Banjir Pergi, Kelaparan Massal Mengancam Aceh

Banjir Aceh kelaparan massal warga terdampak
Muhajir Juli. Foto: Dok. Komparatif.id.

Kelaparan massal mulai merambat ke dalam rumah-rumah warga terdampak banjir Aceh. Menyatu dengan korban yang masih terisolasi di Tamiang, Bener Meriah, dan Aceh Tengah.

Hari ke-9 bencana banjir Aceh, suara rintih kelaparan bukan lagi datang dari korban yang mengungsi. Tapi mulai terdengar di dalam rumah-rumah penduduk yang terdampak banjir.

Sejak hari kelima pasca-banjir, saya sering mendapatkan kabar tentang krisis pangan dari warga yang tidak mengungsi. Stok beras menipis, minyak goreng menipis, gas elpiji tak ada, dan kantong-kantong mereka yang sudah lama tidak pernah bersilaturrahim dengan lembaran fulus.

Baca: 50 Persen Gampong di Aceh Terdampak Banjir dan Longsor

Kabar itu datang dari Pidie Jaya, Bireuen,Aceh Utara, Aceh Timur, dan seterusnya.

Mereka yang tidak mengungsi, tidak dilupakan oleh pemerintah. Setidaknya itu yang saya ketahui, berdasar informasi yang saya terima sebagai wartawan. Mereka yang tidak mengungsi akan diperhatikan kemudian. Tapi, ya ada tapinya, setelah semua proses selesai.

Pemerintah [untuk saat ini] tidak mengurus warga terdampak, karena jumlah mereka sangat banyak. Sumber daya pemerintah sangat terbatas; DAN sedang fokus menangani korban yang terisolir, dan yang mengungsi.

Bahkan, di Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tamiang, terdapat banyak sekali warga Aceh yang belum dievakuasi karena terjebak di dalam desa terpencil, jauh dari peradaban modern.

Pemerintah lamban? Ya. Pemerintah tak peduli? Bukan. Pemerintah Aceh dan Kabupaten/kota bekerja menanganinya. Ada yang sudah angkat bendera putih. Ada yang tetap teguh bergerak.

Gubernur Aceh H. Muzakir Manaf pada Kamis (4/12/2025) menimpali atas keputusan beberapa bupati yang memilih membuat surat sakti; pernyataan tak mampu lagi menangani bencana ini.

Gubernur bilang, bila tak mampu, sebaiknya mundur saja. Keren! Tapi, apakah Gubernur Aceh dan bupati dan walikota yang tak angkat bendera putih, akan mampu?

Ini bencana besar. Tsunami darat. Demikian pantas diberi nama. Daya rusaknya sangat luar biasa. Meluluh lantakkan belasan kabupaten/kota di Aceh. Demikian juga di Sumut dan Sumbar.
Saat ini, hingga hari ke-9, masih ada korban yang belum tersentuh evakuasi.

Para korban di pelosok Tamiang, wilayah tengah Aceh, masih banyak yang tak tahu harus berbuat apa. Mereka lapar, takut, dan sebagian mulai sakit-sakitan.
Belum pun proses evakuasi selesai seluruhnya, muncul masalah baru. Warga terdampak mulai krisis ekonomi. Mereka yang tinggal di dalam rumah-rumah, kini terancam kelaparan. Mereka tidak punya uang.

“Bila besok logistik mulai lancar masuk, kami tetap tak punya uang untuk membelinya,” sebut seorang warga Pidie Jaya. Suara yang sama datang dari Bireuen, Aceh Utara, Lhokseumawe, dan lain-lain.

Sebelum bencana banjir bandang menerjang pada 26 November 2025, kondisi ekonomi rakyat Aceh sudah porak-poranda. Mereka hidup dalam mode sangat irit. Begitu banjir bah datang menerjang, ekonomi rakyat Aceh langsung terjungkal.

Hari ini, Jumat (5/12/2025) kelaparan di dalam rumah tangga warga terdampak semakin banyak. Aceh menuju kelaparan massal. Pemerintah Aceh kewalahan menanggulangi. Pemerintah Pusat tetap menolak menetapkan status bencana nasional untuk banjir Aceh dan Sumatra.

Satu pertanyaan timbul? Mengapa Pusat menolak menetapkan banjir Aceh dan Sumatra sebagai bencana nasional? Bila Pusat merasa percaya diri mampu menanganinya, sata bilang NO! Sampai hari ke-10, tiga kabupaten terparah belum bisa ditangani.

Jangankan warga terdampak, korban langsung saja masih sangat banyak yang belum dievakuasi. Mereka kelaparan di dalam isolasi alam.

Satu fakta yang harus diketahui, Kelaparan massal rakyat yang lebih luas semakin bergerak cepat.

Lambung -lambung mereka yang terdampak mulai kosong satu persatu, membersamai korban di Tamiang, Bener Meriah, Aceh Tengah, Dll, yang hingga hari ke-10 belum dapat dievakuasi.

Bila tak ditangani dalam tempo secepat-cepatnya, Aceh akan menjadi Ethiopia di masa lampau. Mati satu persatu karena lapar. Terkapar satu persatu karena tak memiliki makanan.

Artikel SebelumnyaPemerintah Aceh Instruksikan SKPA Pangkas Anggaran Untuk Penanganan Banjir
Artikel SelanjutnyaBank Aceh Sediakan WiFi dan Charge Gratis untuk Warga Banda Aceh
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here