
Nama Nasir Djoely melegenda di kalangan pekerja Bechtel yang sedang membangun Train 1, 2, dan 3 Arun Project di Blang Lancang, Aceh Utara. Bermodal ijazah STM dia nekat menembus ketidakmungkinan. Nasir Djoely membuktikan bahwa dirinya mampu. Berkali-kali diajak bekerja ke Timur Tengah, tapi ia menolak.
Kamis, 23 Oktober 2025. Di bawah langit mendung yang memayungi Kota Lhokseumawe—bekas ibukota Kabupaten Aceh Utara—saya bergegas menuju salah satu kantor Bank Syariah Indonesia (BSI) yang berlokasi di Kecamatan Banda Sakti. Di bekas Kota Petro Dollar ini, BSI membuka empat kantor. Tapi itu tak penting bagi saya. Sebagai pekerja independen, hal terpenting bagi saya ada uang di dalam rekening. Karena bila uang tidak ada, apa pun bank-nya tak ada pengaruh.
Tiba di beranda BSI Banda Sakti, saya parkirkan sepeda motor. Kemudian melangkah menuju pintu. Pintu kaca itu saya dorong lembut. Seorang satpam menyambut dengan senyuman. Saya mengucapkan salam, dan menyalami si satpam.
Baca: Lapangan Arun Masuk Radar Proyek Strategis Nasional
Saya langsung mengambil nomor antrean dari mesin penerbit nomor antrean. Setelah nomor antre keluar dari mesin mirip ATM, saya lekas mencari tempat duduk. Setelah melihat kiri-kanan, saya memilih duduk di samping seorang pria berjenggot putih yang mengenakan kemeja pantai. rambutnya disalup kopiah Yaman.
Pria itu menyapa saya. Dia bertanya saya dari mana dan nomor antrian berapa? Sembari tersenyum saya menunjukkan kertas thermal yang berisi cetakan nomor antrean.
Teman-teman, di Lhokseumawe kertas thermal sangat bernilai bagi perajin batu akik. Orang-orang di bekas ibukota Aceh Utara percaya bahwa kertas thermal bisa membantu mengilatkan batu akik yang telah dibentuk sebagai center stone.
Nilai sebuah cincin batu akik sangat tergantung dari akik yang dipasang di center stone. Kepercayaan itulah yang membuat kertas tersebut diambil secara sukarela oleh penggiat dan pecinta cincin batu akik di Lhokseumawe. Dengan demikian, tong sampah di dalam Anjungan Tunai Mandiri (ATM) sering kosong. Sangat membantu petugas cleaning service.
Kembali ke lelaki gaek tadi. Pria itu mengamati sekilas nomor antrean milik saya. “Oooo, tidak lama lagi. Hanya ada enam antrean lagi,” katanya dengan wajah bersahabat.
Di BSI Banda Sakti, pria tersebut terlihat sangat akrab dengan karyawan. Setiap karyawan BSI melintas, selalu menyalaminya. Mereka memanggil pria di samping saya dengan sebutan abah.
Saya penasaran, dan bertanya mengapa karyawan BSI menyalaminya? Ternyata salah satu anaknya pernah menjadi pemimpin di BSI Banda Sakti.
Pria ini sangat komunikatif. Meskipun kami baru kenal, dia sudah bicara banyak hal. Termasuk menceritakan tentang orang-orang yang ceroboh saat mengambil uang di bank, kemudian dirampok oleh penjahat. Peristiwa tersebut terjadi tidak jauh dari lokasi mereka duduk menanti dipanggil petugas bank.
Meskipun sudah bicara agak lama, tapi saya belum mengetahui namanya. Saya pun mengajukan tanya, siapa nama pria yang disapa abah oleh karyawan BSI. Sembari tersenyum dia memperkenalkan diri. Namaya Nasir Djoely. Lahir di patok limong –kilometer 5—Juli, Bireuen.
Dia mengaku terkesan melihat saya. Gaya saya masuk ke dalam bank sangat unik. Menguluk salam dan menyalami satpam. “Kamu ini nampak garang, tapi saya terkesan dengan kamu. Hampir tak pernah saya menemukan orang masuk ke bank memberi salam dan menyalami satpam, saya tadi melihat kamu melakukan itu.”
