Marsinah, Pahlawan Nasional Korban Orde Baru

marsinah pahlawan nasional
Marsinah. Migran Care.

Marsinah. Dia hanya seorang buruh di pabrik jam tangan di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Buruh. Pendidikannya setingkat SMA. Marsinah lahir pada 10 April, 1969 di Nganjuk Jawa Timur. Kalau ia masih hidup, sekarang umurnya 56 tahun.

Dia tidak memiliki beaya untuk sekolah. Ia pun dibesarkan oleh neneknya sekalipun dia memiliki ayah dan ibu kandung. Hal ini sangat biasa dalam masyarakat Indonesia. Kesulitan ekonomi membuat orang-orang tua harus mengasuh cucu-cucunya karena orangtuanya harus bekerja. Kadang merantau jauh.

Dengan pendidikan setingkat itu, tidak banyak pilihan untuknya. Dia menjadi buruh di kota-kota dekat tempat kelahirannya. Pertama dia menjadi buruh pabrik sepatu Bata di Surabaya. Kemudian, dia menjadi buruh pabrik jam tangan di PT Catur Putra Surya di Sidoarjo. Pabrik jam tempat Marsinah bekerja sekarang sudah tenggelam oleh lumpur Lapindo Sidoarjo.

Baca: Prabowo Beri Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, Istana Ungkap Alasannya

Saat Marsinah bekerja sebagai buruh (awal 1990an), Indonesia masih di bawah Orde Baru pimpinan Jendral Soeharto. Rezim militer ini sangat haus akan investasi setelah mengeruk habis sumber daya alam. Soeharto membuka Indonesia seluas-luasnya untuk investasi. Buruh murah dianggap sebagai keunggulan komparatif demi bersaing dengan negara-negara lain.

Itulah sebabnya buruh sangat diawasi. Pemogokan buruh dilarang. Serikat buruh dikontrol ketat dan diafiliasikan dengan Golkar, yang saat itu tidak menjadi partai politik, tapi pura-pura berfungsi seperti partai. Serikat-serikat buruh selain yang dikontrol pemerintah dilarang.

Awalnya adalah tahun 1992, ketika Gubernur Jawa Timur Mayjen Soelarso mengeluarkan edaran yang berupa imbauan agar para pengusaha di wilayahnya menaikkan upah harian sebesar 20% dari gaji pokok.

Sebagaimana pada zaman Orde Baru, ini hanya imbauan. Bukan peraturan yang penerapannya bisa dipaksakan.
Namun itu sudah membuat buruh untuk memprotes keadaan mereka. Termasuk Marsinah. Ia adalah buruh biasa. Sebagai buruh, ia sangat merasakan bagaimana sulitnya hidup. Jam kerja yang panjang. Jaminan-jaminan sosial yang kurang. Dan, upah yang tak pernah cukup.

Marsinah kemudian menjadi aktivis buruh. Ia mengorganisir kawan-kawannya meminta perbaikan upah. Dia termasuk salah satu pemimpin buruh di pabriknya. Pada 3-4 Mei buruh PT Catur Putra Surya melakukan protes dan pemogokan. Mereka menuntut kenaikan upah minimum seperti yang dianjurkan gubernur dan menuntut pendirian serikat buruh independen.

Hari-hari sebelum protes dan pemogokan, aparat-aparat dari koramil sudah mengintimidasi para buruh. Mereka diminta untuk tidak mogok, dan kalau mogok akan mendapat konsekuensi. Namun itu tidak dihiraukan oleh para buruh. Pada hari pemogokan, Kodim mengerahkan seluruh aparatnya untuk berjaga-jaga. Tentu intimidasi dan ancaman-ancaman juga tetap dilakukan.

Pada tanggal 5 Mei, Marsinah yang adalah salah satu pemimpin pemogokan menghilang. Pada mulanya kawan-kawannya mengira bahwa ia pulang ke Nganjuk. Namun tidak ada kabar hinggal tanggal 8 Mei, Marsinah ditemukan tewas dengan tubuh mengenaskan di sebuah gardu ronda di Dusun Jegong, Desa Wilangan, Nganjuk.

Ia disiksa secara brutal dan sadis sebelum dibunuh. Komite Solidaritas Untuk Marsinah menemukan tanda-tanda penyiksaan yang sadis termasuk patah tulang, sundutan rokok, dan bahkan kerusakan kelamin akibat dimasukkan benda keras seperti kayu/besi. Penyiksaan yang sulit dibayangkan dilakukan oleh manusia biasa.

Ketika itu, aparat menahan dan mengadili pemilik dan manajemen PT Catur Putra Surya. Namun sekalipun dihukum berat, Mahkamah Agung membebaskan mereka semua karena proses pemeriksaan yang penuh dengan rekayasa.

Komite Solidaritas Untuk Marsinah dan Komnas HAM menemukan indikasi bahwa ia disiksa secara brutal dan sadis oleh aparat-aparat militer di Kodim 0816/Sidoarjo. Dugaan ini tidak pernah bisa dikonfirmasikan. Setiap usaha penyelidikan atas kematian Marsinah dihalang-halangi oleh pihak militer. Hingga saat ini tidak ada pihak yang bertanggungjawab atas kematian mengenaskan dari seorang aktivis sederhana ini.

Marsinah, Luka dan Anomali Logika

Hari ini, barangkali Saudara mendengat bahwa Marsinah diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Saya tidak tahu apa maksud rezim ini mengangkat Marsinah menjadi Pahlawan Nasional. Kasusnya sendiri tidak pernah diselesaikan. Tidak pernah ada niat untuk menghukum orang-orang yang terlibat dalam kematian tragis aktivis buruh ini.

Bagai menggarami luka, pengumuman Marsinah sebagai Pahlawan Nasional disandingkan dengan Jendral Soeharto. Ini persis seperti menyandingkan pembunuh dan korbannya. Militer yang diduga membunuh Marsinah beroperasi atas perintah Soeharto untuk membungkam hak-hak buruh atas hidup layak. Tidak banyak yang diminta oleh para buruh seperti Marsinah — hanya cukup makan tiga kali sehari, berpakaian pantas, dan punya kamar kos yang kadang dibagi dengan beberapa orang. Juga mungkin, kalau ada sisa, mengirim sedikit untuk nenek yang membesarkannya.

Untuk saya, sangat jelas mengapa Marsinah disandingkan dengan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional? Sebab sang martir bisa berfungsi sebagai pemutih dan penetral kontroversi tentang Soeharto. Hei, lihat kami juga menjadikan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional. Tidak hanya Soeharto.

Ini adalah penghinaan atas penderitaan sang aktivis buruh itu. Khususnya karena tidak ada orang yang bertanggung jawab atas kematiannya. Ini memperkuat asumsi “kalau kamu militer, kamu bisa berbuat apa saja” tanpa ada konsekuensi apa pun. Dan bahkan kamu bisa menjadi Pahlawan Nasional.

Menghukum orang yang menyiksa secara brutal dan sadis sang buruh, jauh lebih penting daripada menjadikannya Pahlawan Nasional. Apalagi menyandingkannya dengan Soeharto.

Catatan: Dikutip dari linimasa penulis.

Artikel SebelumnyaMenkeu Purbaya Ungkap Bakal Hapus Tiga Nol di Rupiah

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here