Jika ada kejuaraan menembak, maka PLN layak meraih rekor tembakan meleset paling jauh, sebuah prestasi yang “patut diapresiasi”.
***
Minggu, 7 Desember 2025, korban bencana banjir di Aceh dibuat tercengang oleh laporan Menteri Bahlil Lahadalia kepada Presiden Prabowo bahwa 93 persen aliran listrik di Provinsi Aceh sudah kembali beroperasi pada malam itu.
Kehebohan semakin memuncak ketika beredar foto sebuah rapat yang menampilkan slide kondisi kelistrikan Aceh, namun dengan angka-angka yang sangat berbeda dengan kenyataan di lapangan.
Tulisan ini menyoroti kebijakan makro raksasa BUMN bernama Perusahaan Listrik Negara (PLN), tanpa mengurangi rasa hormat kepada 1.347 petugas PLN yang bekerja keras memperbaiki 100 gardu listrik yang mengalami kerusakan akibat bencana.
Sebelum banjir dan longsor akibat Siklon Senyar—yang diperparah oleh ketamakan manusia membabat hutan—sistem kelistrikan Aceh sebenarnya sudah mengalami beberapa kali gangguan.
Dalam ingatan penulis, listrik di Aceh padam hingga tiga kali, dan dalam setiap pemadaman tersebut muncul informasi mengenai sistem interkoneksi jaringan listrik.
Sistem interkoneksi ini menghubungkan jaringan listrik Aceh ke sistem kelistrikan Sumatera secara lebih luas, memungkinkan aliran listrik antar daerah.
Tujuannya adalah agar pasokan listrik di Aceh lebih terjamin karena tidak hanya bergantung pada pembangkit lokal.
Pada prinsipnya, sistem interkoneksi adalah mekanisme saling suplai: jika Aceh mengalami surplus daya, kelebihannya dapat disalurkan ke daerah lain seperti Medan; sebaliknya, jika Aceh kekurangan daya, maka suplai dapat ditarik dari jaringan Sumatera.
Terlihat cerdas dan akademis, bukan? Namun pada kenyataannya, sistem ini jauh api dari panggang. Kinerja PLN bahkan lebih buruk dari peribahasa “jangan seperti keledai yang jatuh dua kali pada lubang yang sama.”
Janji normalnya listrik Aceh pada 7 Desember 2025 gagal total. Alasannya adalah proses sinkronisasi antar gardu induk yang disebut membutuhkan kehati-hatian setelah SUTT Arun–Bireuen dipulihkan dari kerusakan.
Karena itu, seluruh infrastruktur diklaim harus diintegrasikan secara bertahap agar listrik dapat dipasok dengan aman, stabil, dan optimal—sebuah penjelasan yang kedengarannya canggih dan akademis.
Namun apakah benar begitu? Dalam kurun waktu tiga bulan sebelum bencana, PLN Aceh sudah pernah melakukan proses sinkronisasi tersebut lebih dari tiga kali.
Baca juga: Jembatan Meureudu Kembali Bisa Diakses Usai Putus Dihantam Banjir
Jika diibaratkan latihan silat, seharusnya jurus itu sudah sangat terlatih dan fasih.
Belum lagi adanya sistem interkoneksi yang sebelumnya digembar-gemborkan sebagai solusi canggih.
Jika terjadi kendala pasokan akibat minusnya daya dari PLTU Nagan, maka secara teori interkoneksi seharusnya mampu menutup kekurangan itu.
Dalam press release-nya, Dirut PLN menyatakan bahwa proses sinkronisasi membutuhkan waktu hingga Minggu, 14 Desember 2025.
Jika ada kejuaraan menembak, maka PLN layak meraih rekor tembakan meleset paling jauh, sebuah prestasi yang “patut diapresiasi”.
Dalam penanggulangan bencana banjir dan longsor di Aceh, manajemen PLN yang medioker ini justru menjadi beban berat.
Misalnya, Pertamina akan kewalahan karena lonjakan penimbunan BBM oleh pihak-pihak yang memiliki genset.
Selain itu, PDAM yang tidak dapat menyediakan air bersih tanpa listrik, menimbulkan efek domino yang mengerikan: endapan lumpur di rumah warga semakin memperparah kerusakan struktur bangunan, dan masyarakat yang tidak bisa mandi berhari-hari akan menghadapi risiko penyakit yang pada akhirnya membebani Kementerian Kesehatan.
Mengapa PLN tampak terlalu nyaman dengan kemediokerannya? Jawabannya tidak jauh dari satu kata: monopoli. PLN telah lama menjadi satu-satunya pemasok listrik di Aceh, tanpa pesaing, mungkin dengan alasan pertahanan negara atau dalih bahwa sumber hidup banyak orang tidak boleh diserahkan kepada swasta, namun kenyataannya justru membuat masyarakat tidak tahan menghadapi kualitas layanan PLN yang tak kunjung maju selain dalam hal membuat alasan.













Klo kata netizen X, gimana nggak medioker, masuk hasil nepotisme (keluarga) semua. saking bodohnya PLN aceh, masak mereka nggak punya “peta” aset strategis di aceh? minimal koordinasi antar lembaga lah. contoh sederhana, listrik hidup tapi air mati (karena kena jatah mati listrik (giliran)) kan bodoh kali. memang sampah.
gubernur, wakil gubernur, walikota (curhat aja yang banyak), tapi nggak kasih tekanan, punya kuasa, tapi macam orang nggak punya kuasa.