Zakat ASN di Aceh Capai Rp3 M/Bulan, Namun Penyaluran Tersendat Administrasi

Zakat ASN di Aceh Capai Rp3 M/Bulan, Namun Tersendat Administrasi zakat profesi pns aceh
Komisioner Baitul Mal Aceh (BMA), Muhammad Ihsan. Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Komisioner Baitul Mal Aceh (BMA), Muhammad Ihsan, mengungkap zakat dari aparatur sipil negara (ASN) di Aceh bisa mencapai Rp3 miliar per bulan, namun sering tertahan akibat mekanisme administrasi.

Untuk mengatasi hal itu, Ihsan mengusulkan agar BMA diarahkan menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), sehingga bisa mengelola dana secara lebih independen dan efisien.

Hal itu ia utarakan saat sosialisasi potensi dan kewajiban zakat untuk kalangan media di Kopi Nanggroe, Selasa (4/11/2025).

Keterlambatan birokrasi juga membuat dana infak dalam jumlah besar sempat mengendap tanpa tersalurkan. Ihsan mengungkapkan, ketika dirinya pertama kali menjabat pada 2022, terdapat Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) infak sebesar Rp323 miliar karena belum adanya aturan pelaksana berupa peraturan gubernur.

Setelah regulasi tersebut terbit, penyaluran mulai dilakukan untuk pembangunan rumah dan pemberdayaan usaha, meski hingga kini masih tersisa sekitar Rp150 miliar.

Karena terhalang aturan keuangan daerah, dana tersebut tidak dapat digunakan untuk investasi produktif. Sebagai alternatif, BMA menempatkan dana itu dalam bentuk deposito on call di Bank Aceh yang hanya menghasilkan sekitar Rp5,5 miliar per tahun.

Baca juga: DPRA Gelar RDPU Bahas Perubahan Kedua Qanun Baitul Mal

“Kalau kita bisa jadi badan hukum publik, tentu bisa banyak hal kita lakukan. Sekarang tidak bisa, terjerat aturan daerah,” tambahnya.

Ihsan juga menyebut potensi zakat Aceh sangat besar, mencapai Rp3,1 triliun per tahun. Namun, Ihsan menyebut realisasi pengumpulan zakat oleh BMA di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota baru mencapai Rp 330 miliar, atau sekitar 12 persen dari potensi tersebut. Masih ada 88 persen dana zakat yang belum tergali.

Ihsan menjelaskan, penyebab utama keterlambatan penyaluran zakat adalah status kelembagaan BMA yang terjebak dalam aturan keuangan daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, BMA saat ini dikelola layaknya lembaga pemerintah daerah, bukan sebagai lembaga keistimewaan sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Akibatnya, setiap pencairan dana harus melalui proses birokrasi berlapis, seperti penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM) dan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).

“Kendala di kita karena ikut keuangan daerah. Masuknya dana lancar, tapi keluarnya seret,” ujar Ihsan.

Masalah birokrasi juga muncul dalam hal teknis. Ihsan mengungkapkan, penyaluran zakat sempat tertunda hanya karena kesalahan kode rekening. Dana zakat dan infak ditempatkan di pos belanja bantuan sosial, yang memerlukan tanda tangan kepala daerah untuk pencairan. Untuk mengatasi hal ini, Kementerian Dalam Negeri menjanjikan pemberian kode rekening khusus “Harta Agama” untuk Aceh pada 2026.

Selain itu, upaya BMA untuk memperjuangkan zakat sebagai pengurang pajak bagi perusahaan juga belum membuahkan hasil. Surat pengajuan dari Pemerintah Aceh disebut masih berputar di antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Agama.

Artikel SebelumnyaBupati Pidie Sebut Pemberantasan Korupsi Bukan Hanya Tugas KPK
Artikel SelanjutnyaWakil Ketua DPRA Desak Kasus Pembunuhan Mahasiswa Simeulue di Masjid Agung Sibolga Diproses Tuntas

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here