
Komparatif.ID, Jakarta— Eks Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) era SBY, Dino Patti Djalal, mengatakan Menlu Sugiono perlu meluangkan waktu lebih banyak untuk memimpin Kementerian Luar Negeri secara langsung.
“Idealnya, Menlu Sugiono bisa full time mengurus Kemlu. Tapi minimal 50 persen. Dan kalau bisa 80 persen, alhamdulillah. Kementerian Luar Negeri itu seperti mobil Ferrari. Salah satu lembaga terbaik di NKRI yang penuh dengan talenta diplomat yang luar biasa. Tapi mobil Ferrari itu hanya bisa perform kalau dikendarai oleh driver yang juga piawai dan fokus,” ujar Dino Patti Djalal, Minggu (21/12/2025).
Pria yang pernah bertugas sebagai Duta Besar Indonesia untuk AS itu menyebut banyak perwakilan Indonesia di luar negeri yang merasa kurang mendapatkan arahan strategis dari Sugiono.
Ia menyinggung tertundanya rapat koordinasi para duta besar serta minimnya panduan kebijakan yang diterima kepala-kepala perwakilan. Kondisi tersebut, lanjut Dino, diperparah dengan pemotongan anggaran yang berdampak pada menurunnya semangat kerja diplomat.
Ia juga menyampaikan sejumlah duta besar mengalami kesulitan untuk bertemu langsung dengan Menlu ketika berada di Indonesia, yang berpotensi menghambat tindak lanjut berbagai peluang diplomasi.
Baca juga: Beli Sepatu dari Luar Negeri, Bea Masuk & Pajak Impor Setengah Harga Sepatu
“Bahkan kabarnya banyak duta besar kita yang sulit menemui Menlu kalau mereka pulang ke tanah air. Dan risikonya, banyak kesempatan di tingkat tinggi yang tidak akan ada follow up-nya atau tidak ter-follow up dengan baik,” lanjutnya.
Lebih lanjut, mantan juru bicara Presiden SBY itu menilai Menlu Sugiono perlu lebih aktif menjelaskan arah dan langkah politik luar negeri Indonesia kepada masyarakat.
Dino mengutip pandangan almarhum Menlu Ali Alatas tentang pentingnya dukungan publik dalam kebijakan luar negeri. Menurut Dino, selama setahun terakhir, Menlu Sugiono belum terlihat menyampaikan pidato kebijakan atau wawancara mendalam mengenai substansi politik luar negeri, baik di dalam maupun luar negeri, selain pidato awal tahun yang bersifat rutin.
“Ada ilmu dari Menlu Ali Alatas bahwa foreign policy begins at home, yang berarti segala langkah diplomasi di luar negeri akan percuma kalau tidak dijelaskan, dipahami, dan didukung publik di dalam negeri,” ujarnya.
Dino Patti Djalal juga menyoroti pola komunikasi Sugiono yang dinilainya lebih banyak melalui media sosial visual tanpa penjelasan kebijakan yang memadai. Ia menyampaikan kekhawatiran Menlu akan dicap sebagai menteri yang pasif dalam komunikasi publik apabila kondisi tersebut terus berlanjut.
“Dalam satu tahun terakhir, Menlu Sugiono belum pernah sekalipun memberikan policy speech, baik di dalam maupun di luar negeri. Juga tidak pernah melakukan wawancara khusus dengan media mengenai substansi politik luar negeri, baik di dalam maupun di luar negeri. Dan dalam satu tahun terakhir, jarang sekali ada penjelasan publik dari Menlu mengenai langkah-langkah politik luar negeri Indonesia,” ungkapnya.
Pesan ketiga dan keempat yang disampaikan Dino berkaitan dengan hubungan Menlu dengan para pemangku kepentingan dan organisasi masyarakat sipil di bidang hubungan internasional.
Ia menilai saat ini jarak antara Menlu Sugiono dan komunitas tersebut terasa semakin lebar, ditandai dengan minimnya respons terhadap undangan dialog dan permintaan audiensi.
Dino menekankan pentingnya sikap terbuka dan kolaboratif, seraya mengingatkan bahwa kepercayaan dan dukungan publik tidak datang secara otomatis, melainkan perlu diupayakan.
“Kami ingin agar Menlu Sugiono dapat berubah dari Menlu yang absen menjadi Menlu yang hadir dalam urusan hubungan internasional di dalam negeri. Dan kami sungguh berharap dalam empat tahun ke depan, Menlu Sugiono bisa secara rutin, kalau bisa setiap minggu, berkomunikasi dengan rakyat melalui pidato publik atau policy speech, baik di dalam maupun di luar negeri. Karena itulah tugas utama seorang Menlu,” imbuh Dino.











