Komparatif.ID, Banda Aceh— Ketua Tim Revisi UUPA DPR Aceh, Anwar Ramli, menyampaikan secara ideal seharusnya terdapat 193 pasal dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang perlu diubah agar benar-benar selaras dengan MoU Helsinki.
Namun, dalam perjalanannya, tim legislatif memilih untuk hanya mengusulkan revisi pada sembilan pasal yang dinilai paling esensial dan realistis untuk diperjuangkan dalam waktu dekat.
Keputusan ini, menurut Anwar, bukanlah bentuk kepuasan atau kompromi penuh terhadap keadaan, melainkan langkah strategis untuk memastikan agar perjuangan rakyat Aceh tetap berlanjut tanpa terganjal oleh dinamika politik nasional yang kompleks. Ia menekankan bahwa langkah ini diambil demi masa depan Aceh yang lebih kuat dan berdaulat dalam konteks otonomi khusus.
“Tapi hari ini kami mengalah demi Aceh untuk ke depan. Kami pertaruhkan sembilan pasal,” tegas Anwar pada pada diskusi publik “Advokasi Revisi UUPA Antara Peluang dan Tantangan” pada Selasa (8/7/25).
Ia menjelaskan pemilihan sembilan pasal tersebut merupakan hasil kajian mendalam berdasarkan naskah akademik yang disusun oleh akademisi Universitas Syiah Kuala (USK), yang dianggap paling logis dan mendesak untuk direvisi saat ini.
Menurutnya, dari sembilan pasal itu terdapat dua substansi penting yang menjadi pokok tuntutan rakyat Aceh. Pertama adalah soal penguatan kewenangan, baik yang telah diberikan maupun yang belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah pusat.
Kedua adalah jaminan kepastian fiskal dalam bentuk perpanjangan Dana Otonomi Khusus (Otsus) sebesar 2,5 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional tanpa batas waktu.
Anwar secara terbuka mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap keterbatasan lingkup revisi tersebut. Baginya, sembilan pasal belum cukup untuk mewakili seluruh aspirasi dan semangat yang termaktub dalam MoU Helsinki.
Baca juga: DPR Aceh Serahkan Draft Final Revisi UUPA ke DPR RI
Namun ia menyadari langkah bertahap lebih memungkinkan untuk menghasilkan kemajuan konkret daripada menuntut terlalu banyak namun berisiko tidak tercapai sama sekali.
“Kalau mengatakan kita puas, saya selaku ketua tim tidak puas dengan sembilan pasal. Jujur, tapi yang hari ini yang sangat logis, yang sangat dikehendaki, memang sembilan pasal ini,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya perlakuan yang adil bagi Aceh dalam konteks otonomi. Ia menolak keras jika daerah ini nantinya diposisikan seperti Papua, di mana dana otonomi diberikan, tetapi kewenangan pemerintah daerah justru dikurangi secara signifikan.
“Kita tidak mau Aceh ini kejadian seperti Papua, di mana uang diberikan, kewenangan dicabut. Maka kita hari ini di Aceh, kewenangan kita ingin memperkuat, uang juga harus diberikan. Jadi berbareng dua,” lanjutnya.
Anwar Ramli juga mengajak semua tokoh dan elemen masyarakat Aceh untuk bersatu mengawal proses revisi ini agar tidak tergelincir oleh kepentingan politik jangka pendek. Ia mengingatkan kegagalan sering kali disebabkan oleh perpecahan internal, bukan semata karena tekanan dari luar.
“Caranya bisa orang Aceh itu dikalahkan? Diadu domba. Dan ini sudah sejarah membuktikan. Jadi kalau kita sepakat dengan sembilan pasal hari ini, tidak ada yang protes, insyaallah upaya ini langgeng dan mudah,” pungkasnya.
Sementara itu, Rektor Universitas Syiah Kuala, Marwan, menjelaskan kajian revisi UUPA dilakukan oleh tim dari Fakultas Hukum USK dengan mempertimbangkan berbagai hambatan implementasi otonomi khusus selama hampir dua dekade.
Salah satu temuan penting adalah soal menurunnya Dana Otsus, yang semula sebesar 2 persen, kini turun menjadi 1 persen, dan akan habis pada 2027 bila tidak ada revisi regulasi.
Berdasarkan kajian tersebut, USK mengusulkan revisi terbatas yang salah satunya bertujuan mengembalikan Dana Otsus ke 2 pesen dan bahkan menaikkannya menjadi 2,5 persen.
“Masyarakat tentunya berharap bagaimana ini bisa memberikan kesejahteraan, prosperity bagi masyarakat Aceh. Berbicara dana otonomi khususnya sudah diberikan sekian triliun, tetapi kondisi di Aceh ya masih belum mungkin sesuai dengan harapan kita semua,” pungkasnya.