Razak, Bocah Ahli Forensik Jenazah Keluarga di Krueng Mane

Razak
Razak, setelah dievakuasi oleh warga menggunakan boat nelayan. Foto: Koleksi Zulfadhli Kawom.

Razak mengenali setiap jenazah anggota keluarga kami, melalui tanda di tubuh. Bocah asal Krueng Mane ini, rupanya memberi perhatian lebih kepada saudara-saudaranya ketika mereka masih hidup.

Saya menatap keponakanku yang satu itu dengan pandangan kagum sekaligus iba. Meskipun banyak keluarganya menjadi korban dalam air bah tersebut, ia tetap mampu mengendalikan perasaan. Ketika berhadapan dengan jenazah keluarga intinya, dia tetap tegar.

Pakwa Lem yang ikut menjadi korban dalam bencana alam hidrometeorologi Aceh dan Sumatra yang memuncak pada 26 November 2025, memiliki seorang cucu bernama Razak. Bocah itu keponakan saya. Kami masih satu keluarga besar yang sangat dekat.

Pada kejadian itu, Razak ikut dihanyutkan oleh banjir. Demikian juga delapan anggota keluarganya. Kakeknya (Pakwa Lem), bibi, dan anak-anak bibinya.

Mereka menjadi korban, setelah sebelumnya merasa telah berada di titik aman yaitu di kedai milik keluarga, yang berupa bengkel dan usaha jual beli hasil pertanian seperti kopra, kakao, dan gabah.

Dalam musibah itu, Razak dan seorang pamannya bernama Nedi, selamat dari bencana besar tersebut. Mereka harus berjuang keras mengarungi gulungan air yang datang dengan aura mengerikan.

Razak merupakan bocah kampung yang tidak mendapatkan les khusus berenang. Dia belajar berenang di water boom dan irigasi teknis di kampung kami.

Saat bencana menggulung kampung, Razak masih sempat melihat anggota keluarganya digulung air bah. Mereka mengapung di dalam air, mencoba bertahan sekuat mungkin, supaya tidak tenggelam.

Dalam musibah itu, Bukhari, seorang guru olahraga, yang juga ayahnya Razak, selamat dari musibah tersebut. Hanya saja rumah mereka ikut digulung banjir.

Saat itu—cerita Razak kepada saya—dia tersangkut di pohon trembesi. Di sana dia bertahan selama satu hari satu malam, sebelumnya akhirnya dievakuasi oleh warga yang menggunakan boat nelayan tradisional di Gampong Kambam, Muara Batu, Aceh Utara.

Di pohon lain, Nada dan Buleun, putrinya Pakcik Maun juga berhasil menyelamatkan diri. Tapi bocah SD itu tidak mengetahui bila Nada dan Buleun juga selamat. Karena jarak antar pohon yang jauh.

Baca: Prabowo Terlena Pujian, Abaikan Teriakan Ulama dan Profesor Aceh

Paman mereka yang bernama Nedi juga selamat. Sepupu saya tersebut menemukan jerigen di dalam banjir. Dia menggunakan jerigen tersebut untuk mengapung. Ketika ule ie muncul dan menghantam tubuhnya, dia berhasil meraih selembar papan. Ia yang sebelumnya sempat menarik nafas selama 15 menit, kemudian harus berjuang keras diterpa ule ie yang sangat kuat.

Dia berhasil selamat setelah ditemukan oleh penjala ikan di Gampong Aron, Krueng Mane, kira-kira 5 kilometer dari tempat semula.

Saat luapan air datang, Nadi tidak panik, dia membuka pakaiannya dan hanya tinggal celana pendek. Namun delapan orang anggota keluarganya yang lain, terdiri dari manula, perempuan dewasa dan anak-anak keluarga Razak meninggal dunia.

Razak Mengenali Jenazah Anggota Keluarganya

Setelah banjir surut dan warga saling mencari informasi, Razak dihadapkan pada fakta, banyak anggota keluarga kami yang meninggal dunia.

Ketika jenazah tersebut hendak dikebumikan, warga mencoba mengindetifikasi jenazah-jenazah tersebut, supaya tidak salah menyelenggarakan tata ruang kuburan massal.

Bocah itu memberitahu kepada kakak saya yang bernama Mutia, siapa-siapa jenazah yang dibaringkan di hadapan mereka. jenazah-jenazah tersebut sudah sangat sulit dikenali. Lima hari setelah bencana, kondisi mayat sebagian sudah rusak.

Bocah itu mengamati dengan seksama. Dia menemukan penanda dengan sangat teliti. Ada yang ia kenali dari anting yang masih melakat di telinga mayat, dari bentuk badan, gaya rambut, gigi, dan lain-lain.

Anggota keluarga yang diidentifikasi olehnya, kemudian dikuburkan dalam satu lubang. Di atasnyanya diberi tanda berupa batu nisan.

Saya salut melihat keponakan tersebut. Di tengah mahaduka, dia mampu menjernihkan pikirannya. Menatap dengan seksama, dan menemukan tanda. Dia benar-benar memperhatikan saudaranya, semasa mereka masih hidup.

Musibah bencana banjir hidrometeorologi Aceh dan Sumatra pada 26 November 2025, meninggalkan banyak jejak luka. Ketika alam dirusak secara membabi buta, ditambah dengan siklon senyar di langit Aceh, telah menghancurkan peradaban kita di hulu hingga hilir.

Banyak luka yang kian terganga. Banyak kisah yang belum dikisahkan. Tentang banjir, tentang kehilangan orang-orang yang kita cintai. Tentang kampung-kampung yang hilang. Serta kisah-kisah lain yang kelak, semoga tidak sekadar menjadi kenangan, tapi bisa dijadikan pelajaran.

Artikel SebelumnyaPemadaman Listrik dan Catatan atas Manajemen Krisis PLN Aceh
Artikel SelanjutnyaJalan KKA Lhokseumawe-Bener Meriah Kini Bisa Dilalui Kendaraan Roda 4
Zulfadli Kawom
Seniman, aktivis kebudayaan, Mekanik di Malaysia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here