Setiap tahun Pemerintah Aceh memberikan penghargaan Anugerah Perencanaan Profesor A. Madjid Ibrahim (AMI) kepada kabupaten/kota yang berhasil menyusun perencanaan dan pencapaian daerah terbaik. Setiap tahunnya, penerima Anugerah Perencanaan AMI, diraih oleh daerah-daerah yang tampil dengan perencanaan dan pencapaian terbaik dalam bidang pembangunan.
Publik bertanya, siapa Profesor A. Madjid Ibrahim, sehingga namanya diabadikan dalam Anugerah Perencanaan Pembangunan yang diberikan Pemerintah Aceh kepada kabupaten/kota terbaik dalam menyusun rencana pembangunan?
Dikutip dari buku Perintis & Rektor Universitas Syiah Kuala 1959-2021, Biografi Singkat, yang diterbitkan oleh Syiah Kuala University Press, nama Profesor Abdul Madjid Ibrahim, berderet di antara nama-nama teknokrat terbaik yang pernah mengabdi di Kopelma Darussalam.
Baca: KBP Muhammad Insja, Putra Peusangan Pendiri Sekolah Polisi di Aceh
Buku yang dieditori oleh Wildan dan Agussabti tersebut mengulas secara singkat profil para perintis dan Rektor Unsyiah—sekarang USK—dari awal mula pendirian hingga 2021, ketika Universitas Syiah Kuala dipimpin oleh Prof. Dr. Samsul Rizal.
Professor A. Madjid Ibrahim, merupakan cendekiawan lulusan Universitas Indonesia, yang memimpin Unsyiah tahun 1965-1973. Saat itu menjadi cendekiawan dan memimpin universitas yang baru seumur jagung bukan perkara mudah. Indonesia sedang sangat bergolak. Ragam dinamika kebangsaan sedang gaduh-gaduhnya. Pertarungan Orde Lama dan Orde Baru masih sangat kentara.
Dalam artikel yang ditulis oleh Mohd. Harun berjudul Prof. Abdul Madjid Ibrahim, Akademisi dan Birokrat Teladan (Rektor USK 1965-1973), disebutkan bahwa Madjid Ibrahim lahir pada 19 November 1926. Ia lahir di sebuah gampong bernama Lam Jruen, yang terletak di antara Krueng Agam dan Krueng Inong, Kecamatan Seulimeum, Aceh Besar.
Madjid Ibrahim merupakan cahaya mata pasangan Teungku Ibrahim dan Teungku Nyak Bulukeih. Nama Abdul Madjid bermakna insan yang mulia, termasyur, atau agung.
Masa kanak-kanak dihabiskan di Dayah Lam Jruen. Di bawah bimbingan sang ayah dan ibu, Madjid berhasil menjadi salah seorang generasi Islam Aceh yang taat beragama, paham agama, serta dapat menempuh studi dengan baik di perguruan tinggi. Ia yang dikampungnya dikenal dengan panggilan Teungku Madjid—karena kedalaman ilmu agama—berhasil menamatkan pendidikan sarjana di Universitas Indonesia.
Sejak memasuki usia SD, Madjid Ibrahim sudah merantau ke Banda Aceh. di ibukota ia menimba ilmu di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Kutaraja. Selain itu, oleh sang ayah dia diwajibkan mondok di Dayah Teungku Syaikh Ibrahim Lambhuk.
Setelah enam tahun di HIS, Madjid Ibrahim berhasil menamatkan pelajarannya. Ia kemudian melajutkan pelajarannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Kutaraja. Lulus dari sana ia menimba ilmu di Sekolah Menengah Tinggi (SMT) Kota Baru, Yogyakarta. Di sana dia menamatkan pelajarannya pada tahun 1952. Di SMT Madjid mengambil jurusan sastra, dengan tujuan membekali diri dengan ilmu bahasa supaya dapat bergaul dengan kalangan lebih luas.
Kedua orangtuanya mendukung pula ketika ia mendaftarkan diri ke Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kala itu UI merupakan satu-satunya universitas paling keren di Republik. Anak Lam Jruen itu lulus masuk ke sana. Ia lulus tahun 1957 dan langsung diangkat menjadi dosen di almamaternya dan bekerja sepanjang 1957-1962.
