Di Tengah Bencana dan Kelangkaan Daun Nipah, Masih Ada Penjual yang Menjaga Kemanusiaan

Di Tengah Bencana dan Kelangkaan Daun Nipah, Masih Ada Penjual yang Menjaga Kemanusiaan
Ilustrasi. Foto: HO for Komparatif.ID.

Pagi itu aku sedang duduk di warkop untuk mengecas HP yang baterainya sudah sekarat. Langit tampak mendung. Listrik belum stabil sejak bencana, jadi warkop yang memiliki genset menjadi satu-satunya tempat untuk mencari colokan.

Sambil menunggu baterai penuh, tiba-tiba masuk chat dari istriku “tanah yang kita ambil kemarin sudah mulai kering, bagusnya segera dimasukkan ke polibag sebelum hujan turun lagi”.

Mendapat pesan itu, aku langsung beranjak. Dari warkop aku menuju pasar, berniat membeli polybag yang dia minta.

Sesampainya di toko tani, aku meminta polybag besar untuk menanam cabai merah. “Berapa banyak?” tanya abang penjual. “setengah kilo saja,” jawabku.

Setelah urusan selesai, aku berniat pulang. Namun tiba-tiba aku teringat rokok. Tembakau ku sudah habis. Kalau tidak kubeli sekarang, aku tidak bisa merokok.

Aku jarang mengisap rokok kretek atau filter. Sejak lama aku terbiasa dengan rokok tradisional Aceh, tembakau yang dibalut daun nipah. Di sini, orang menyebutnya rukok ôn.

Masalahnya, selama bencana banjir dan longsor melanda Aceh, daun nipah menjadi barang langka. Beberapa hari lalu aku sudah keluar masuk beberapa kedai dan toko untuk mencarinya, tapi semua penjual mengatakan tidak ada.

Baca juga: PLN Aceh, Medioker dan Beban

Tidak jauh dari tempatku membeli polybag, ada sebuah toko yang menjual berbagai jenis tembakau. Aku segera menuju ke sana.

Beberapa hari lalu aku juga datang ke toko ini, hanya untuk mencari daun nipah—yang ternyata juga tak tersedia.

Karena tak menemukannya di mana-mana, aku akhirnya terpaksa memakai kertas rokok (paper) untuk sementara.

Aku sebenarnya tidak terlalu tahan dengan benda itu, rasanya seperti kertas koran dan membuat tenggorokanku sakit, tetapi apa boleh buat.

Dalam keadaan terpaksa semacam ini, aku teringat peribahasa orang Aceh: “daripada putoh got geunteng”—memanfaatkan apa yang ada dalam keterbatasan, daripada tidak ada sama sekali.

Begitu masuk ke toko, aku terkejut. Di atas tumpukan tembakau, tergeletak seikat daun nipah panjang. “Kak, daun rokok ini berapa harganya?” tanyaku cepat. “Aku sudah cari ke mana-mana, tapi tidak ketemu.” Lanjutku.

Kakak penjual itu tidak langsung menjawab. Ia membuka laci di samping kakinya. Dari situ terlihat beberapa ikat daun nipah yang sudah dipotong rapi. Ia mengambil satu. “Ini saja, tiga ribu,” katanya.

Aku memandangi ikatan itu dengan perasaan lega. Jumlahnya lumayan banyak, ukurannya besar-besar pula. Dalam kondisi normal, harganya sekitar dua ribu. Sekarang naik menjadi tiga ribu, tapi menurutku itu bukan masalah. Daripada tidak ada sama sekali.

Karena benar-benar sudah kehabisan daun rokok, aku berkata, “Kak, aku ambil dua ya.” Namun ia menolak halus. “Gini saja, dek. Besok insyaallah ada lagi barangnya. Sekarang satu dulu. Sisa di sini cuma lima ikat lagi. Nanti kakak kasih satu per orang supaya semua kebagian.”

Aku terdiam. Alih-alih kecewa, aku justru bangga. “Baik, kak,” jawabku. “Kalau begitu, tembakaunya sepuluh ribu, ya.”

Setelah dia memasukkan tembakau dan daun nipah ke dalam plastik, aku pun pergi. Dari kaca helm, aku sempat melihat seseorang di belakangku yang juga sedang mencari daun rokok.

