
Pemadaman listrik yang membuat seluruh Aceh kelimpungan, meninggalkan banyak pertanyaan. Kata stanby yang sering disebut dalam rilis PLN, ternyata arti sesungguhnya mati total. Berarti tidak ada sistem cadangan apa pun di Aceh untuk melindungi rakyat dari pemadaman listrik secara total.
Pada tahun 2018, saat masih bekerja di sebuah instansi pemerintahan, saya dihadapkan pada tenggat waktu penyelesaian satu persoalan hukum. Seluruh fakta dan bukti saya analisis menggunakan komputer pribadi (PC).
Di tengah pekerjaan itu, hal yang sama sekali tidak saya harapkan terjadi: listrik padam. PC saya mati seketika—dan bersama itu, dokumen penting yang belum sempat saya simpan ikut serta pindah ke alam “barzah”.
Saya panik.Kepanikan itu bertambah, PC rekan saya di sebelah—milik Fira (bukan nama sebenarnya)—masih menyala. Ia terlihat tenang, tetap mengetik surat seperti tidak terjadi apa-apa.
Dengan polos, seperti anak TK yang baru belajar bertanya, saya menyapanya, “Kak, kok PC kakak masih nyala?”
Ia tersenyum dan menjawab santai, “Aduh Dek, kamu kok gaptek sekali. PC kakak pakai UPS.” Saya hanya mengangguk, tanpa benar-benar paham.
Sambil tetap tenang, dia menyimpan dokumennya. Saya, sebaliknya, langsung membuka ponsel dan mencari tahu apa itu UPS?
Baca: Penanganan Banjir Lambat, Wajar Masyarakat Aceh Kibarkan Bendera Putih
Sejak hari itu saya mengenal UPS (Uninterruptible Power Supply)—perangkat cadangan listrik yang menjaga komputer tetap menyala sementara ketika terjadi gangguan listrik.
Sederhananya, UPS adalah semacam baterai darurat. Ketika listrik padam atau tidak stabil, UPS langsung menyuplai daya dari baterainya tanpa jeda, sehingga komputer tidak mati mendadak dan data masih bisa diselamatkan.
Rasa malu saya belum berhenti di situ. Dari hasil pencarian, saya justru mengetahui bahwa teknologi UPS bukanlah hal baru. Konsepnya sudah dikembangkan sejak tahun 1920-an dan disempurnakan pada dekade 1960-an. Artinya, sistem cadangan daya seperti ini telah dikenal manusia lebih dari satu abad.
Ingatan itu kembali muncul ketika saya membaca pemberitaan pada 13 Desember 2025. Melalui media massa, PLN ULP Jeuram meluruskan informasi terkait PLTU Nagan Raya Unit 2. Disebutkan bahwa unit tersebut berada dalam kondisi standby. Untuk mengoperasikannya kembali, dibutuhkan pasokan listrik awal (backfeeding) sekitar 10 MW.
Sehari kemudian, 14 Desember 2025, melalui rilis resmi pemulihan kelistrikan, PLN UID Aceh menyampaikan bahwa setelah interkoneksi jaringan listrik Sumatra pulih, tahapan berikutnya adalah penyalaan PLTU Nagan Raya Unit 2, 3, dan 4.
Saya terkejut membaca rilis tersebut. Ternyata bukan hanya Unit 2 yang tidak beroperasi, tetapi juga Unit 3 dan 4. Kata standby yang sebelumnya disampaikan, rupanya adalah bahasa lain dari mati total!
Pemadaman Listrik dan PLN yang Tak Becus Berkomunikasi
Sebagai orang awam, pertanyaan sederhana pun muncul: kok bisa mati? Sayangnya, pertanyaan itu tidak pernah benar-benar dijawab. PLN hanya menjelaskan bahwa untuk menyalakan kembali unit-unit PLTU tersebut dibutuhkan daya awal sebesar 10 MW, tanpa penjelasan mengapa unit itu tidak memiliki sistem cadangan daya.
Di titik inilah ingatan saya kembali pada UPS milik Fira. Jika sebuah komputer kantor saja bisa bertahan saat listrik padam, mengapa sebuah pembangkit listrik—dengan cerobong menjulang layaknya kapal Titanic—tidak memiliki sistem serupa?
Jika setiap kali dinyalakan PLTU membutuhkan daya awal sebesar 10 MW, mengapa tidak tersedia baterai atau sistem penyimpanan energi yang mampu menyuplai kebutuhan tersebut, sebagaimana UPS pada komputer atau aki pada mobil?
Dengan begitu, ketika jaringan listrik Aceh terisolasi seperti beberapa waktu lalu, sistem kelistrikan tidak langsung lumpuh total. Ataukah memang belum ada teknologi yang memungkinkan gagasan awam ini diterapkan? Tentu PLN perlu menjelaskan hal ini.
