Sejarah Kelahiran Orde Baru

sejarah kelahiran orde baru soeharto
Soeharto saat masih menjadi tentara. Foto: AFP.

Setelah Soeharto dianugerahkan Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto, yang merupakan bekas menantunya, banyak orang mulai mencari tahu sejarah kelahiran Orde Baru. Di tengah banyaknya influencer dan buzzer yang menglorifikasikan Soeharto sebagai pahlawan, tidak sedikit pula yang menolak, dengan berbagai alasan.

Bagaimana sejarah kelahiran Orde Baru? Dalam buku Jalan Panjang Menuju Demokrasi (The Long Road To Democracy)—Buku Foto Gerakan Masyarakat Sipil di Indonesia 1965-2001, yang diterbitkan oleh Yappika, dengan project manajer-nya Raharja Waluya Jati, diceritakan latar belakang sejarah kelahiran Orde Baru.

Berikut catatan panjang sejarah kelahiran Orde Baru:

Dalam epos Mahabarata, adegan perang Baratayudha yang banjir darah antara keluarga Pandawa dan Kurawa dianggap sebagai ritual yang tidak terhindarkan untuk membangun tatanan kekuasaan baru.

Jadi, sejarahpun mulai bergulir….

Transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto pun mirip pertunjukan wayang. Kekuatan Orde Baru mengalahkan lawannya, golongan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan soekarnois, melalui strategi politik kekerasan yang masif, sistematis, meluas, memakan korban dalam jumlah besar. Menurut Bertrand Russel “dalam empat bulan saja, lima kali lebih banyak telah mati di Indonesia daripada di Vietnam selama 12 tahun.”

Baca: Kala Soeharto Pertama Kali Tunaikan Haji, Berkali-kali Cium Hajar Aswad

Sejarah kelahiran Orde Baru

Sejarah kelahiran Orde Baru dapat ditelusuri dari sebuah kejadian pada dinihari 1 Oktober 1965, ketika beberapa orang jenderal diculik dan dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur. Dan paginya, Mayor Jenderal (Mayjen) Soeharto sebagai Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat (Kostrad) sudah mengambil alih komando militer serta mengamankan Kota Jakarta.

Konsolidasi kekuatan Angkatan Darat di bawah komando Soeharto kemudian diikuti dengan akasi-aksi mahasiswa menuntut pembubaran PKI di berbagai kota. Aksi-aksi mahasiswa tersebut didukung oleh tentara. Seperti demo menentang Presiden Soekarno yang dilakukan mahasiswa pada 1966, didukung oleh tentara.

Demonstrasi tersebut memaksa Presiden Soekarno dan beberapa menteri kabinet menyingkir ke Istana Bogor.
Pada Agustus 1966, Angkatan Darat juga menggelar Seminar Angkatan Darat, yang menghasilkan konsep Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang kemudian menjadi skenario militer untuk mendominasi kehidupan sosial politik masyarakat sipil di masa Orde Baru.

Peristiwa Gerakan 1 Oktober 1965 masih menyisakan banyak perdebatan mengenai siapa yang sebenarnya harus bertanggung jawab. Namun, akibatnya jelas: ribuan nyawa manusia melayang. Menurut beberapa studi dan penelitian, tidak kurang dari 250.000 hingga satu juta tewas.

Bagi Carmel Budiarjo, Direktur Tapol, organisasi hak asasi manusia yang berbasis di London,Kejahatan Soeharto terbesar bukanlah begitu banyak orang telah terbunuh atas perintahnya dalam waktu enam bulan setelah ia merebut kekuasan dari Presiden Soekarno.

Bukan karena begitu banyak organisasi dinyatakan ilegal dan berjuta-juta orang telah dianiaya. Melainkan bahwa ia telah menggunakan kebohongan untuk menciptakan kekuasaan teror dan mendirikan sistem represif yang mencengkeram Indonesia.

Setelah mengambil alih kekuasaan—melalui Supersemar yang misterius itu– Soeharto menggerakkan kaum sipil untuk menangkap, meneror, menjarah, membakar, menyiksa, membunuh dan menahan para pendukung PKI dan Soekarno.

Jumlah narapidana yang tersangkut dengan peristiwa politik itu mencapai 1,43 juta jiwa pada tahun 1970-an. Para tahanan disekap di berbagai penjara yang tersebar di seluruh Indonesia. Salah satu tempat pengasingan dan penjara tahanan politik yaitu di Pualau Buru. Di sana dibuka Projek Tempat Pemanfaatan (tefaat) ribuan tahanan politik yang dilabel penguasa Orde Baru tersangkut Gerakan 1 Oktober 1965.

Meskipun jutaan yang dieksekusi mati, dan jutaan yang ditahan, para korban umumnya dihukum di jalanan –extra judicial killing–, hanya beberapa orang yang dihadapkan ke meja hijau.

Pada 23 Februari 1967, Soeharto resmi diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia, menggantikan Soekarno. Kekuasaan Soekarno yang populis digantikan oleh kekuasaan yang lebih mengutamakan stabilitas dan pembangunan. Militer pun muncul sebagai kekuatan sosial politik paling dominan.

Soeharto menempatkan militer sebagai kekuatan pendukung utama pemerintahannya melalui peran ganda yaitu sebagai alat keamanan dan pertahanan negara, para tentara –khususnya perwira—menguasai berbagai jabatan sosial politik. Kemudian memasuki dunia bisnis melalui Yayasan-yayasan yang mereka ciptakan dengan dalih untuk kesejahteraan prajurit.

Militer juga diberikan ruang besar dunia politik di parlemen. Tanpa harus ikut pemilu, para perwira aktif yang ditunjuk mendapatkan jatah kursi DPR mulai dari tingkat nasional hingga daerah tingkat II (kabupaten). Mereka dikumpulkan dalam Fraksi ABRI.

Demikian kursi gubernur dan bupati, banyak sekali diberikan kepada perwira militer aktif maupun yang telah pensiun.

Pada setiap pemilihan umum di masa Orde Baru, sejatinya hanyalah ritual politik untuk mengesahkan kekuasaan Soeharto. Sampai enam kali pemilu di masa Soeharto berkuasa, Golkar selalu menjadi pemenang.
Partai politik –yang kemudian berfusi dalam PPP dan PDI—tidak diperkenankan melakukan aktivitas politik praktis di tingkat bawah (kabupaten).

Kedua partai yang dibentuk sebagai rumah berfusinya partai-partai –PPP untuk partai berhaluan Islam dan PDI untuk partai berhaluan nasional dan nonIslam—hanya sebatas aksesoris demokrasi yang disebut Demokrasi Pancasila. Partai-partai itu tidak boleh mengkritik pemerintah atau menjalankan program partai yag mandiri.

Golkar yang sepanjang sejarah Orde Baru bukanlah partai politik, yang dianggap sebagai “partai pemerintah” meraup suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu. Bila di sebuah daerah Golkar tidak menang, maka jangan harap pembangunan akan dilakukan. Bahkan bila ada proyek yang sudah diagendakan, segera dialihkan ke tempat lain.

Dan sejarah pun kemudian mencatat, atas nama stabilitas dan pembangunan, Soeharto memimpin Indonesia dengan tangan besi. Melahirkan banyak tragedi kemanusiaan dari ujung barat hingga ujung timur.

Artikel SebelumnyaWali Nanggroe Akan Berikan Anugerah Adat untuk Tito, Mualem Ucapkan Selamat
Redaksi
Komparatif.ID adalah situs berita yang menyajikan konten berkualitas sebagai inspirasi bagi kaum milenial Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here