
Komparatif.ID, Banda Aceh— Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) tidak hanya memengaruhi cara manusia bekerja dan berkomunikasi, tetapi juga berpotensi mengubah kebudayaan.
Potensi budaya bisa berubah jadi sorotan utama dalam orasi ilmiah Prof Dr Phil Abdul Manan, Guru Besar Ilmu Antropologi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry Banda Aceh, pada Yudisium Mahasiswa Magister dan Doktor Pascasarjana 2025, Selasa (23/9/2025).
Dalam orasinya, Abdul Manan menegaskan meski AI menawarkan kemudahan dan peluang besar, teknologi ini juga membawa risiko serius berupa distorsi budaya.
Pergeseran nilai, perubahan tradisi, hingga hilangnya identitas lokal disebut sebagai ancaman jika pemanfaatan AI tidak dilakukan dengan bijak.
“AI memungkinkan mesin meniru kemampuan intelektual manusia. Namun, jika tidak digunakan secara tepat, teknologi ini bisa mengubah pola komunikasi, mengaburkan nilai budaya, dan mempercepat penyebaran informasi yang tidak akurat,” ujarnya di hadapan mahasiswa dan civitas akademika.
Menurutnya, salah satu jalur munculnya distorsi budaya adalah media sosial. AI yang berperan dalam memproses dan menyebarkan informasi dalam jumlah besar berpotensi menciptakan konten yang tidak akurat, hoaks, atau manipulatif.
Dampaknya, budaya komunikasi cenderung menjadi lebih instan dan emosional, sementara ruang untuk toleransi serta dialog semakin menyempit.
Risiko lain adalah perubahan pola berpikir. Ketergantungan pada AI dikhawatirkan akan melemahkan kemampuan berpikir kritis dan analisis mendalam. Pendidikan yang terlalu mengandalkan teknologi ini berisiko mencetak generasi yang pasif secara intelektual.
Baca juga: Akademisi Internasional Bahas Zakat dan Wakaf di UIN Ar-Raniry
Selain itu, Prof. Abdul Manan juga menyinggung kesalahan interpretasi budaya. Menurutnya, AI seringkali gagal memahami konteks budaya yang kompleks, sehingga bisa menimbulkan salah tafsir bahkan menyinggung kelompok tertentu.
Sementara itu, dalam skala lebih luas, teknologi ini juga mendorong transformasi budaya yang cenderung memprioritaskan budaya dominan, sehingga budaya lokal atau minoritas bisa semakin terpinggirkan.
Meski demikian, Abdul Manan menekankan AI juga memiliki potensi besar untuk pelestarian kebudayaan. Teknologi ini dapat dimanfaatkan untuk digitalisasi artefak, manuskrip, bahasa daerah, hingga simulasi virtual yang meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap warisan budaya.
Dengan cara yang etis, Guru Besar Antropologi UIN Ar-Raniry itu menyebut AI justru bisa menjadi alat penting untuk menjaga identitas lokal sekaligus mendorong inovasi kreatif.
“Jika dikembangkan secara etis, AI bukan ancaman, melainkan sarana pelestarian budaya. Tantangannya adalah bagaimana kita membangun ekosistem digital yang etis dan berkelanjutan,” ujarnya.
Prof. Abdul Manan menutup orasi ilmiahnya dengan pepatah Aceh, “Menyoe ta tem usaha meuhan kaya hudep seunang, menyoe han ta tem usaha pane roet dari manyang.”