Tahun 2025 akan menjadi babak baru bagi sistem evaluasi pendidikan di Indonesia. Pemerintah Indonesia, melalui Mendikdasmen Abdul Mu’ti, telah memutuskan untuk menggantikan Ujian Nasional (UN) dengan Tes Kemampuan Akademik (TKA), yakni sebuah instrumen penilaian yang tentunya lebih relevan dengan kebutuhan zaman sekarang.
Tes Kemampuan Akademik akan diterapkan mulai November 2025, dimana siswa SMA dan SMK kelas 12 akan menjadi angkatan pertama yang menjalaninya. Baru kemudian menyusul siswa SD dan SMP, yang akan mulai mengerjakan TKA pada 2026.
TKA, memiliki perbedaan dari UN yang kerap dinilai terlalu menekankan pada hafalan. TKA dirancang untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS) dan literasi. Artinya, dalam sistem Tes Kemampuan Akademik, siswa akan diuji pada keterampilan analisis, pemecahan masalah, dan pemahaman konsep yang kontekstual.
Karena itu, langkah ini sejalan dengan kebutuhan pendidikan abad ke-21, di mana kecakapan berpikir kritis dan adaptif menjadi modal utama untuk menghadapi kompleksitas dunia kerja dan kehidupan sosial.
Bukan Sekadar Ganti Nama
Perubahan sistem evaluasi pendidikan ini bukan sekadar ganti nama atau format. Namun, mengandung misi yang lebih luas dari Kemdikdasmen untuk pendidikan Indonesia agar lebih memastikan hak setiap siswa untuk diukur capaian akademiknya secara adil, merata, dan berkualitas.
Dalam konteks pendidikan yang inklusif, Tes Kemampuan Akademik diharapkan mampu mengakomodasi perbedaan latar belakang siswa baik dari segi daerah, akses sumber belajar, maupun kondisi sosial ekonomi.
Tantangannya sangat jelas, mulai dari penyusunan soal harus bebas dari bias, pelaksanaan harus transparan, dan hasilnya tentu harus dapat diinterpretasikan untuk perbaikan pembelajaran, bukan sekadar peringkatnya saja.
Pertanyaan kritisnya memang tetap ada, semisal, apakah perubahan sistem penilaian dari UN ke Tes Kemampuan Akademik otomatis akan memperbaiki kualitas pendidikan kita? Nah, kita harus menyadari bahwa tanpa pembenahan menyeluruh, mulai dari peningkatan kompetensi guru, pemerataan fasilitas, hingga penguatan budaya belajar, maka TKA berisiko menjadi sekadar “kemasan baru” dengan masalah lama. Sementara itu, siswa yang belum terbiasa dengan soal berbasis HOTS mungkin akan mengalami guncangan adaptasi.
Baca juga: Tes Kemampuan Akademik: Harapan Baru untuk Pemerataan Mutu Pendidikan Daerah
Maka itu, adanya transisi ini, dari UN menuju TKA, harus diiringi strategi pendampingan yang sistematis oleh pemangku kepentingan dan stakeholder di setiap level satuan pendidikan. Yang bukan hanya pelatihan teknis bagi guru, tetapi juga pembiasaan pola belajar yang menekankan pemahaman konsep dan keterampilan berpikir kritis sejak jenjang awal.
Lebih dari itu, dukungan psikologis dan bimbingan belajar yang adaptif perlu diberikan agar siswa tidak merasa “dihukum” oleh format ujian baru, melainkan diajak bertumbuh bersama.
Tanpa kesiapan ekosistem pendidikan secara menyeluruh, maka tujuan mulia TKA untuk melahirkan generasi yang literat, kritis, dan inklusif bisa tereduksi menjadi sekadar ritual tahunan yang menambah beban tanpa memberikan nilai tambah nyata.
Jembatan Pembelajaran yang Memerdekakan
TKA 2025 adalah peluang sekaligus ujian bagi arah pendidikan nasional. Ia dapat menjadi jembatan menuju pembelajaran yang lebih bermakna jika dirancang dan diimplementasikan dengan filosofi refleksi, bukan sekadar seleksi.
Dalam konteks ini, hasil tes sebaiknya dimaknai sebagai potret capaian, titik lemah, dan potensi siswa yang kemudian diolah menjadi dasar perbaikan pembelajaran bagi guru, sekolah, dan pemangku kebijakan.
Sejalan dengan itu, hadirnya pendekatan melalui sistem Tes Kemampuan Akademik selaras dengan gagasan evaluasi formatif, yaitu penilaian yang dirancang untuk membantu proses belajar berjalan lebih baik, bukan sekadar menghakimi hasil akhir siswa (Black & Wiliam, 1998: 61).
Dalam evaluasi formatif, hasil tes dipandang layaknya sebuah peta perjalanan yang menunjukkan posisi siswa saat ini, jarak yang telah ditempuh, dan arah yang perlu diambil selanjutnya.
Guru menggunakan informasi tersebut untuk menyesuaikan strategi mengajar, memberikan bimbingan tambahan, atau memperkaya materi sesuai kebutuhan siswa. Dengan demikian, penilaian tidak lagi menjadi “vonis” yang membatasi, tetapi “kompas” yang memandu langkah perbaikan bagi guru dan siswa.
Jika TKA hanya menjadi angka di atas kertas, ia akan kehilangan ruhnya. Nilai yang tinggi tidak otomatis menjamin siswa mampu berpikir kritis, berkolaborasi, atau bersikap bijak dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan yang baik, sebagaimana ditegaskan UNESCO dalam Learning: The Treasure Within, harus memampukan peserta didik untuk learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to berempat pilar yang menempatkan manusia sebagai pusat, bukan skor semata (Delors, 1996: 85).
Keempat pilar itu menuntut pendekatan penilaian yang mengaitkan hasil tes dengan keterampilan hidup yang nyata. Learning to know tidak berhenti pada menguasai materi ujian, tetapi melatih kemampuan menemukan, mengolah, dan mengaplikasikan informasi.
Learning to do tidak sekadar diukur lewat hafalan prosedur, melainkan kemampuan memecahkan masalah dalam situasi kompleks. Learning to live together menuntut penilaian yang peka terhadap keterampilan sosial, empati, dan kerja sama lintas perbedaan.
Sementara learning to be menekankan pembentukan jati diri, karakter, dan integritas yang tak bisa diwakili oleh skor tunggal.
Dengan demikian, Tes Kemampuan Akademik harus menjadi instrumen yang memicu proses belajar berkelanjutan, bukan garis akhir yang mengkotak-kotakkan siswa berdasarkan peringkat. Tanpa orientasi pada keempat pilar itu, TKA hanya akan memperpanjang tradisi pendidikan yang menilai angka lebih tinggi daripada manusia yang memegang angka tersebut.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menempatkan Tes Kemampuan Akademik dalam kerangka pembaruan yang sungguh-sungguh memperbaiki mutu pendidikan, bukan sekadar mengganti format ujian.
Harapan kita, jika UN telah menjadi masa lalu—dengan berbagai kelemahannya dalam memetakan pendidikan kita—semoga Tes Kemampuan Akademik tidak hanya menjadi masa depan, tetapi juga langkah nyata menuju pendidikan yang memerdekakan.












