
Singkil-Sibolga merupakan sebuah hubungan yang sangat dalam. Mereka dusanak yang diikat oleh jejak sejarah.
Perdagangan antar negeri di perbatasan Aceh dan Tapanuli, dari Barus sampai Singkil, sudah berlangsung sejak sebelum era kolonial.
Kota Sibolga sekarang bahkan dibina setelah pemukiman di Pulau Poncan Ketek berpindah ke Pasa Belakang Sibolga sekarang. Lada, cengkeh, ikan, tembakau, hingga daun nipah mengalir bolak-balik menyeberang Samudra Hindia, sambil membawa identitas dan menyambung tali dusanak mereka.
Barang dagangan mereka saling mengalir lancar. Ingat rokok daun nipah (di Singkil disebut rokok pucuk) yang dijemur di jalan-jalan kampung Ujung atau Kilangan? Di Sibolga, ia merupakan legenda; ketika barang ini datang, rokok nipah dari negeri lain mestilah kena simpan dulu.
Baca: Singkil-Sibolga, Jejak Dusanak Pesisir yang Terpisah (1)
Menurut temanku bermarga Simanjuntak, rokok pucuk nipah dari Singkil itu beda, rasanya lebih mantap, dan didagangkan bukan hanya ke Sibolga, tapi sampai ke Sidempuan. Itu sudah berlaku sejak ia kecil di Badiri hingga kini menetap di Singkil.
Bagiku, apa yang dikatakannya benar; mungkin kualitasnya memang unggul dari pucuk nipah serupa di Tapanuli. Tapi aku yakin stereotip positif sebagai “barang saudara” juga membuatnya mudah diterima—diplomasi budaya bermain dalam ranah dagang.
Ini kuketahui karena setiap hari daun nipah kering itu selalu dijemur di Singkil lalu dinaikkan ke truk dalam goni, sementara lembar rupiah berpindah tangan. Rokok pucuk terus laku karena permintaan yang bukan hanya tinggi, tapi stabil dari negeri-negeri saudara di seberang.
Wilayah lain yang intens koneksi dagangnya dengan Sibolga selain Singkil adalah Kepulauan Banyak. Seorang teman bermarga Tanjung asal Haloban, Kecamatan Pulau Banyak Barat, bercerita bahwa saat kecil di era 1990-an, ada dua kali trip perjalanan dari Haloban Pulau Tuangku ke Sibolga dalam seminggu.
Menjelang hari besar seperti Idulfitri, boat-boat besar hilir mudik dari Haloban ke Sibolga, membawa cengkeh, teripang (swallow-holong), kelapa, bahkan ikan, lalu membawa balik sembako hingga baju baru untuk semarak hari kemenangan di Alaban (nama lama Haloban-Asantola). Sibolga benar-benar menjadi pusat dagang urang pulo ketika itu.
Interaksi bisnis tersebut mulai meredup saat akses darat Singkil-Rimo-Subulussalam-Medan (Sumut) dapat ditembus melalui jalan darat. Serta diperparah ketika dermaga sandar untuk boat Pulo Banyak di Kampung Ujung ditutup karena ombak Kualo Gadang di mulut Tanjung Singkil Lama terlalu ganas untuk dilalui kapal. Dermaga baru di Tangkahan Pulau Sarok dan Laguna Anak Laut tak mampu menorehkan catatan ciamik dagang Singkil-Pulau-Sibolga.
Di sisi lain, orang Sibolga merantau ke Singkil juga tak kalah ramai. Ini dibuktikan dengan aktifnya trayek angkutan umum seperti L-300 bernama Sibuluan, yang melayani Singkil-Sibolga pulang-pergi setiap hari.
Trayek yang konsisten ini menunjukkan aktifnya mobilisasi penduduk antara Singkil dan Sibolga, mengingat Kota Singkil jauh 80 km dari jalan lintas Sumatera dan jumlah penduduknya sedikit, sehingga tak mudah mencari penumpang.
Mobilisasi itu sebagian membawa kuliner sebagai produk budaya. Tahun 2010-an, di Rimo—denyut nadi dagang Kabupaten Aceh Singkil—jika ditanya makanan hits, salah satu jawabannya adalah nasi goreng Sibolga atau mi tek-tek Sibolga, bahkan sampai kini meski tak lagi sepopuler dulu.
Di Singkil hari ini pun serupa; mengguritanya makanan dari Sibolga tak boleh hanya dibaca karena peluang semata, tapi karena rasa yang nyambung di lidah orang Singkil, saudara mereka. Ini diplomasi budaya sejati: semangkuk mi hangat atau sepiring nasi goreng yang sedap bisa menyatukan dua simpul ikatan budaya pesisir beda provinsi.
Singkil-Sibolga Dalam Rindu Mereka
Saat perusahaan kayu jaya di Singkil era 1990-an, banyak lelaki Singkil merantau ke Sibolga mencari penghasilan. Sebagian adalah ayah muda yang meninggalkan keluarga kecilnya di tepi Sungai Singkil.
Saat anak-anak rindu ayahnya, sang ibu menyuruh mereka ke batang lae (Bahasa Singkil: tepi sungai) sambil membawa periuk nasi. Mereka tegak di tepian, mendekatkan mulut ke periuk agar suara bergema kuat, lalu meneriakkan “ayaaaaaaaaahhhh!” sekuatnya ke arah aliran sungai.
Sang ibu meyakinkan bahwa gema rindu itu akan dibawa aliran Sungai Singkil ke lautan Hindia, lalu digulung ombak ke Sibolga untuk disampaikan kepada ayah yang dirindukan.
Awalnya aku ragu, tapi ternyata ini benar. Kenangan romantis tentang kerinduan pada ayah di rantau membuat manusia punya banyak cara mengobatinya, dan ini diingat serta dilakukan oleh banyak orang Singkil yang hidup di tepi sungai kala itu.
Kerinduan juga pekat dirasakan di Sibolga. Tahun 2021, seorang tokoh budayawan Sibolga almarhum Tuan Syafriwal Marbun via Facebook membagikan pantun tentang kenangan manis orang Sibolga ke Singkil. Aku mencatat pantunnya:
Pulo Sarok Lampu Babeleng
Urang Mayalam Lokan di Kilangan
Bia sibuk mancari kepeng
Kampung halaman jangan dilupokan.
Dua baris awal menyebut dua nama kampung di Kota Singkil: Pulau Sarok dan Kilangan, lengkap dengan ikonnya—lampu babeleng (semacam lampu sorot besar, kini areanya jadi tempat pemakaman), dan kerang air payau bernama lokan (Latin: Polymesoda expansa).
Penyebutan nama kampung lengkap dengan ikonnya di negeri seberang tentu tak muncul secara random semata. Melainkan menunjukkan hubungan khas antara keduanya yang dituangkan dalam bait pantun.
Pantun itu untuk menyebarkan dan menjaga ingatan tersebut ke khalayak ramai bahwa kita di Sibolga punya saudara di seberang sana dengan nama Pulo Sarok dan Kilangan sebagai kampungnya, dengan lampu babeleng dan lokan sebagai simbolnya. Keren bukan cara orang Sibolga merawat rindu pada Singkil?
Singkil boleh saja dalam pelukan Aceh, dan Sibolga dalam pelukan Sumatera Utara, karena garis imajiner administratif memang digaris untuk membagi kekuasaan atas negeri-negeri. Tapi garis persaudaraan mereka masih sama, masih serumpun, dan kenang-kenangan mereka tetap menjadi ingatan bersama : kito badusanak alias kita bersaudara!