Saya tersenyum. Berterima kasih atas apresiasi. Kemudian saya mengatakan tidak asing dengan nama Nasir Djoely. “Nama Bapak tidak asing di telinga saya.”
Dia tersenyum. “Apakah kamu pernah bekerja di Blang Lancang?”
Saya terkekeh kecil. Kemudian mengatakan pernah bolak-balik masuk pabrik. Baik sebagai siswa STM Bireuen yang sedang mengikuti Pendidikan Sistem Ganda (PSG), praktek kerja industri saat kuliah. Pernah menjadi pekerja shutdown, pernah sebagai peserta training di Technical Departement.
Kami terlihat sama-sama bersemangat. Nasir Djoely membuka telepon. Menunjukkan nomor WA Tommy Heichmann, Bos Bechtel Inc dalam Arun Project Field, Blang Lancang. Meski sudah lama ia tidak lagi bekerja di Bechtel, hubungan keduanya tetap terjalin. Bahkan sering berkomunikasi.
Nasir mengatakan dulu Tom sering mengajaknya menjadi ekspatriat ke luar negeri. Dia mengajak Nasir Djoely bekerja pada project di Kuwait, Bahrain, Dubai, dan lain-lain. Tapi tawaran tersebut, semuanya ditolak oleh Nasir.
Saya terkejut dan terheran-heran. Mengapa Nasir menolaknya? Padahal bekerja pada perusahaan besar kaliber internasional, apalagi Bechtel, merupakan impian banyak orang.
Nasir menjelaskan bila istri dan anak-anaknya tidak bersedia pindah ke luar negeri. Mereka cukup nyaman di Lhokseumawe. Apalagi saat itu dia sudah membuka toko spare part mobil di Kota Lhokseumawe. Keuntungan setiap hari mencapai Rp1,5 juta. Sedangkan gaji di project migas di Teluk waktu itu Rp1 juta, bila dikurskan dengan rupiah.
Saya menikmati cerita yang dia sampaikan. Sebuah pengalaman yang mahal dan sangat berharga. Sesekali saya ikut menimpali. Tapi lebih banyak mendengar.
Nasir Djoely Bekerja Sebagai Karyawan Bechtel
Dia kemudian mengisahkan perjalanannya bisa bekerja di Bechtel. Tahun 1976 dia menamatkan pelajarannya di STM Banda Aceh. Jurusan Mesin. Dengan modal ijazah STM, Nasir menuju Kota Lhokseumawe.
Saat dia tiba di Blang Lancang, ribuan anak muda telah berkumpul. Semuanya memiliki tujuan yang sama. Mendaftarkan diri sebagai calon karyawan. Para pelamar berdiri berjejer di sepanjang pagar kantor perusahaan. Saat itu Nasir Djoely ditolak. Dia tidak memiliki sertifikat pengalaman kerja. Kemudian dia juga dianggap bukan putra daerah.
Saat disebut bukan putra daerah, dia mengadu argumen. Bukankah putra daerah yang dimaksud yaitu penduduk Aceh dari Tamiang hingga Sabang. Dari Aceh Barat hingga Aceh Selatan. Tapi argumennya tidak berbuah hasil. Dia tetap ditolak.
Setelah gagal, Nasir pulang ke Bireuen. Dengan tekad kuat dia mendatangi Kantor PT Marjaya. Di sana dia minta diberikan sertifikat. Tapi saat itu direktur utama sedang di Belanda. Nasir gagal mendapatkan sertifikat. Pria itu pulang dengan tangan hampa.
Tapi Nasir masih belum hendak menyerah. Dengan semangat menggebu-gebu dirinya kembali ke Blang Lancang. Tiba di Blang Lancang dia berdiri sembari memegang map berisi surat lamaran kerja. Saat itu seorang bule berpenampilan seperti cowboy yang sedang mengendarai truk Kenworth menyapanya.
Pria bule itu sedang mengangkut beberapa karyawan. Bule itu menyapa, “Hei, what are you doing here?”
