
Komparatif.ID, Banda Aceh— Pada sidang paripurna DPR Aceh pada Kamis (25/9/2025) lalu, Pansus Minerba dan Migas DPR Aceh menyebut 1000 alat berat di 450 lokasi tambang di Aceh menyetorkan uang Rp30 juta per bulan penegak hukum di masing-masing wilayah.
Meski tidak merinci siapa APH yang dimaksud, Pansus menyebut perputaran dana gelap dari tambang ilegal mencapai Rp360 miliar per tahun.
Menanggapi hal tersebut, Wadir Reskrimsus Polda Aceh, AKBP Sandi Sinurat, meminta Pansus DPRA membuka data tersebut untuk segera ditindaklanjuti dan tidak jadi isu liar di tengah masyarakat.
Ia mengakui keberadaan tambang ilegal dan tantangan di lapangan, termasuk resistensi masyarakat yang dimanfaatkan cukong sebagai tameng.
“Kalau seperti ini kan lempar batu sembunyi tangan. Kalau mau ditindaklanjuti, ya mari sama-sama kita carikan siapa yang menerima, siapa yang melakukan, dan siapa sumbernya. Kan harus jelas,” kata Sandi saat diskusi publik di Banda Aceh, Selasa (7/10/2025).
Sandi menegaskan pihak kepolisian siap mendukung kebijakan Gubernur Aceh Muzakir Manaf menindak cukong tambang ilegal. Namun penegakan hukum harus memiliki dasar hukum kuat. Menurutnya, penegakan hukum tidak bisa berjalan di atas opini atau sensasi politik yang dilempar ke publik.
Baca juga: Pansus DPRA Ungkap 1000 Alat Berat Tambang Ilegal Setorkan Rp30 Juta/Bulan ke Aparat
Ia juga menegaskan komitmen Polda Aceh menertibkan tambang ilegal, salah satu langkah yang dilakukan adalah melalui deklarasi “Green Policing” atau pemolisian hijau sebagai upaya memberantas tambang ilegal yang diinisiasi Kapolda Aceh Irjen Marzuki Ali Basyah.
Green Policing merupakan pendekatan yang mencakup filosofi, strategi, dan kegiatan untuk mendorong kemitraan antara kepolisian dan masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman, tertib, serta berkelanjutan. Program ini menjadi strategi Kapolda Aceh dalam mencegah penambangan liar atau ilegal di seluruh wilayah Aceh.
Dalam deklarasi Green Policing dihadiri Wakil Gubernur Aceh, Fadhlullah, dilakukan penandatanganan bersama sebagai komitmen untuk menolak segala bentuk Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di Aceh.
Isi deklarasi tersebut adalah mendukung pemerintah dalam menyosialisasikan larangan dan dampak PETI, mendukung realisasi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat, saling memberikan informasi yang benar dan valid terkait aktivitas PETI, serta berkoordinasi dan berkolaborasi dalam melakukan penegakan hukum secara terpadu dan berkelanjutan terhadap pelaku PETI di Aceh.