Hukum dan Makhluk Sosial

Hukum dan Makhluk Sosial
Mahmudi Hanafiah, S.H., M.H. Dosen UNISAI Samalanga, Bireuen. Foto: Dok. Penulis.

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat menghindar dari berinteraksi dengan sesama. Dalam berinteraksi itulah perlu adanya hukum untuk memastikan setiap orang terpenuhi hak dan kewajibannya.

***

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan mu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat; 13).

Ayat tersebut menegaskan bahwa di balik keberagaman suku dan bangsa di kalangan umat manusia terdapat hikmah yang tersembunyi, yaitu agar mereka saling mengenal satu sama lain. Perbedaan tidak untuk dijadikan sebagai modal perpecahan. Perbedaan hendaknya dipadukan untuk menciptakan suatu keindahan.

Dua Identitas dalam Satu Entitas

Manusia tidak hanya perlu menjaga hubungan dengan Sang Pencipta, akan tetapi juga dituntut untuk memastikan kelestarian hubungan antar manusia. Dalam Islam dikenal adanya hablun minallah dan hablun minannas, atau dikenal pula dengan sebutan hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Memastikan kelestarian kedua hubungan tersebut dinilai sebagai ibadah.

Hubungan dengan Allah dijalin dengan melakukan ibadah mahdhah, seperti salat, puasa dan haji. Sedangkan hubungan dengan sesama manusia dipastikan kelestariannya dengan melaksanakan ibadah ghair mahdhah, seperti zakat, sedekah dan menjalin silaturahmi.

Kedua hubungan tersebut perlu dijaga, karena di samping sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, entitas manusia hanya perlu memastikan kelangsungan hidup pribadi dan keluarga yang berada di bawah tanggungannya. Namun, dalam memenuhi kebutuhan tersebutlah status manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dihindari.

Baca juga: Iman Yang Tak Runtuh Meski Musala Yang Roboh

Dalam memastikan kebutuhan individu dan keluarga terpenuhi dengan semestinya, kerap sekali seseorang itu dituntut untuk berinteraksi satu sama lain. Ketika itu, upaya untuk memastikan terpenuhi hak dan kewajiban sangat perlu diperhatikan. Setiap orang tentu saja memiliki hak yang akan didapatkan dari orang lain, juga ada hak orang lain berupa kewajiban yang harus dipenuhi.

Dalam berinteraksi dengan sesama, manusia memfungsikan statusnya sebagai makhluk sosial. Status manusia sebagai makhluk sosial oleh Aristoteles menyebutnya sebagai zoon politicon.

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat menghindar dari berinteraksi dengan sesama. Dalam berinteraksi itulah perlu adanya hukum untuk memastikan setiap orang terpenuhi hak dan kewajibannya.

Tidak boleh ada orang yang melalaikan kewajiban terhadap orang lain, dan tidak boleh ada orang yang haknya direnggut oleh orang lain. Dalam hal ini, komunitas manusia yang hidup berdampingan dan saling berinteraksi dikenal sebagai masyarakat hukum, dan hukum itu akan selalu ada setiap adanya suatu komunitas manusia (ubi societas ibi ius).

Hukum sebagai Jembatan

Keberadaan hukum dalam memastikan terpenuhi hak dan kewajiban dalam interaksi manusia sebagai makhluk sosial menunjukkan bahwa hukum merupakan ‘jembatan’ antara dua status manusia.

Status manusia sebagai makhluk individu dan sosial merupakan dua hal yang bertolak belakang. Hukumlah yang menjembatani antara dua status yang berbeda tersebut.

Hukum sebagai aturan berfungsi mengatur dan menertibkan tatanan kehidupan sosial masyarakat dalam berbagai level. Hukum mengatur batas-batas yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan seseorang dalam berbagai ruang lingkup. Hukum mengatur hubungan antar suami dan istri.

