Komparatif.ID, Banda Aceh—Meskipun berjumlah sangat banyak, UMKM Aceh belum dapat berbicara banyak di pasar. Mereka masih menjadi peserta pameran yang digelar pemerintah dan lembaga di bawah pemerintah. Setelah pameran hidupnya kembali ke setelan pabrik; hidup segan mati tak mau.
Menurut data Dinas Koperasi dan UMKM Aceh, jumlah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UKMM) di Provinsi Aceh 624.521. UMKM berstatus mikro mencapai 622.394 unit, berstatus kecil 1.839, dan yang berstatus menengah hanya 288 unit.
Baca:Dilema Kopi Gayo, Devisa Triliun, Ekspor Masih Bahan mentah
UMKM Aceh Butuh Finishing Touch
70 Persen Kebutuhan Pangan Aceh Masih Bergantung dari Luar
Perihal jumlah, sedikit berbeda dengan yang disampaikan Direktur UKM Center Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK, Iskandarsyah Madjid, dalam diskusi online Task Force UMKM Aceh, Sabtu (17/5/2025). Akademisi tersebut menyampaikan jumlah UMKM Aceh 424.000 unit, dengan 423.000 di antaranya merupakan usaha mikro dan mayoritas pelakunya adalah perempuan.
Dalam diskusi online tersebut, sejumlah pembicara menyoroti betapa UMKM Aceh belum bisa bicara banyak di tingkat pasar. Ke luar tak mampu bersaing, ke dalam kalah bersaing.
Mantan Direktur Utama PT Pembangunan Aceh (PEMA) Perseroda Ali Mulyagusdin yang disapuk sebagai salah seorang pembicara mengatakan pelaku UMKM Aceh tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri menghadapi persaingan di pasar. Mereka membutuhkan dukungan yang serius dari stakeholder lain; utamanya pemerintah.
Dalam konteks perekonomian, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) seperti PT PEMA harus berperan serius dalam mendorong UMKM naik Kelas. BUMD harus mengambil peran penting sebagai agregator dan katalisator dalam pengembangan usaha UMKM.
Perusahaan daerah harus mengambil peran penting dalam lima hal fundamental. Yaitu akses pasar, pendanaan, riset dan pengembangan (research and development), kolaborasi akademik, serta penguatan sumber daya manusia.
“Kelima unsur tersebut harus dapat diintegrasikan dalam setiap program BUMD, supaya UMKM bukan hanya tumbuh tapi juga mampu bersaing di tingkat nasional dan global.
Bagaimana saat ini? Ali Mulyagusdin mengatakan pasar-pasar potensial di wilayah barat dan utara Aceh masih lebih banyak diisi oleh produk negara tetangga seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Produk yang dihasilkan oleh berbagai UMKM di Aceh belum mampu menjadi tuan rumah yang terhormat di kampung halamannya.
“Sebenarnya kita punya pasar besar di north Aceh dan sisi barat, tapi justru kita yang dilewati. Entah kita mengabaikannya atau memang terlewati oleh keputusan strategis dari pemegang kebijakan,” katanya.
Di tingkat lebih tinggi, Ali melihat bahwa perekonomian Aceh, sektor usaha di Aceh masih sangat kurang terhubung dengan dinamika perdagangan internasional. Ini dapat dilihat dari minimnya dampak langsung UMKM di Aceh, Ketika terjadi krisis global seperti perang Rusia-Ukraina, konflik Israel-Palestina, dan perang dagang Amerika Serikat versus China.
“Bila kita tidak merasakan apa-apa Ketika dunia gonjang-ganjing, artinya kita memang belum terhubung [ke pasar global],” katanya.
Ali menekankan pentingnya memperbaiki rantai nilai dan rantai pasok agar produk UMKM Aceh bisa masuk dalam skema perdagangan internasional. Ia mencontohkan program bernama Rampago (Rangkai Angkat UMKM untuk Pembangunan Dagang Regional) yang pernah ia inisiasi saat aktif di PT PEMA.
Program ini, kata Ali, mencoba menjadi penghubung antara UMKM dan pasar yang dimiliki mitra bisnis BUMD tersebut, termasuk melalui kontrak pembelian langsung.
Dalam model ini, BUMD tidak mengambil alih peran UMKM, melainkan berfungsi sebagai agregator, mempertemukan antara mitra bisnis dengan UMKM lokal.
“Tujuan kita bukan menciptakan saingan baru untuk UMKM, tapi justru membantu UMKM agar bisa naik kelas. Kalau BUMD sehat dan mitranya kuat, maka pembelian-pembelian souvenir, konsumsi rapat, hingga bahan kebutuhan operasional bisa diserap langsung dari UMKM,” jelasnya.
Namun, Ali tidak menampik adanya tantangan. Salah satunya adalah standar kualitas produk, kapasitas produksi, dan kesiapan sumber daya manusia di kalangan UMKM. Untuk itu, ia mengusulkan BUMD menjadi fasilitator yang membantu UMKM memenuhi standar HSE (Health, Safety, Environment), serta membantu menyediakan konsultan dan pelatihan teknis.
Ia juga menyinggung pentingnya pemanfaatan sistem digital untuk perdagangan, di mana BUMD seharusnya menyediakan marketplace B2B, bukan B2C.
“Ini bukan untuk jualan ke end user. Tapi seperti e-katalog pemerintah, di mana mitra BUMD bisa membeli langsung dari UMKM lokal. Jadi pembeliannya lebih terstruktur dan konsisten,” katanya.
Salah satu kunci dalam skema ini adalah adanya Purchase Order (PO) atau kontrak jangka panjang yang bisa dijadikan agunan oleh UMKM Aceh untuk mendapatkan pembiayaan dari perbankan. Menurutnya, inilah yang selama ini membuat bank ragu membiayai UMKM: tidak adanya kepastian pembeli.
“Kalau PO itu ada, dan jelas siapa pembelinya, maka bank tidak perlu khawatir. Ini bentuk sinergi nyata antara BUMD dan lembaga keuangan,” katanya.
Ali juga menggarisbawahi pentingnya peran dana CSR BUMD dan mekanisme pendampingan awal untuk membantu UMKM mengatasi hambatan-hambatan struktural. Ia menyebut bank daerah seperti Bank Aceh dan BPRS Mustaqim harusnya bisa menjadi pendukung utama,karena secara struktural memiliki keterkaitan langsung dengan BUMD provinsi dan kabupaten.
Menutup pemaparannya, Ali memberikan catatan kritis bahwa keberhasilan skema ini sangat bergantung pada keberlanjutan implementasi. Ia mengaku tidak mengetahui bagaimana perkembangan terakhir dari program Rampago, karena sudah tidak lagi aktif di BUMD. Namun ia berharap, apa yang sudah dirintis bisa dijadikan model dan direplikasi oleh BUMD-BUMD lainnya.
“Saya kira kita punya potensi luar biasa. Tapi potensi itu harus dijemput dengan desain strategis yang jelas dan eksekusi yang konsisten. Jangan sampai kita terus jadi pasar, terus jadi penyedia bahan baku, tapi nilai tambahnya dinikmati oleh daerah lain,” pungkasnya.