Arwah Abu Din ke Jambo Madat

arwah abu din
Ilustrasi. Dibuat oleh AI Meta.

Kematian Abu Din karena menabrak double drum roller alias moto gileng milik Dinas Pekerjaan Umum, beredar secara cepat di tengah masyarakat. Para pelanggan jambo madat berduka. Apa pun cerita, Abu Din merupakan sosok karismatik di antara pecandu.

Karena duka, beberapa di antaranya tidak datang ke jambo madat untuk beberapa malam. Hanya dua orang yang tetap datang dan mabuk di sana. Bagi dua pria itu, sosok karismatik itu hanyalah masa lalu.

***

Suasana jambo madat pada malam itu terasa sangat dingin. Angin dari sungai yang mengalir mengalun, membelai perlahan tiap apa saja yang dilaluinya.

Sekitar pukul 00.00 WIB, terdengar suara langkah dari arah sungai. Lamat-lamat terlihat seorang pria berjanggut, memakai kopiah hitam pudar, dan di pinggangnya dililit sehelai sarung warna biru bermotif kotak.

Baca: Abu Din dan Hantu di Turunan Jalan

“Abu Din?” kata Dolah Kameng Landok, setengah berbisik.

Karim Ija Andok menoleh ke jalan setapak. Ia juga kaget.

“Iya, itu Abu Din.” Katanya dengan suara gemetar.

Pria berjanggut itu terus melangkah. Tak ada yang beda, semuanya seperti malam-malam lainnya.

Pria tua itu duduk di kursi panjang yang dibuat dari bambu. Kursi itu sudah reyot. Itu tempat favorit Abu Din.

Dolah Kameng Landok dan Karim Ija Andok yang duduk di dekat perapian, tidak kuasa berdiri. Lulut keduanya gemetar.

Mereka memperhatikan wajah Abu Din. Terlihat dingin dan pucat. Sembari duduk, pria itu berkali-kali terlihat seperti kedinginan.

“Karim, tolong kau siapkan sebatang candu untukku. Sudah sebulan aku tidak mengisap candu,” kata Abu Din kepada Karim. Dia tidak menoleh, hanya bicara saja. Wajahnya menunduk.

Lutut Karim semakin gemetar ketika namanya disebut oleh Abu Din.

“Bagaimana ini, Lah? Bukankah dua hari lalu dia telah mati, dan kita menyaksikan penguburan jenazahnya?” kata Karim setengah berbisik.

Dolah Kameng Landok tindak menjawab. Wajahnya terlihat tegang. Lututnya juga gemetar. Jarak antara mereka dengan Abu Din hanya tiga meter. Sangat dekat.

“Karim! Apa kau dengar kataku tadi?” sergah Abu Din. Pemadat senior itu marah. Tak biasanya Karim tidak cekatan.

“Karim!”

Karim Ija Andok dan Dolah Kameng Landok, secara serentak melompat ke luar jambo madat dan lari sekencang-kencangnya.

“Abu Din bangkit dari kubur!” teriak keduanya sembari lari.

Sejumlah pria yang sedang berjaga di pos ronda, terkejut ketika melihat dua pemadat itu lari tunggang-langgang.

“Abu Din datang ke jambo madat!” teriak Karim.

Para petuga ronda tidak percaya. Dari awalnya terkejut, kini mereka justru tertawa.

“Masa iya orang mati hidup lagi. Ada-ada saja,” sebut Karia Geulanteu.

“Mungkin mereka sedang fly, sehingga lembu pun dikira Abu Din,” celetuk Mae Prabot.

“Tapi kan, semasa hidupnya, Abu memang seperti lembu kan?” celetuk Karia.

Mendengar kalimat yang disampaikan Karia, lima penjaga malam tergelak.

Mereka pun kembali mengobrol tentang kebun kedelai yang semakin gencar dirusak oleh babi. Semenjak Poltak Toke Bui tak lagi datang membeli babi, jumlah babi hutan semakin banyak di kampung mereka.

“Serba salah hidup di kampung. Babi hama tanaman. Poltak Toke Bui hama bagi babi. Tapi Teungku Rih melalui khutbahnya mengatakan menjual babi hukumnya haram. Mengambil upah berburu babi, uangnya tidak halal,” kata Mae Prabot sembari menyundut sebatang kretek.

“Padahai sebelum khutbah itu disampaikan, hasil kebun kita sudah sangat mengembirakan. Poltak Toke Bui pun senang. Dia selalu membawa pulang ke Medan babi hutan dalam jumlah besar,” kata Mae Prabot.

Karia Geulanteu tidak menimpali. Pandangannya lurus ke jalan desa. Nun di ujung, di bawah terang bulan, dia melihat seseorang sedang berjalan. Dari cara berjalan, sepertinya Abu Din. Tapi bukankah ia telah dikuburkan dua hari sebelumnya?

Karia Geulanteu melirik ke dua temannya yang sudah tertidur. Dia juga melihat ke Mae Prabot yang sedang menggerutu.

“Mae, kamu percaya tidak, bahwa ada orang yang setelah dikubur, bangkit lagi dari kuburnya?”

“Kamu ini, aku lagi curhat soal hama babi, kamu malah menanyakan sesuatu yang mistik. Kamu pikir aku ahli alam gaib?”

“Bukan gitu, Mae! Itu di jalan, kau lihatlah, siapa yang sedang berjalan ke arah kita.”

Aneuk sampilit mie jih! Itu kan Abu Din!”

“Itulah, sepertinya aku harus segera lari,”kata Karia Geulanteu.

“Sudah tak ada waktu, dia sudah dekat,” kata Mae Prabot. Dia bergegas memegang Karia supaya tidak lari.

Setengah menit kemudian, Abu tiba di pos ronda.

Dia langsung duduk di balai-balai. Tak ada kalam. Dia duduk membelakangi Karia dan Mae Prabot.

Karia Geulanteu tak kuasa lagi bertahan. Tanpa sadar dia kencing di celana. Kencing itu mengalir dan mengenai tubuh dua temannya yang sedang tidur. Mereka terbangun.

Begitu hendak menggerutu, suara mereka tercekat di kerongkongan. Di depan mereka, Abu duduk sembari menunduk.

Dua menit kemudian, perlahan Abu bicara.

“Apakah kalian melihat Karim tadi?” suaranya pelan, tanpa intonasi, tapi sangat meneror.

“Iya, Abu, Dia lari ke sana,” kata Karia sembari menunjuk ke selatan.

“Tadi kamu bilang aku seperti lembu ya?” kata Abu Din. Seketika ia menatap tajam ke Karia. Karia pingsan.

Mae Prabot secepat kilat melompat dari atas pos jaga, dia lari tunggang-langgang. Tinggallah dua temannya yang baru bangun.

Dua pria muda itu tak berjarak dengan Abu Din. Mereka kehilangan kata-kata. Tiga jurus kemudian, mereka pun ikut pingsan.

Catatan redaksi: Seluruh konten rubrik Mistik, hanyalah sekadar hiburan. Bila ada kesamaan nama, tempat dan peristiwa, semuanya kebetulan belaka. 

Artikel SebelumnyaImam Salat Tidak Becus, Boleh Ditampar?
Artikel SelanjutnyaUsai Bertengkar Dengan Suami, Seorang Warga Lueng Bata Lompat ke Krueng Aceh
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here