Hukum mengatur hubungan antar tenaga pendidik dengan peserta peserta didik. Hukum mengatur interaksi antara pejabat publik dengan warga negara. Hukum mengatur interaksi sosial dalam berbagai lingkungan, mulai dari lingkungan terkecil seperti keluarga sampai lingkungan terbesar di tingkat nasional bahkan internasional. Kehidupan masyarakat sosial tanpa hukum mustahil bisa tertata dengan rapi.

Untuk Siapakah Hukum Dibuat?

Hukum merupakan milik seluruh warga negara, bukan hanya milik segelintir pejabat atau penguasa. Semua warga negara yang telah mempunyai kapasitas sebagai subjek hujum berhak melakukan perbuatan hukum dan seluruh warga negara berhak mendapatkan perlakuan hukum yang adil.

Sesuai dengan bunyi sila yang kelima: ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’, yang pada prinsipnya merupakan salah satu asas hukum. Oleh karena itu, setiap warga negara pada dasarnya harus bisa mengakses hukum, sebagaimana asas ‘equality before the law’ (kesamaan di mata hukum).

Asas tersebut menghendaki bahwa setiap warga negara berhak dan mampu mengakses hukum walau tidak ada bantuan dari pihak eksternal. Tidak ada orang yang diintimidasi dengan beragam pertanyaan yang diajukan oleh pengacara dari pihak lawan dalam berperkara, seandainya seseorang tidak mampu menyewa jasa pengacara saat ber perkara. Semua orang harus ditempatkan pada posisi yang sama saat berhadapan dengan hukum.

Kekurangan biaya dalam menyewa pengacara jangan menjadi penghalang dalam berjuang untuk mendapatkan hak. Terkesan tidak enak didengar istilah kalah-menang dalam berperkara jika kekalahan atau kemenangan itu dilatarbelakangi oleh kuat atau tidaknya argumen yang disampaikan oleh pengacara.

Kebenaran seolah-olah bertumpu pada kekuatan argumen pengacara, tidak pada kebenaran yang faktual.

Begitu juga halnya dengan penegak hukum. Tidak dibenarkan ada pihak tertentu yang bisa mengintervensi atau mempengaruhi mereka dalam menegakkan hukum sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Semua pelaku perbuatan hukum harus diproses sesuai ketentuan dan tidak ada satu tahapan pun yang boleh luput dari pemeriksaan.

Begitulah idealnya sebuah hukum. Ia menjembatani posisi manusia antara dua status yang berbeda, yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Ia tidak memandang siapa berhadapan dengan siapa.

Semua orang punya hak yang harus diterima dan punya kewajiban yang harus dipenuhi. Tidak ada hak rakyat melarat yang bisa direnggut oleh pejabat atau konglomerat dan tidak ada kewajiban apapun dan siapapun yang bisa diabaikan dari amanat. Hukum bertugas memastikan ketertiban sosial dengan upaya dasar berupa terpenuhi hak dan kewajiban setiap individu masyarakat.

Kenapa harus ada norma hukum setelah adanya norma agama?

Keberadaan hukum di negara Indonesia merupakan sebuah keniscayaan, meskipun pada dasarnya ketentuan-ketentuan hukum telah termaktub secara kompleks dalam norma agama.

Hal itu disebabkan oleh entitas negara Indonesia sebagai negara yang penuh keberagaman dalam berbagai bidang, termasuk dalam hal agama dan kepercayaan. Tidak dimaksudkan bahwa norma hukum lebih tinggi posisinya dari norma agama.

Akan tetapi, norma hukum tidak bisa dibantah oleh siapapun dan dari latar belakang agama atau kepercayaan apapun di Indonesia. Jadi, norma hukum tidak hanya menjembatani manusia dalam statusnya sebagai makhluk individu dan sosial, akan tetapi juga mewadahi semua keberagaman masyarakat Indonesia dalam berbagai bidang.

Artikel SebelumnyaUIN Ar-Raniry Perluas Akses Pendidikan Doktoral ke Barat Selatan Aceh
Artikel SelanjutnyaBea Cukai Aceh Ungkap 665 Kasus Pelanggaran, Barang Ilegal Capai Rp25,6 Miliar

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here