Ekoteologi hadir sebagai tawaran untuk menghidupkan kembali spiritualitas ekologis yang terkubur di balik praktik keagamaan yang formalistik. Ia menuntut reinterpretasi ajaran-ajaran pokok dalam Islam agar mampu menjawab krisis planet ini secara konkret.
***
Orang-orang desa bercerita bahwa hutan yang dulu jadi tempat berburu, mencari rotan, obat-obatan, dan kayu bakar kini sebagiannya telah diubah menjadi perkebunan sawit dan tambang. Orang-orang di kota merasakan udara yang semakin panas, dilanda kekeringan, menghirup debu dan asap industri. Jika disadari, semua itu bukanlah kebetulan, ia adalah konsekuensi dari pilihan dan keputusan pembangunan.
Kementerian Kehutanan tahun 2024 mencatat bahwa deforestasi netto mencapai 175.4 ribu hektar, sebagai akibat dari alih fungsi lahan untuk sawit, pertambangan, dan infrastruktur. Pada sisi lain, kondisi air bersih juga kian memburuk, dengan hampir 19 juta penduduk Indonesia diperkirakan tidak memiliki akses terhadap sumber air layak konsumsi pada 2024 (BPS, 2024).
Dampak perubahan iklim pun semakin nyata, BMKG melaporkan bahwa anomali suhu rata-rata Indonesia pada tahun 2024 mencapai 1,6°C di atas rerata pra-industri, angka ini melampaui ambang batas Persetujuan Paris yang telah disepakati secara global untuk mencegah krisis iklim.
Umat beragama sebagai masyarakat Indonesia, tampaknya didorong untuk ikut andil memberi solusi atas persoalan ini dengan mengaitkan isu ekologis dengan teologis. Sebagai upaya mengatasi hal ini, kementerian agama mengusung program yang disebut dengan ekoteologi, yaitu sebuah gagasan yang menggabungkan kesadaran ekologis dengan prinsip-prinsip teologis, yaitu relasi manusia dengan Tuhan yang disertai tanggung jawab manusia terhadap alam.
Pendekatan ini telah dikampanyekan secara resmi sejak Prof. Dr. Nasaruddin Umar sejak menjabat Menteri Agama RI (2024-2029). Berangkat dari khazanah Islam yang kaya akan nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan kesalingterhubungan antarmakhluk (manusia dan alam), ia memperkenalkan kembali konsep asma’ul husnā sebagai fondasi spiritual dalam membangun kesadaran ekologis. Ia menekankan bahwa teologi Islam harus disadari sebagai teologi yang merawat, penuh welas asih, dan sejalan dengan upaya pelestarian alam.
Dalam acara kenegaraan juga sering disampaikan, misalnya saat memperingati maulid Nabi Muhammad beberapa waktu lalu di Masjid Istiqlal Jakarta, kementerian agama mengusung tema “Ekoteologi: Keteladanan Nabi Muhammad SAW untuk Kelestarian Bumi dan Negeri”. Sebelumnya, ia telah mengambil langkah awal dimana seluruh ASN kementerian agama di gerakkan untuk menanam pohon.
Merawat alam
Gagasan bahwa agama dapat menjadi kekuatan moral dan spiritual untuk menyelamatkan alam sejatinya bukanlah konsep baru. Dalam tradisi filsafat perenial, relasi manusia dengan alam senantiasa diposisikan dalam kerangka sakralitas dan tanggung jawab. Seyyed Hossein Nasr, seorang filsuf Islam terkemuka, dianggap sebagai pelopor pemikiran ekoteologi dalam Islam, telah memperingatkan bahwa krisis lingkungan bukan sekadar hasil dari kegagalan teknis atau ekonomi, melainkan manifestasi dari krisis spiritual.
Dalam karyanya “Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (1968)”, Nasr menyatakan bahwa modernitas telah merusak fondasi metafisik hubungan antara manusia dan alam dengan menjadikan alam semata-mata sebagai objek eksploitasi, bukan sebagai ciptaan yang memiliki nilai intrinsik dan spiritual. Menurutnya, modernitas membawa semangat desakralisasi alam.
Dalam paradigma saintifik dan materialistik yang berkembang sejak era pencerahan barat, alam dilihat sebagai mesin raksasa yang dapat dipahami, diukur, dan dikendalikan oleh manusia. Alam kehilangan auranya sebagai manifestasi dari kehadiran Ilahi. Maka dari itu, menurut Nasr, solusi dari krisis ekologis bukan hanya terletak pada regulasi atau teknologi hijau, tetapi pada rekonstruksi pandangan dunia (worldview) yang mengakui kembali kesucian alam sebagai the sacred cosmology dimana setiap elemen ciptaan memiliki makna spiritual dan terhubung dengan Tuhan sebagai sang pencipta.
