Antara Ikan Tongkol, Mie Sure, & Aceh

Mie surè
Mie surè merupakan kuliner Aceh yang berasal dari Laweung, Pidie. Kini menyebar ke seluruh Aceh. Foto: Komparatif.ID/ Muhajir Juli.

Mie surè telah dijual di mana saja di Aceh. Tapi vibes-nya beda. Demikian juga Aceh, jangan tergerus vibes luar yang dibawa ke sini.

Dulu Negara Aceh sangat berkah. Air dan makanan sangat terjaga, ikan dan hasil laut tidak berlimpah, tetapi penuh berkah.

Di sepanjang pegunungan, tumbuh durian, langsat, manggis dan lainnya, sedangkan di pesisir, banyak tongkol dan bilis.

Baca: Harmoni Islam dan Pariwisata di Maladewa

Karena tongkol banyak dan murah, yang tidak habis dimasak, dikeringkan, kemudian dijemur menjadi keumamah, sekarang lebih dikenal dengan ikan kayu.

Bilis juga dikeringkan, menjadi karèng, atau ikan teri.

Semua rumah dulu punya simpanan keumamah dan karéng, sebagai ketahanan pangan masyarakat.

Dengan sedikit sentuhan, tongkol dan bilis menjadi tahan lama, dan sekarang keumamah dengan karéng cukup mahal harganya.

Di musim banyak ikan, selain dibuat keumamah, tongkol juga kemudian dimasak dengan mie. Kami mengenalnya, mie surè. Mie ikan tongkol, dengan ikan dibawa masing-masing sendiri ke kedai.

sekarang mie surè sering dilekatkan dengan Laweung, daerah yang mempunyai kedai mie surè terbanyak di Aceh.

Karena enaknya, mie surè sudah menjadi khas dan menyebar di Aceh, dan kita tidak perlu lagi membawa ikan sendiri. Kedai mie sudah menyiapkan ikan.

Karena berasal dari Laweueng, tentu saya suka mie ikan tongkol. Anak-anak yang lahir di Banda Aceh, juga sangat suka mie surè, ikut Baba mereka.

Kalau pulang ke kampung di hari raya atau di kesempatan lain, kami selalu singgah makan mie tersebut di kedai langganan.

Seiring perkembang zaman, ikan pun sudah berganti, dari tongkol yang kecil, menjadi ikan tuna yang lebih besar dan mudah disiangi, dengan rasa dan aroma lebih kurang sama.

Kami sekeluarga sering juga makan mie surè di Banda Aceh. Rasanya sama seperti di Laweueng.

Tetapi anak-anak selalu protes, mereka tidak puas. Saya kemudian bertanya, kenapa mesti pulang ke Laweueng, kan rasanya sama saja.

Serempak mereka menjawab, “di Laweung beda Baba. VIBES-nya berbeda!”

Vibes atau atmosfer, memang sangat penting untuk dijaga.

Aceh ini penuh dengan vibes yang baik dan positif. Jangan sampai kita membawa kebiasaan buruk dari luar, sehingga merusak selera orang ramai di Aceh.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here