Di perjalanan, aku berpikir: kakak penjual itu sungguh mengagumkan. Di tengah kelangkaan seperti sekarang, ia tetap memilih bersikap bijak.

Dalam perjalanan pulang, rasa kagum itu terus mengikuti pikiranku. Sikap kakak penjual tadi membuatku merenung bahwa di tengah situasi bencana—ketika listrik padam berhari-hari, jaringan telepon tidak stabil, air bersih sulit, sembako mahal, gas dan BBM langka—masih ada pedagang yang memikirkan pembelinya.

Dia tidak menimbun barang, tidak pula melepas sebanyak-banyaknya untuk satu orang yang sanggup membeli lebih. Ia memilih jalan tengah: adil, tenang, dan tetap mempertimbangkan kebutuhan pembelinya.

Sikap seperti itu rasanya makin langka, mungkin karena aku sudah terlalu sering bertemu dua tipe pedagang yang sebaliknya.

Tipe pertama adalah pedagang yang menimbun.

Pernah suatu ketika aku datang ke sebuah toko dan melihat barang yang kucari sudah ia bungkus rapi dalam plastik besar. Tetapi ketika kutanya apakah barang itu ada, ia menjawab tidak ada, sambil buru-buru menyembunyikannya ke dalam lemari.

Tanpa perdebatan, aku hanya mengucapkan terima kasih lalu pergi. Rasanya seperti ditolak mentah-mentah, padahal barang yang kuperlukan jelas ada di depan mata.

Tipe kedua adalah pedagang yang menjual tanpa mempertimbangkan siapa pun selain pembeli yang mau memborong dagangannya.

Aku pernah mengantre cukup lama untuk mendapatkan sebuah barang. Ketika giliranku hampir tiba, seorang ibu datang dan langsung memborong semuanya. Si penjual tidak mengatakan apa-apa—tidak menjelaskan bahwa ada antrean, tidak memberi batas pembelian, tidak menghargai waktu orang lain yang sudah menunggu. Ia menyerahkan seluruh stok kepada satu orang, dan para pembeli yang mengantre pun bubar dengan hati panas.

Maka ketika bertemu kakak penjual tembakau tadi, sikapnya terasa begitu berbeda. Ia tidak menyembunyikan barang, tidak pula menyerahkan semuanya pada satu pembeli.

Ia memberi penjelasan yang logis dan menenangkan—bahwa barang mungkin akan masuk lagi besok, dan bahwa sisa yang lima ikat itu harus dibagi rata agar semua orang mendapat bagian. Penjelasan sederhana itu, cukup membuat pembeli seperti aku merasa lega.

Dalam kondisi darurat seperti sekarang, keramahan semacam itu menjadi sangat berarti daripada harga barang itu sendiri.

Kakak itu membuat orang dapat percaya bahwa masih ada pedagang yang bekerja bukan semata-mata untuk untungnya sendiri, tetapi juga untuk menjaga keseimbangan bersama.

Melihatnya, aku merasa bahwa manusia-manusia seperti kakak itulah yang membuat dunia ini masih terasa layak huni. Aku rasa kiamat masih akan lama jika manusia-manusia seperti kakak itu masih ada di dunia.

Arizul Suwar, Magister Pendidikan, penulis buku Semoga Semua Makhluk Berbahagia, aktif menulis artikel reflektif dan ilmiah-populer tentang pendidikan, literasi, serta nilai-nilai kemanusiaan, penulis dapat dihubungi melalui arizulmbo@gmail.com.

Artikel SebelumnyaCatatan Relawan ICMI: Aceh Tamiang Butuh Bantuan Internasional
Artikel SelanjutnyaHarga LPG Melonjak, Warga Bireuen Terpaksa Masak dengan Kayu Bakar
Arizul Suwar
Arizul Suwar, merupakan Alumnus S2 Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh prodi Pendidikan Agama Islam, meminati studi dan penelitian tentang pendidikan dan kemanusiaan (humanities), dan aktif sebagai penulis lepas. Penulis beralamat di Desa Paya Luah Kec. Woyla, Kab. Aceh Barat. E-mail: arizulmbo@gmail.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here