
Komparatif.ID, Jantho— Aceh Besar akan memulai riset hukum adat, tanah adat, tanah rakyat, tanah erfpacht, hingga tanah peninggalan kerajaan. Riset tenurial itu akan menggandeng Pusat Riset Hukum, Islam, dan Adat (PR-HIA) Universitas Syiah Kuala dengan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
Dukungan riset tenurial disampaikan Bupati Aceh Besar Muharram Idris (Syech Muharram) saat kick-off meeting penelitian di Balai Senat Kantor Administrasi USK, Darussalam, Banda Aceh, Jumat (22/8/2025).
Syech Muharram mengatakan riset tenurial penting karena persoalan tanah masih menjadi kendala besar di wilayah Aceh Besar, mulai dari hutan rakyat, tanah ulayat, tanah erfpacht, hingga tanah peninggalan kerajaan.
“Kami berharap dapat menyelesaikan persoalan hutan lindung dan persoalan lainnya yang menyangkut dengan adat di wilayah aceh besar, semoga dapat ditemukan solusi yang baik,” ujarnya.
Menurutnya, keterlibatan Aceh Besar dalam riset tersebut menjadi langkah strategis untuk menemukan solusi berbasis adat. Ia berharap riset tenurial dapat memberikan jawaban atas persoalan hutan lindung dan berbagai masalah agraria lain yang terkait erat dengan masyarakat hukum adat.
Baca juga: Pelajar di Aceh Besar Akses Judol dan Pornografi saat Bolos Sekolah
“Kami merasa bahagia Aceh Besar dilibatkan. Semoga penelitian ini dapat menemukan solusi yang baik untuk persoalan yang menyangkut dengan adat, sekaligus memperkuat khazanah adat Aceh di masa depan,” ujarnya.
Wakil Rektor Bidang Akademik USK, Prof. Dr. Ir. Agussabti, menambahkan riset hukum adat dan tenurial sangat penting dalam menjaga keberlanjutan tata kelola sumber daya alam. Ia menekankan hukum adat tidak hanya sekadar warisan budaya, tetapi juga menjadi instrumen penting untuk menjaga harmoni sosial dan kelestarian lingkungan.
USK, kata dia, berkomitmen mendukung penelitian ini agar hasilnya dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Aceh Besar.
Sementara itu, Kepala PR-HIA USK, Prof. Dr. Azhari, menjelaskan penelitian akan difokuskan pada identifikasi sumber daya yang termasuk harta kekayaan mukim sebagai masyarakat hukum adat.
Penelitian ini juga bertujuan memastikan pihak yang memanfaatkan sumber daya tersebut, menganalisis hak serta syarat pemanfaatannya, termasuk bentuk dan jangka waktunya, serta mengkaji mekanisme pengalihan harta mukim kepada pihak lain.
Dari sisi regulasi, Kepala BRWA menilai aturan terkait adat di Aceh Besar sudah cukup lengkap. Namun, menurutnya, masih diperlukan penguatan yang lebih detail mengenai keterkaitan subjek dan objek masyarakat adat.
Ia menekankan ketersediaan data yang komprehensif menjadi kunci bagi riset ini. BRWA berharap penelitian tersebut dapat melahirkan pembelajaran spesifik yang nantinya bisa dikembangkan lebih luas di daerah lain.