Ayah Ubit, Seniman Besar yang Merawat Keacehan

Ayah Ubit, Seniman Besar yang Merawat Keacehan
Ayah Ubit dan istri. Foto: FB Ahmad Dadek.

Nama Ayah Ubit begitu akrab di telinga masyarakat Aceh. Lahir tahun 1940 dari pasangan Keurani Hanafiah dan Hj. Manieh, ia bukan berasal dari keluarga seniman besar, melainkan tumbuh sebagai seorang pedagang kecil yang berkeliling menjajakan barang rumah tangga.

Namun di balik kesederhanaannya, ia menyimpan bakat luar biasa: seniman sejati dengan jiwa ke-Aceh-an yang kental.

Setiap sore, Ayah Ubit berkeliling dengan becak barangnya, ditemani anak yang mengayuh pedal, sementara ia bernyanyi sambil memukul-mukul dandang, panci, atau ember yang dijajakan. Suaranya merdu, syairnya jenaka sekaligus menyentuh hati—hingga sering membuat ibu-ibu rumah tangga “tergoda” untuk membeli dagangannya. Musik baginya bukan sekadar hiburan, tetapi nafkah, filosofi hidup, sekaligus medium perjuangan.

Dalam perjalanan hidupnya, Ayah Ubit menciptakan lebih dari dua puluh lagu yang sangat populer di Aceh, di antaranya Geunang Geudong, Jambo-Jambo, Raja Si Ujud, Bungong Kupula, Cakra Donya, Seumangat Juang, hingga Cahaya Buleun Trang. Lagu-lagunya menampilkan warna kehidupan rakyat, keindahan alam, cinta, perjuangan, dan humor khas Aceh. Tidak heran bila hingga kini, karya-karyanya tetap melekat di ingatan seniman maupun masyarakat.

Baca juga: Asal Usul Nama Meulaboh

Ayah Ubit memulai karier bermusiknya dalam band lokal Getaran Sukma di Meulaboh, lalu sempat bergabung dengan orkes INDOMO dan band Melati, sebelum kembali lagi ke Getaran Sukma. Di masa mudanya ia dikenal sebagai “anak band” yang bisa memainkan gitar, akordeon, biola, dan gendang. Namun, yang paling dikenang bukan hanya kepiawaiannya memainkan alat musik, melainkan syairnya yang berjiwa Aceh. Ia bahkan pernah menegur sahabatnya, Amiruddin Aly, yang mencoba mencipta lagu bergaya Sunda,

“Buat lagu itu yang punya jiwa Keacehan,” katanya.

Kehidupannya penuh warna—dari berdagang barang aluminium, sempat beralih menjual rokok (Rukok Cap Tumbak tercipta di masa ini), hingga kembali berdagang sambil bernyanyi. Pemerintah daerah sempat memberikan penghargaan (1979) berkat dorongan tulisan Isnu Kumbara di harian Aceh Post, tapi persoalan hak cipta selalu menghantuinya.

Rekaman lagunya sempat diedarkan tanpa mencantumkan namanya, membuat keluarganya kecewa.

Di balik itu semua, Ayah Ubit tetap dikenal humoris, hangat, dan sederhana. Ia memberi nama anak-anaknya unik, mulai dari Hamid Mustika, Norwegia, Wahidin, hingga Pocut Aja Syarifah Nurleili. Bagi keluarganya, ia adalah ayah penyayang yang suka menggoda dengan syair lagu di rumah.

Ayah Ubit wafat secara tenang tahun 1992 pada usia 52 tahun, ditemukan keluarganya dalam keadaan sudah kaku usai tidur siang. Lagu terakhir yang ia nyanyikan di panggung adalah Semangat Juang, sementara lagu terakhir ciptaannya berjudul Cahaya Buleun Trang.

Makna Kehidupan Ayah Ubit

Ia adalah simbol seniman rakyat: sederhana, namun karyanya besar dan melekat di hati masyarakat. Falsafah hidupnya adalah perjuangan, yang tercermin dalam syair-syairnya. Ia mengajarkan bahwa seni lahir dari keikhlasan dan cinta budaya sendiri, bukan sekadar meniru gaya luar. Meski tidak pernah menikmati legalitas karya secara penuh, warisan lagu-lagunya adalah harta budaya Aceh yang abadi.

***Artikel ini telah tayang di linimasa Facebook Teuku Ahmad Dadek.

Artikel SebelumnyaKolom: Kenaikan Pajak Jeungki 25 Persen
Artikel SelanjutnyaSeorang Warga Juli Curi ATM Teman, Kuras Rp94 Juta Untuk Beli Motor dan Judol
T. Ahmad Dadek
Warga Meulaboh, Aceh Barat. Perencana Ahli Utama Pemerintah Aceh.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here