Selama kuliah di UI, ia bekerja sebagai staf redaksi majalah Api Merdeka. Di majalah itu dia menggunakan nama samaran Amir, dan banyak menulis esai, sajak, dan puisi, selain secara rutin menulis berita.
Ia juga aktif sebagai TRIP Jawa Timur, anggota PB HMI. Ia juga sebagai Koordinator Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Madjid juga tercatat sebagai anggota Badan Pekerja PPMI.
Namun ia tak berpuas diri. Madjid kemudian terbang ke Amerika Serikat, kuliah di University of Columbia, New York. Ia lulus tahun 1961.
Madjid Ibrahim Pulang dan Membangun Aceh
Tahun 1962 dia pulang ke Aceh dan menjadi dosen Fakultas Ekonomi USK hingga 1981. Tahun 1976 dia dikukuhkan Sebagai Guru Besar Tetap Bidang Teori Ekonomi pada FE USK. Judul orasi ilmiahnya kala itu Pembangunan Regional Untuk Mempercepat Pertumbuhan Nasional. Di Indonesia ia dikenal sebagai pakar ekonomi regional.
Perihal kepulangannya ke Aceh, berkat bujuk rayu Ali Hasjmy, yang meminta sang cendekiawan kembali ke Aceh. Koleganya di UI meragukan perkembangan Madjid bila pulang ke Aceh. Setelah mempertimbanggkan banyal hal ia akhirnya pulang kampung, meninggalkan koleganya seperti Dr. Wijoyo Niti Sastro, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, J.B. Sumarlin, dll. Dalam rentang sejarah, ia dapat membuktikan bahwa meskipun badannya di Aceh, tapi kiprah intelektualnya menembus batas.
Setelah datang ke Kopelma Darussalam, ia ditunjuk sebagai Dekan FE USK pada tahun 1963. Belum lama setelah itu, pada 6 Maret 1965 dia dipilih sebagai Rektor. Ia menjadi Rektor USK selama dua periode.
Tahun 1969 dia turut mendirikan Aceh Development Board (ADB) yang kemudian menjadi Bappeda. Ia mendirikan ADB bersama Syamsuddin Mahmud, Abdullah Ali, dan Ibrahim Hasan. Madjid ditunjuk sebagai ketua ADB periode 1969-1973. Pemerintah Pusat kemudian mengadopsi ide itu dengan membentuk Bappenas. Pada 1973 hingga 1978 dia ditetapkan sebagai deputi Ketua Bappenas Bidang Regional dan Daerah. Tahun 1978 hingga 1981, ia menjadi Gubernur Aceh.
Madjid Ibrahim menutup mata pada 15 Maret 1981, setelah berhasil membawa proyek Krueng Aceh yang berasal dari sumbangan tentara Jepang yang pernah bertugas di Perang Asia Timur Raya. Para serdadu yang telah sukses di berbagai bidang seusai perang, menghimpun dana membantu Aceh demi mengatasi banjir dan perbaikan sanitasi.
Madjid juga berhasil membangun proyek air bersih di Lambaro, aceh besar. Ia mampu meyakinkan Prancis supaya mendanai proyek tersebut. Madjid juga berhasil meyakinkan Pusat menggelar MTQ ke-12 di Aceh. itu MTQ terbesar yang pernah digelar. Namun, ia tak sempat melihat MTQ tahun 1981 berlangsung. Intelektual itu pamit lebih dulu, meninggalkan dunia fana.
Masih terlalu banyak karya nyata sang intelektual untuk Aceh dan Indonesia. Dari sektor pendidikan, ekonomi, hingga politik. Untuk mengabadikan ingatan tentang dirinya, namanya dipilih sebagai nama ruas jalan utama di tengah Kota banda Aceh. Jalan Profesor. Dr. A. Madjid Ibrahim. Namanya juga diabadikan dalam Anugerah Perencanaan Pembangunan oleh Pemerintah Aceh.