Suatu hari seorang pejabat mengundang kalangan pers. Di depan para wartawan, sang narasumber berbicara tentang banyak hal, termasuk isu-isu mutakhir.
Suaranya pelan, penuh jeda, seolah sedang menimbang setiap kata. Lalu keluar kalimat sakral itu: “Semua ini off the record, ya.”
Para wartawan mengangguk, memahami maksudnya. Mereka sadar, apa yang diberikan narasumber bukan sekadar informasi, tapi juga sebuah titipan.
Sang narasumber bagaikan malaikat. Ia membawa cahaya berupa pengetahuan, tapi cahaya itu tidak bisa ditampilkan langsung ke publik. Ada alasan: bisa karena menyangkut keselamatan, bisa karena proses hukum yang belum selesai, bisa pula karena strategi komunikasi yang masih perlu waktu.
Off the record adalah cara malaikat ini melindungi dirinya, sekaligus menjaga agar informasi tidak menimbulkan kekacauan sebelum waktunya.
Wartawan yang mendengarkan, dalam hal ini, ibarat penjaga kitab suci: mereka berhak mendengar, tapi tidak berhak membacakannya ke khalayak.
Di luar ruangan itu, ada iblis yang menunggu. Bukan iblis bertanduk atau berapi, melainkan wartawan lain yang tidak hadir dalam pertemuan.
Ia mendapatkan bocoran dari salah satu penjaga kitab, lalu merasa punya celah untuk membocorkannya. Dalihnya sederhana sekaligus culas: “Saya tidak ikut mendengar langsung, jadi saya tidak terikat janji.”
Seperti iblis yang bersembunyi di balik logika, ia mencari celah kecil untuk meruntuhkan pagar besar yang dibangun etika jurnalistik.
Baca juga: Teruslah Pamer Sampai Hidupmu Nyungsep
Padahal, dalam tradisi jurnalisme yang sehat, off the record itu melekat pada informasi, bukan pada siapa yang mendengar. Begitu kata sakral itu diucapkan, informasi otomatis disegel, seperti kitab dengan sampul terkunci.
Jika kitab itu berpindah tangan, segelnya tetap ada. Maka wartawan yang membocorkan, sama saja dengan iblis yang merobek segel kitab, mengumbar isinya ke jalanan, lalu pura-pura polos seolah tidak tahu ada aturan yang dilanggar.
Kesalahan pertama tentu ada pada wartawan yang hadir dan meneruskan isi off the record ke luar lingkaran. Ia yang semestinya menjadi penjaga justru membuka pintu. Sama seperti malaikat yang menitipkan rahasia kepada umat pilihan, tapi umat itu malah menjualnya ke pasar.
Di sinilah iblis menemukan jalannya. Jadi, jika publik tahu rahasia itu bocor, yang tercoreng bukan hanya satu wartawan, melainkan seluruh profesi.
Mari kita tarik ke realitas. Di dalam setiap newsroom, ada istilah “off the record” atau “background.” Ada wartawan yang masih sangat disiplin, menjaga kepercayaan narasumber seperti menjaga nyawa. Tapi ada pula yang tergoda. Godaan itu biasanya datang dalam bentuk yang sederhana: mengejar scoop, mencari nama besar, atau sekadar ingin viral. Di titik itulah, iblis dalam diri wartawan bangkit.
Masalahnya, sekali pagar off the record dilanggar, dampaknya jauh lebih besar daripada sekadar kehilangan satu berita. Narasumber akan berhitung ulang. Mereka bisa memilih untuk diam, berbicara normatif, atau bahkan tidak lagi percaya pada media. Malaikat berhenti turun ke bumi.
Kalau itu terjadi, yang rugi adalah publik. Sebab banyak sekali informasi penting lahir dari ruang-ruang tertutup, yang baru bisa sampai ke publik ketika ada rasa aman di antara narasumber dan jurnalis.
Lalu bagaimana dengan alasan “publik berhak tahu”?
Argumen ini sering dipakai untuk membenarkan kebocoran. Tapi publik berhak mengetahui untuk tidak boleh menginjak-injak etika. Sama seperti dokter yang tidak boleh membuka rekam medis pasien sembarangan, atau pengacara yang tidak boleh membocorkan rahasia klien, wartawan pun tidak bisa membenarkan pengkhianatan dengan dalih kepentingan publik.
Kalau semua informasi dianggap pantas diumbar tanpa filter, maka dunia akan kacau: tidak ada lagi percakapan jujur, tidak ada lagi ruang untuk kepercayaan.
Di dunia internasional, prinsip off the record dihormati secara ketat. Di Amerika Serikat, wartawan bisa kehilangan akses permanen jika melanggar aturan ini. Di Inggris, redaksi bisa mengisolasi jurnalis yang berkhianat dari jaringan sumber.
Di Indonesia, praktiknya lebih cair. Kadang off the record dianggap basa-basi, padahal nilainya sama sekali tidak main-main. Justru karena cair itulah, kasus seperti ini muncul: ada wartawan yang merasa bebas karena tidak hadir langsung, seolah etika bisa dipilah-pilah sesuai kenyamanan pribadi.
Pertanyaannya: apa jadinya dunia jika malaikat berhenti berbicara karena takut iblis selalu menyebar isi kitab?
Publik akan kehilangan cahaya yang bisa memberi arah. Yang tersisa hanya bisik-bisik gelap, rumor tanpa verifikasi, dan kebenaran semu yang menyala di linimasa.
Itulah bahaya terbesar dari pelanggaran off the record: bukan hanya soal satu berita bocor, tapi soal runtuhnya ekosistem kepercayaan. Sekali narasumber merasa dikhianati, ia tidak hanya akan berhenti berbicara pada satu wartawan, tapi mungkin pada seluruh media. Wartawan berikutnya yang sebenarnya tulus pun akan kesulitan. Publik yang seharusnya mendapat pencerahan justru makin jauh dari kebenaran.
Maka, di mata saya, wartawan yang bertindak sebagai iblis telah menukar integritas dengan kepuasan sesaat. Wartawan yang pertama kali membocorkan juga ikut salah, karena membuka pintu bagi iblis masuk. Yang tersisa hanyalah reputasi profesi yang terkoyak.
Off the record adalah kontrak moral. Ia berdiri bukan di atas pasal hukum, melainkan pada rasa saling percaya. Dan yang bisa menghancurkan kontrak itu bukan karena publik terlalu ingin tahu, melainkan karena wartawan memilih menjadi iblis kecil yang tergoda untuk mengkhianati malaikat yang sudah memberi cahaya.
Jika jurnalisme ingin tetap hidup, wartawan harus kembali memelihara pagar ini. Sebab tanpa pagar, malaikat takkan turun lagi, dan kita semua hanya akan berjalan dalam kegelapan.












