Berapa lama Bapak/Ibu pejabat akan sanggup berada dalam leuhob (lumpur) korban banjir? Berapa lama akan sanggup tanpa air bersih?
Berapa lama sanggup tidak sempurna basuh haid, buang air, dan sebagainya di pengungsian?
Pertanyaan ini sangat urgen untuk dijawab dengan kebijakan yang akan Bapak/Ibu pertanggungjawabkan di dunia maupun akhirat.
Kehadiran Bapak/Ibu pejabat secara langsung ke lapangan juga sangat penting pada awal-awal untuk memberikan rasa bahagia, agar korban banjir bisa berceloteh, “na hai geujak saweu rakyat.”
Namun, kondisi saat ini juga belum baik-baik saja. Wara-wiri “meen leuhob” yang Bapak/Ibu lakukan sebaiknya disudahi dulu, tetapi “pena kebijakan” justru harus difungsikan secara maksimal.
Selain sembako, yang paling mendasar adalah ketersediaan air bersih. Minimal dapat terus dipetakan desa-desa untuk dibuat sumur air bersih, minimal 10 sumur atau disesuaikan dengan jumlah kepala keluarga. Air juga merupakan media paling utama untuk bersuci dalam Islam (thaharah), guna menghilangkan hadas dan najis. Maka, seberapa banyak najis yang berpengaruh pada tidak sempurnanya ibadah rakyat akibat kebijakan yang lambat.
Baca juga: Cerita dari Teupin Mane: “Malam Itu Air Sungai Sangat Mengerikan”
Air juga merupakan hak asasi masyarakat, bukan sekadar bantuan untuk menunjukkan bahwa negara hadir.
Ingat, Bapak/Ibu penguasa, dengan sengaja lalai menggunakan “pulpen kebijakan” yang membiarkan korban bencana meminum air banjir karena ketiadaan air bersih, maka para penguasa sedang membiarkan rakyatnya mati perlahan.
Kemudian, saat ini di beberapa lokasi, jika para penguasa terus-terusan “meen leuhob”, maka hal itu mendidik anak-anak korban banjir menjadi pengemis. Setiap mobil bantuan yang datang, mereka berdiri di pinggir jalan seolah mengatakan, “mintalah kami bantuan itu.” Oleh karena itu, perlu segera disiapkan hunian sementara.
Belum lagi tenda-tenda yang Bapak/Ibu hadirkan hanya sebatas tenda dengan logo agar negara tampak hadir. Namun, tenda tersebut tanpa alas, tanpa kasur, bantal, atau apa pun pendukung lainnya.
Akhir kata, terima kasih juga atas “meen leuhob”, tetapi fungsikan “pena kebijakan” secara maksimal agar engkau bisa dipanggil manusia setengah dewa.