Baca juga: Gen Z: Dari Stigma, Menuju Harapan
Dalam konteks Islam, kesadaran ini sebetulnya telah melekat secara esensial dalam ajaran wahyu. Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30 menyebutkan bahwa manusia diangkat sebagai khalīfah fī al-arḍ (pemimpin di bumi), yang memiliki mandat bukan untuk menguasai atau mengeksploitasi, melainkan untuk menjaga, merawat, dan menyeimbangkan kehidupan di bumi.
Tugas kekhalifahan ini bukan simbolik, ia merupakan tanggung jawab moral dan kosmik yang berakar pada pemahaman bahwa alam adalah tanda-tanda kebesaran Tuhan (āyah). Ayat-ayat yang menyebutkan fenomena alam seperti hujan, angin, laut, gunung, dan tanaman bukanlah sekadar ilustrasi, tetapi representasi teologis bahwa alam adalah bagian dari kitab Tuhan yang harus dihormati.
Sayangnya, dalam praktik keberagamaan kita hari ini, ajaran tentang kekhalifahan sering kali direduksi menjadi jargon teologis atau sekadar pembenaran terhadap superioritas manusia. Spirit ekologis yang semestinya menyertai tugas kekhalifahan justru terpinggirkan oleh obsesi terhadap ibadah ritual dan orientasi spiritual yang terlalu antropo-sentris.
Dalam pengamalan sehari-hari, relasi manusia dengan lingkungan nyaris terputus dari makna keagamaan, dan hanya sedikit yang menginternalisasi bahwa membuang sampah sembarangan, mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, atau mencemari udara adalah bentuk dari pelanggaran terhadap amanah Tuhan.
Ekoteologi hadir sebagai tawaran untuk menghidupkan kembali spiritualitas ekologis yang terkubur di balik praktik keagamaan yang formalistik. Ia menuntut reinterpretasi ajaran-ajaran pokok dalam Islam agar mampu menjawab krisis planet ini secara konkret. Sebagaimana ditulis oleh Fazlun Khalid, seorang pionir ekologi Islam asal Inggris dan pendiri Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences (IFEES), konsep amānah dalam Islam adalah dasar moral bahwa manusia sebagai penjaga bumi, dan pelanggaran terhadap lingkungan adalah pelanggaran terhadap perjanjian eksistensial dengan Tuhan. Perspektif ini memperkaya pemahaman kita bahwa merawat bumi sebagai bentuk ‘ubūdiyyah (penghambaan kepada Allah).
Disinilah urgensi integrasi antara pemahaman teologis dengan kesadaran ekologis. Jika teologi hanya mengurusi soal halal-haram makanan tanpa mempertimbangkan bagaimana makanan itu diproduksi dan apakah produksinya merusak ekosistem, jika dakwah hanya bicara surga dan neraka tanpa mengaitkan eksploitasi lingkungan sebagai dosa kolektif umat manusia maka agama telah dijauhkan dari relevansinya dengan perlindungan alam ini.
Melampaui simbolisme
Ekoteologi yang menjadi program Kementerian Agama itu menjanjikan harapan untuk revitalisasi alam, namun efektivitasnya masih sulit dievaluasi karena kurangnya data yang transparan dan indikator yang jelas. Pertanyaan-pertanyaan mendasar harus dicari jawabnnya untuk menguatkan upaya tersebut, seperti berapa banyak pohon yang telah ditanam dan dapat bertahan sampai tumbuh besar? Apakah program ini telah dikampanyekan dengan massive ke seluruh lapisan masyarakat? Apakah lembaga-lembaga keagamaan seperti pesantren dan madrasah, rumah ibadah, dan organisasi keagamaan telah dijadikan sebagai mitra untuk ikut mengkampanyekannya?
Keberhasilan kampanye semacam itu tidak hanya bergantung pada kepemimpinan pemerintah tetapi juga pada partisipasi masyarakat sipil, cendekiawan agama, LSM lingkungan, kelompok pemuda, dan komunitas lintas agama. Semuanya harus terlibat tidak hanya sebagai penerima kebijakan tetapi sebagai pencipta bersama budaya ekologis baru.
Kemitraan lintas sektor dapat memastikan bahwa ekoteologi tidak terbatas pada mayoritas Muslim tetapi menjadi platform untuk pluralisme agama dalam pengelolaan lingkungan. Harus diakui bahwa komunitas agama memiliki infrastruktur dan pengaruh yang tidak dimiliki organisasi lingkungan, hal ini dapat menjadi potensi jaringan keberlanjutan yang paling luas dan mengakar di negri ini jika diberi alat, pelatihan, dan dukungan yang tepat. Kini saatnya masjid-masjid, sekolah, madrasah, dan rumah ibadah lainnya menjadi pusat edukasi lingkungan hidup.
Ekoteologi tidak boleh berhenti sebagai gagasan, ia harus hidup dalam segala aksi di penjuru nusantara. Wallahu a’lam.