Musisi “Nyawöung” Kenang Pembredelan Era Konflik Aceh

Musisi "Nyawöung" Kenang Pembredelan Era Konflik Aceh
Cut Aja Rizka, salah satu penyanyi yang mengisi lagu di Album Aceh: Nyawöung saat tampil peringatan HUT ke-514 Pidie, Senin (16/9/2025). Foto: Komparatif.ID/Harmadi.

Komparatif.ID, Sigli— Perayaan Hari Ulang Tahun Pidie ke-514 tidak hanya diramaikan dengan berbagai kegiatan budaya, tetapi juga menjadi ajang mengenang perjalanan sejarah musik Aceh yang pernah dibungkam pada masa konflik.

Salah satu yang kembali mencuat adalah kisah musisi yang terlibat dalam proyek album dan kaset bertajuk Nyawöung, sebuah karya yang sempat dibredel oleh militer pada awal 2000-an.

Proyek Nyawöung dikerjakan sekitar tiga bulan pada tahun 2000, menyusul rentetan peristiwa kekerasan yang mengguncang Aceh pada 1999. Album ini berisi lagu-lagu yang menggambarkan suasana mencekam kala itu, ketika masyarakat hidup dalam ketakutan akibat konflik bersenjata. Bagi para musisi yang terlibat, setiap bait syair menjadi catatan sejarah yang merekam luka kolektif rakyat Aceh.

Salah satu yang terlibat adalah Cut Aja Rizka, vokalis utama dalam lagu Haro Hara. Menurutnya, membawakan lagu tersebut bukan hanya soal menyanyi, melainkan juga menanggung tanggung jawab untuk menyuarakan kenyataan pahit yang dialami masyarakat Aceh kala itu.

Baca juga: Wakil Bupati Pidie Pimpin Upacara HUT Pramuka ke-64

“Lagu Haro Hara ini menceritakan langsung peristiwa yang terjadi, walaupun memang tidak diceritakan syairnya secara panjang atau dijelaskan, cuma disebut tempat saja, tetapi kita langsung terbayang,” ujar Cut Aja Rizka mengenang, Selasa (16/9/2025).

Kata haro hara dalam bahasa Aceh berarti huru-hara. Lagu ini merefleksikan kepedihan masyarakat yang hidup di tengah situasi darurat militer, ketika konflik bersenjata dan operasi keamanan berlangsung intensif. Kisah yang disampaikan bukan sekadar ungkapan emosional, melainkan dokumentasi kultural yang merangkum tragedi kemanusiaan di Aceh.

Lagu Haro Hara merekam empat peristiwa besar yang menorehkan luka mendalam. Tragedi Arakundoe pada 3 Februari 1999, Tragedi Simpang KKA pada Mei 1999, Peristiwa Tengku Bantaqiah pada Juli 1999, serta peristiwa di Rumoh Geudong, menjadi latar utama dalam karya tersebut. Keempat tragedi itu meninggalkan jejak trauma kolektif yang tidak mudah terhapus dari ingatan masyarakat.

Keberanian untuk mengabadikan peristiwa itu melalui musik berujung pada pembredelan. Militer saat itu menilai karya tersebut berpotensi mengganggu stabilitas dan dianggap menyulut perlawanan. Album Nyawöung yang telah dirilis harus ditarik kembali, dan para musisi menghadapi tekanan besar.
\
Kini, lebih dari dua dekade kemudian, karya itu kembali dikenang. Meski sempat dibungkam, Nyawöung menjadi bukti bahwa musik tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga bisa menjadi medium perlawanan, pengingat sejarah, dan saksi atas penderitaan yang pernah dialami masyarakat Aceh.

Artikel SebelumnyaWakil Bupati Pidie Pimpin Upacara HUT Pramuka ke-64
Artikel SelanjutnyaBPK dan TACB Bahas Jejak Jalur Rempah di Pantai Barat Aceh

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here