Masih Ada Aparat Hukum Terlibat Jaringan Narkoba

Kombes Pol Riki Sikumbang, Rabu (28/9/2022) tidak menolak fakta bahwa masih ada aparat hukum yang terlibat dalam bisnis narkoba. Foto: Komparatif.id/Muhajir Juli.
Kombes Pol Riki Sikumbang, Rabu (28/9/2022) tidak menolak fakta bahwa masih ada aparat hukum yang terlibat dalam bisnis narkoba. Foto: Komparatif.id/Muhajir Juli.

Komparatif.ID, Banda Aceh—Salah satu tantangan dalam pemberantasan peredaran narkoba di Indonesia adalah masih adanya oknum aparat penegak hukum (APBA) yang terlibat di dalamnya.

Demikian disampaikan Kabag Publikasi dan Media Biro Humas BNN RI Kombes Pol Riki Sikumbang, Rabu (28/9/2022) siang, pada acara silaturahmi dengan wartawan, di Banda Aceh.

Di tingkat masyarakat, juga terjadi perpecahan pandangan terkait narkoba, khususnya ganja. Masih ada yang mendukung, ada yang menolak, khususnya ganja. Pun demikian, Riki berharap awak media memiliki sikap yang sama dengan pemerintah, yaitu menolak penggunaan ganja dalam konteks apa pun.

Lebih lanjut Riki menjelaskan, salah satu daya tarik bertambah maraknya peredaran gelap narkoba karena uang yang tidak terbatas di dalam bisnis tersebut. Bayangkan, kata Riki, 1 kilogram sabu-sabu saat ini Rp1,5 miliar. Sedangkan ganja Rp600 ribu.

“Makanya di Aceh sedang terjadi pergeseran dari ganja ke sabu-sabu,” terang Riki.

Saat ini telah beredar pula tembakau gorilla atau lazim disebut ganja sintetis. Ialah jenis tembakau yang memiliki efek samping mirip dengan ganja. Penyalahgunaannya sangat populer dilingkungan generasi muda atau di kalangan pelajar, dengan julukan ”sinte, gorila”. Menurut testimoni para pemakainya, akibatnya bisa menyebabkan nge-fly seperti tertimpa gorila.

Perihal keterlibatan aparat penegak hukum, Riki menyebutkan, alasan paling utama yaitu banyaknya uang di dalam bisnis tersebut. Sehingga menyebabkan ada aparat yang memilih jalan pintas untuk mendapatkan uang banyak.

Akan tetapi, Riki mengatakan, Indonesia sampai saat ini, penegak hukumnya belum berupa kartel seperti di Kolombia. Sehingga masih ada harapan untuk mereduksi secara serius peredaran gelap narkoba.

“Yang terlibat hanya oknum, bukan institusi. Berbeda dengan Kolombia, yang memainkan bisnis narkoba justru institusi militer negara tersebut,” terangnya.

Dengan garis pantai terpanjang nomor dua di dunia, Pemerintah Indonesia memiliki tantangan pelik dalam pemberantasan peredaran gelap narkoba. Maka pola yang dilakukan pun harus sangat kreatif, tidak semata mengandalkan penegakan hukum. Tapi juga melakukan pendekatan sosial dan ekonomi.

Oleh karena itu, Riki berharap media massa memberikan dukungan luas untuk upaya pemberantasan peredaran gelap narkoba di Indonesia, termasuk di Aceh.

“Wartawan dapat berperan serta mereduksi peredaran dan penyalahgunaan narkoba, melalui karya jurnalistiknya. Ini sangat penting, di samping penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat,” kata Riki.

Artikel SebelumnyaObituari: Tu Min, Ulama Organik Penjaga Keutuhan Aceh
Artikel SelanjutnyaUIN Ar-Raniry Bedah Fenomena Hacker Bjorka
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here