supaya menjadi bagian dari naskah dunia, berikut tokoh-tokohnya yang berkarya di masa lalu. Salah satunya Syamsuddin as-Sumatrani yang namanya masyur di Malaysia.

“Bila serius, banyak naskah klasik Aceh yang berkaliber internasional, sebagai jejak masa lalu betapa peradaban Aceh gilang-gemilang,” kata Filolog Aceh Hermansyah, dalam diskusi seminar dan pameran “Gelar Karya Besar Hikayat Aceh dan Hamzah Fansuri Memory of The World UNESCO” di Museum Aceh, Banda Aceh pada Sabtu, (24/5/2025).

Dalam acara yang digelar oleh Majelis Seniman Aceh (MaSA), alumnus magister filologi Aligarh Muslim University tersebut menyampaikan saat ini dua naskah Aceh yang telah mendunia yaitu Hikayat Aceh, dan Syair Hamzah Fansuri. Kedua naskah tersebut telah masuk dalam pengakuan UNESCO.

Kedua naskah tersebut mendapatkan pengakuan dunia, bukan karena kerja keras Pemerintah Aceh. Dia mengibaratkan kedua pengakuan itu berupa boh manok mirah –anugerah yang disajikan tanpa perlu bekerja keras—

“Kedua naskah itu jatuh dari atas. Mahakarya yang dibuat di masa lalu, tanpa perlu pemerintah bekerja keras. Istilahnya Boh manok mirah,” kata Hermansyah.

Kedua naskah tersebut sampai ke level internasional, berawal dari ikhtiar sejumlah orang di Aceh dan di Jakarta. Sehingga pada 24 Mei 2023, terbit sertifikat dari UNESCO. 

Meski sertifikat UNESCO tetaplah berupa kertas, tapi menjadi modal besar untuk Aceh. Hikayat Aceh dan Syair Hamzah Fansuri –keduanya berbahasa Melayu—menjadi pembuka promosi besar untuk Aceh supaya dipandang oleh dunia.

Baca juga: Tari Prang Sabi Bangkitkan Romantisme Dalam Khauri Hikayat Aceh

Dengan sertifikat tersebut, Aceh sudah satu peringkat dengan negara-negara luar yang memiliki peradaban tinggi. Jadi kemana saja boleh dipromosi.

“Prosesnya sangat panjang. Sejak 2017 saya dan kawan-kawan memulai jalan panjang menggapai pengakuan internasional,” katanya. 

Terkait Naskah Aceh, Hermansyah mengatakan terdapat dua  varian. Pertama naskah-naskah yang diterbitkan di Kerajaan Aceh seperti Adat Aceh, Hikayat Aceh, dan Bustanus Salatin.  Ketiga Naskah Aceh tersebut sangat terkenal. Tapi cakupannya di level Kerajaan. 

Kedua, Naskah Aceh yang diterbitkan melalui dayah-dayah. Berupa kitab-kitab –yang kini klasik-serta hikayat-hikayat. Varian karya cendekiawan dayah lebih banyak, dan penyebarannya lebih luas di masyarakat. Di Museum Aceh terdapat lebih 30 naskah Kitab Siratal Mustakim. Sementara Bustanus Salatin hanya tersedia satu bab dari tujuh bab. 

Saat ini di Museum Aceh terdapat 1.600 naskah yang menanti dikaji lebih lanjut. Beragam judul tersedia. Dengan keberagamannya, menjadi bukti bila masih banyak yang dapat digali dari Aceh. 

“Jadi itu menjadi tugas kita sekarang. Memunculkan Bahasa Aceh, sastra Aceh, ke tingkat lebih tinggi,” katanya.

Dia menyoroti tentang karya Hamzah Fansuri yang begitu banyak di Malaysia. Sedangkan di Aceh koleksinya sangat terbatas. Bilapun dikumpulkan dari Museum Ali Hasjmy, Museum Aceh, dan koleksi di tangan masyarakat, jumlahnya masih kalah ketimbang di Malaysia. 

Pemerintah Aceh perlu melakukan penelusuran hingga ke Padang. Karena persebaran naskah karya Hamzah Fansuri juga banyak ke sana. Di Aceh yang ditemukan hanya lembaran-lembaran terpisah. Satu atau dua lembar. 

Kenapa banyak ke Padang? Karena dibawa lari saat perang Aceh. 

Juga ada Syair Jawi Filbayan yang jarang dikaji peneliti luar. Mengapa jarang dikaji? Mungkin karena naskahnya jarang ditemukan. Juga ada syair burung unggas, dan syair burung punai. 

Dengan beragamnya naskah Aceh, Hermansyah mengatakan bahwa banyak yang dapat diajukan kepada UNESCO. Jalannya dapat dilalui dengan bekerjasama dengan Ingatan Kolektif Nasional (IKON) di bawah Perpustakaan Nasional (Perpusnas). Lembaga tersebut baru berdiri lima tahun lalu. Tugasnya menginput semua data-data naskah yang memiliki nilai tinggi, yang masih disimpan masyarakat. Kemudian IKON mengajukannya ke UNESCO.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here