Konflik Aceh Berpotensi Berulang Bila Kemiskinan Tak Teratasi

Konflik Aceh Berpotensi Berulang Bila Kemiskinan Tak Teratasi
Diskusi refleksi 2 dekade pembangunan damai Aceh yang digelar The Aceh Institute di Banda Aceh, Kamis malam (14/8/2025). Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Konflik Aceh berpotensi berulang jika persoalan kemiskinan tidak teratasi. Studi Bank Dunia (World Bank) menunjukkan tingkat kemiskinan tinggi jadi salah satu pemicu berulangnya konflik (conflict relapse) di berbagai negara.

Hal itu dipaparkan Guru Besar Ekonomi Makro Universitas Syiah Kuala (USK), Prof. Dr. Nazamuddin, SE, MA, pada diskusi refleksi 2 dekade pembangunan damai Aceh yang digelar The Aceh Institute di Banda Aceh, Kamis malam (14/8/2025).

“Menurut penelitian konflik tidak berulang jika kemiskinan di luar 5-10 persen. Tapi kita (Aceh) masih 12 persen. Itu indikator secara makro bahwa masih ada peluang untuk konflik (di Aceh) berulang,” ujarnya.

Ia memaparkan, hasil studi Bank Dunia menunjukkan lebih dari separuh negara yang pernah mengalami konflik bersenjata, konfliknya berulang. Ia menyebut konflik Aceh berpotensi berulang jika masalah kemiskinan tidak teratasi.

Faktor ekonomi, khususnya penerapan keadilan ekonomi bagi masyarakat secara merata, menjadi salah satu penentu penting. Dalam konteks Aceh, tingkat kemiskinan yang mencapai 12 persen lebih tinggi dibanding rata-rata nasional sekitar 8 persen, bahkan menjadi salah satu yang tertinggi di Sumatera.

Baca juga: Solusi Masalah Pembangunan Damai Aceh Harus Lahir dari Aceh

Pertumbuhan ekonomi Aceh yang berada di kisaran 4 persen juga lebih rendah dari rata-rata nasional yang mencapai sekitar 5 persen. Padahal, Aceh telah menerima dana otonomi khusus sejak 2008, tiga tahun setelah penandatanganan Perjanjian Helsinki.

Berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), dana otonomi khusus yang awalnya lebih besar kini hanya 1 persen dari dana alokasi umum nasional, dan akan berakhir pada 2027 jika tidak diperpanjang melalui revisi UUPA.

Menurutnya, tanpa sumber pendapatan alternatif yang kuat, Aceh berisiko mengalami kemunduran ekonomi yang dapat memperbesar peluang konflik berulang.

“Kalau UUPA tidak direvisi dan dana otonomi khusus tidak diperpanjang, maka tahun 2027 bisa menjadi awal potensi munculnya konflik baru. Kita tidak tahu kapan tepatnya, bisa saja sebelum 20 tahun ke depan,” ujarnya.

Ia menegaskan pemaparannya bukan untuk menakut-nakuti, melainkan sebagai bentuk peringatan agar pemerintah dan semua pihak bisa mengantisipasi sejak dini. Jika kemiskinan dapat ditekan hingga ke level 5–10 persen, maka peluang terulangnya konflik di Aceh akan semakin kecil.

Sebaliknya, apabila tingkat kemiskinan dibiarkan tetap tinggi, potensi instabilitas akan terus membayangi Aceh.

Nazamuddin juga menyebutkan adanya potensi cadangan minyak dan gas yang lebih besar di Aceh dapat menjadi peluang besar untuk mendorong kesejahteraan masyarakat jika dikelola dengan baik.

Ia menekankan pentingnya kebijakan ekonomi yang tepat sasaran, transparansi pengelolaan dana, serta pemerataan pembangunan agar hasilnya bisa dirasakan seluruh lapisan masyarakat.

Menurutnya, kesejahteraan ekonomi yang merata adalah salah satu kunci utama untuk menjaga perdamaian yang telah dibangun selama 20 tahun terakhir.

Artikel SebelumnyaPancasila Adalah Rumah Bersama dan Ruh Etis-Spiritual Bangsa
Artikel SelanjutnyaMualem Lantik M. Nasir sebagai Sekda Aceh Definitif Sore Ini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here