Sebelum masuk lebih jauh pada analisis terhadap manajemen PLN UID Aceh dalam menghadapi kerusakan fasilitas kelistrikan akibat bencana banjir dan longsor tahun 2025, saya merasa perlu menyampaikan apresiasi kepada 1.347 petugas PLN yang bekerja di lapangan.
Mereka bekerja dalam kondisi sulit, membangun menara darurat (emergency tower), memperbaiki jaringan, dan menjaga agar fasilitas kelistrikan vital dapat kembali berfungsi. Pekerjaan yang berat secara teknis, sekaligus penuh tekanan dan risiko.
Apresiasi ini penting untuk ditegaskan sejak awal agar tulisan ini tidak disalahpahami sebagai pengingkaran terhadap kerja keras para petugas di lapangan.
Tulisan ini justru lahir dari serangkaian pertanyaan yang terus berputar dalam pikiran saya—pertanyaan-pertanyaan yang tidak saya temukan jawabannya dalam rilis resmi PLN UID Aceh, baik yang beredar di media massa maupun yang disampaikan melalui kanal informasi mereka sendiri.
PLN UID Aceh masih memiliki utang penjelasan kepada publik atas insiden pemadaman besar yang terjadi sejak 7 Desember 2025.
Pada hari itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyampaikan kepada Presiden bahwa 93 persen listrik di Aceh akan menyala pada malam hari.
Sebagai seorang menteri, pernyataan tersebut tentu disampaikan berdasarkan laporan dari jajaran teknis di bawahnya.
Dalam konteks Aceh, pihak yang paling memahami kondisi lapangan tidak lain adalah PLN UID Aceh. Ketika pernyataan itu ternyata tidak sesuai dengan realitas yang dialami masyarakat, maka kegagalan tersebut tidak bisa dilepaskan dari kualitas laporan dan komunikasi internal PLN sendiri.
Masalah tidak berhenti di situ. Proses pemadaman bergilir yang diterapkan setelahnya berlangsung tanpa pola yang jelas dan membingungkan masyarakat. Hingga berhari-hari, tidak tersedia jadwal pemadaman yang transparan di tingkat kabupaten maupun kota. Akibatnya, masyarakat sama sekali tidak memiliki ruang untuk bersiap.
Padahal, keterbatasan listrik masih dapat ditoleransi jika disertai kepastian. Dengan jadwal yang jelas, warga bisa mengatur kebutuhan dasar seperti menampung air, mencuci pakaian, menyetrika, atau mengisi daya peralatan komunikasi. Tanpa informasi, masyarakat dipaksa menerka-nerka dalam ketidakpastian.
Yang lebih memprihatinkan, pola komunikasi ini juga berdampak pada sektor-sektor vital. Instansi pemerintahan, PDAM, hingga perusahaan telekomunikasi—yang sama-sama berstatus Badan Usaha Milik Negara—ikut terdampak tanpa koordinasi yang memadai.
Kehumasan PLN juga berkontribusi pada munculnya disinformasi, bahkan hoaks, di tengah masyarakat. Dalam ingatan saya, upaya komunikasi yang lebih serius baru terlihat sekitar 13 Desember 2025—hampir dua pekan setelah bencana terjadi. Kekosongan informasi selama rentang waktu tersebut menjadi ruang subur bagi spekulasi dan kabar simpang siur.
Disinformasi bukanlah penyebab utama keresahan, melainkan akibat langsung dari minimnya penjelasan resmi. Penutupan informasi—yang mungkin dimaksudkan untuk mengendalikan situasi—justru berbalik menjadi sumber kepanikan yang sulit dikendalikan.
Gaya komunikasi PLN UID Aceh sebelum tanggal 13 Desember 2025 juga menunjukkan pola lama yang tidak lagi relevan dengan tuntutan publik saat ini. Informasi yang disampaikan lebih terkesan untuk menyenangkan atasan, bukan untuk memberi kejelasan kepada masyarakat.
Pernyataan optimistis tanpa dasar yang kuat, seperti yang terjadi pada 7 Desember 2025, serta absennya transparansi jadwal pemadaman, mencerminkan pola komunikasi yang masih berwatak satu arah.
Dalam situasi krisis, publik tidak menuntut keajaiban. Yang dibutuhkan adalah kejujuran, keterbukaan, dan penjelasan yang masuk akal. Keterbatasan teknis dapat dipahami, tetapi kegagalan komunikasi memunculkan kepanikan.
Pertanyaan-pertanyaan awam tentang mengapa pembangkit bisa mati total, mengapa penyalaan kembali membutuhkan daya awal yang besar, dan mengapa tidak ada sistem cadangan yang memadai, pada akhirnya bermuara pada satu hal mendasar: hak publik untuk mendapat penjelasan yang jujur dan transparan.