Mendapatkan pertanyaan dalam Bahasa Inggris, membuat adrenalin Nasir meningkat dua kali lipat. Spontan dia menjawab, “seeking job, Sir,”
Bule tersebut memperhatikannya. “Your School?”
“Yes, Sir. School engine,” jawabnya tangkas.
Bule tersebut membuka pintu truk, kemudian turun. Dia mengambil secarik kertas dan menulis memo.
“Bawa memo ini ke dalam,” katanya. Kemudian bule itu kembali masuk ke dalam kabin truk.
Dengan perasaan campur aduk, Nasir mematuhi perintahnya. Dirinya membawa memo itu ke bagian personalia. Karyawan bidang personalia bingung melihat kehadiran seorang anak muda yang membawa memo dari bule Texas.
Karyawan bidang personalia bertanya apakah Nasir memiliki saudara di Bechtel? Pria itu menggeleng, “Saya tidak punya saudara di sini. Tapi Allah mengenalkan saya dengan seorang bule itu,” jawab Nasir sembari menyebut nama pemberi rekomendasi.
Memo itu cukup kuat. Nasir diterima. Tapi harus mengikuti tes. Petugas yang menguji Nasir pria dari Palembang.
Saat ujian berlangsung, Nasir mengatakan ketimbang dia diberikan banyak pertanyaan dan ujian, lebih baik dia dipukuli saja menggunakan kunci. Sebagai fresh graduate STM, dia tentu belum memiliki banyak pengetahuan. Apalagi mesin-mesin di Bechtel semuanya produksi Amerika Serikat. Berbeda dengan peralatan praktek di STM.
Kepada bule-bule di workshop Nasir Djoely juga mengatakan, orang-orang miskin seperti dirinya tidak mungkin berkesempatan belajar ke Amerika Serikat. Lebih baik bule-bule itu mengajarinya. Alhamdulillah, mereka sangat antusias mengajari Nasir muda yang sedang on fire.
Sebagai lulusan STM, Nasir cepat berproses. Dia belajar dengan sangat tekun. Dengan demikian dia cepat menguasai mesin-mesin buatan Amerika Serikat. Bahkan kemudian dia mampu memecahkan beberapa masalah mesin yang tidak mampu dipecahkan oleh mekanik dari Amerika Serikat.
Mekanik-mekanik bule di workshop menyenangi Nasir. Mereka memuji Nasir sebagai pemuda lokal yang tekun dan berdedikasi. Dia diberikan apresiasi. Dalam sebulan gajinya naik dua kali.
Dalam kamus Nasir, setiap masalah harus ditemukan penyelesaian. Beberapa kasus mekanik bule sudah angkat tangan, tapi Nasir tak menyerah. Dia cari persoalannya hingga ditemukan. Kemudian dia perbaiki dengan penuh ketelitian dan kesabaran.
“Akhirnya kalau ada kasus mesin saya tidak pernah bilang ‘tidak bisa’, tapi saya bilang ‘saya akan coba’. Gaji saya waktu itu; tahun 1976, Rp.45.000 perbulan, tapi dihitung dua kali, karena hitungan dollar,” kenangnya.
Apa yang membuat ia bisa menaklukkan ketidakmungkinan? Ternyata Nasir selalu mengingat pesan ayah dan ibunya. Sebelum tidur membaca Yasin tiga kali. Filosofi Yasin yaitu bila Allah sudah berkehendak, tak ada kekuatan yang dapat menghalangi. Nyoe Allah geunak brie, hana soe jeut theun. Nyoe Allah geutheun, hana soe keuneuk brie.
Kedua, jangan lupa baca Al Ikhlas, dan selalu beri salam dan ramah kepada semua orang. Hal lainnya, jangan mudah menyerah.
Bincang kami harus berakhir tatkala namanya dipanggil oleh costumer service. Dia bangkit dengan menggunakan tongkat. Saat saya dipanggil CS bank, sudah selesai, saya pun menyalaminya. Anehnya Nasir Djoely menyalami dengan gaya salam komando. Kemudian kami berpisah.











