Orang-orang hebat bertumbuh seperti nilai sebotol air mineral. Semakin bagus tempatnya, bertambah mahal harganya. Padahal dulu air mineral sempat ditolak karena dianggap tidak menjanjikan pundi-pundi rupiah.
Di Hindia Belanda, air mineral kemasan pertama kali dibuat dan diperdagangkan oleh Hendrik Freerk Tillema pada tahun 1870-an.
Merek air mineral kemasan karya Hendrik diberi nama dagang Hygeia, dan dipasarkan di Semarang. Sumber mata airnya dari pegunungan di Jawa Timur.
Pun demikian, orang yang paling dikenal sebagai “bapak air mineral kemasan” Indonesia adalah Tirto Utomo. Pria tersebut memulai bisnis jual air putih dalam kemasan pada tahun 1973. Ia merintis bisnis tersebut pada usia 60 tahun.
Baca: Ketulusan Cut Hasan dan Hadiah dari Allah
Bisnis air putih kemasan sempat ditertawakan publik. Tirto Utomo dianggap telah menempuh jalan bisnis yang keliru. Titimangsa kemudian membuktikan, bisnis air minum kemasan yang dirintis Tirto Utomo menjadi perusahaan raksasa. Air putih yang awalnya disediakan gratis di setiap warung, diubah menjadi cuan oleh Tirto Utomo.
Tulisan ini tidak hendak membahas lebih jauh tentang sejarah air mineral kemasan di Indonesia. Sekarang ini air mineral kemasan lebih mudah didapatkan ketimbang air minum non kemasan. Dari kota hingga pelosok, air minum kemasan diperdagangkan. Baik dari merek terkenal, hingga merek antah berantah yang desain botolnya selalu meniru brand raksasa. Air mineral telah menjadi gaya hidup.
Saya teringat tentang perilaku pasar air mineral. Saya terilhami dari cerita yang disampaikan oleh Kepala SKK Migas Kalsul Azhari Idris. Pria ramah tersebut menyebutkan arti kehadiran seseorang yang hebat, sangat tergantung di dalam komunitas mana ia berada.
Air minum kemasan ukuran 600ml dapat ditemukan di mana saja. Tersedia hingga ke kios-kios di pelosok. Harganya paling mahal Rp5000. Umumnya dijual Rp4000. Bagi masyarakat di sana, minum air minum kemasan bukan sesuatu yang penting. Karena mereka sehari-hari minum air putih yang dijerang di rumah. Atau sekarang, mereka membeli air minum isi ulang galon 19 liter. Tiap galon hanya dijual Rp5000.
Di kafe-kafe di kota, harga air minum kemasan 600 ml dijual Rp6 sampai 10 ribu. Di mall besar, harganya lebih tinggi. Di dalam pesawat terbang domestik, satu botol air minum ukuran 300ml dijual Rp10 ribu.
Semakin tinggi kelas sosial, atau semakin bagus sebuah fasilitas, maka semakin tinggi harga jual air tersebut. Konsumen juga tidak protes. Karena mereka tahu bahwa tempat sangat menentukan sebuah harga.
Dari cerita Azhari Idris, saya teringat tentang orang-orang hebat yang sering diremehkan di kampung halamannya. Orang-orang yang merasa dirinya tokoh, kerap melihat sosok yang pintar dan bertumbuh besar dengan karya besar, dianggap belum layak dihargai. Tidak layak menjadi pemimpin.
Alasan paling umum yang disampaikan adalah “Dia dari kalangan elit, tak mungkin mengerti tentang kita.” ada juga kalimat melecehkan secara lebih kentara, “ Apa hebatnya dia? Kan dulu satu bantal tidur denganku di meunasah.” Atau ada juga begini, “Kita tidak butuh orang cerdas dan luas pergaulannya. Karena kita tidak bawa itu ke akhirat.”
Orang-orang dengan pola pikir demikian dapat diasosiasikan dalam dua. Kalau bukan hana thè droe, maka ia sedang menjalankan misi lain yang bila misi itu berhasil, ia akan mendulang untung besar. Orang-orang demikian, benar dan salah hanya diukur dari seberapa besar ia mendapatkan untung pribadi.
Menjatuhkan martabat orang besar karena kapasitas intelektual dan sosial, tentu tidak mengubah apa pun. Bisa jadi dalam jangka pendek, orang yang kita jatuhkan akan sedikit terkuras energinya. Tapi dalam jangka panjang ia tidak akan mendulang rugi. Siapa yang dirugikan? Kesempatan.
Orang-orang dengan kapasitas intelektual dan sosial bagus, bisa membuka kesempatan lebih besar. Mereka punya nilai yang dihargai oleh komunitas berwawasan dan berkapital besar. Pergaulan dan pengetahuannya memiliki peluang lebih besar menghadirkan perubahan ke arah lebih baik.
Ingat PK Mahanandia di India. Ia Dalit yang ditolak di kampung halamannya. Ia tak punya tempat di tanah ibu dan ayah kandungnya. PK datang dari komunitas terbuang, yang kemudian berkat pendidikan dan koneksinya, berhasil menjadi orang penting yang dihargai Pemerintah India.
Siapa yang peduli Jack Ma. Bocah miskin dari keluarga luntang-lantung. Berkat pendidikannya dan etos kerja serta nilai sosialnya, ia kini menjadi orang penting di China.
Bayangkan China tanpa Jack Ma, mungkin bangsa itu akan lebih terlambat masuk ke dalam internet. Bayangkan Dalit tanpa PK Mahanandia, mungkin Dalit sampai sekarang tak ada yang bisa kuliah hingga ke luar negeri.
Anda tentu tidak akan begitu peduli pada sastra Lebanon andaikan Kahlil Gibran memilih menjadi pedagang kain dan parfum di Tanah Abang.
Orang besar kerap lebih mampu menciptakan tamaddun gemilang, karena pendidikan mengarahkan mereka menjadi orang yang peduli kepada bangsanya. Orang-orang yang terdidik secara baik, memiliki rasa lebih halus dalam menerjemahkan masalah dan derita. Orang dengan pengetahuan mumpuni memiliki teman dari kalangan yang mampu memberikan dukungan dalam jumlah besar.
Dalam politik, orang dengan kapasitas tinggi seringkali dapat “dibunuh” dengan narasi religi dan etnisitas. Mereka dapat dijadikan publik enemy dengan narasi-narasi kebencian berdasarkan kelas sosial.
Tapi seperti air minum kemasan brand terkenal. Semakin coba dihancurkan, maka akan bertambah besar. Yang hancur justru pihak yang mencoba menghancurkannya.
Demikianlah hidup. Orang besar karena kapasitas intelektual, bisa dilumpuhkan oleh narasi kebencian golongan dan riligi. Tapi mereka takkan “mati”. Kualitas hidup mereka tidak akan menurun.
Siapa yang akan rugi? Masyarakat yang membutuhkan dukungan besar menuju tamaddun gilang gemilang. Sejarah telah mencatat, sejarah besar yang penuh cerita bahagia hanya dapat diwujudkan oleh pemimpin yang memiliki kapasitas besar. Karena mereka tahu, mampu, dan mau menciptakan perubahan ke arah penuh harapan baru.