Komparatif.ID—Ditinggal nikah dan calon istri dipinang teman? Benar. Ini bukan kisah di dalam sinetron. Tapi kisah nyata yang terjadi di Aceh Timur. Diceritakan oleh seorang sumber yang masih berkerabat dengan salah satu orang yang ada di dalam cerita.
Kejadian ini terjadi kira-kira di ujung 1990-an dan di awal 2000-an. Sebuah kisah cinta yang unik, menguras energi, menguji kesetiaan persahabatan, dan tanggung jawab atas nama cinta.
Mahdi dan Mahdan –bukan nama sebenarnya–merupakan dua sahabat yang telah menjalin pertemanan sejak mereka duduk di bangku SD di salah satu kampung di Aceh Timur. Mereka juga satu pengajian di rumah Teungku Balia –bukan nama sebenarnya.
Baca: Usai Cekcok Dengan Istri, Seorang Pengantin Baru di Gayo Lues Ditemukan Tewas
Di luar sekolah dan pengajian, mereka juga bermain bersama. Memancing ikan, keumeukup, bermain layang-layang, bermain perang-perangan, dll, selalu bersama. Mahdi dan Mahdan saling membela. Bila ada yang menganggu Mahdi, maka Mahdan akan turut membela. Demikian juga sebaliknya.
Setelah keduanya lulus SMA, Mahdi berkenalan dengan seorang dara pada sebuah kenduri. Dara tersebut bernama Nurmala –bukan nama sebenarnya. Warga sebuah kecamatan yang berjarak sekitar 30 kilometer dari tempat tinggal kedua lajang tersebut.
Pertemuan malam itu meninggalkan kesan mendalam pada Mahdi dan Mala. Setelah pertemuan malam itu, Nurmala pun mulai sering berkunjung ke rumah makciknya di kampung Mahdi.
Setelah mereka berdua kenal lebih dalam satu sama lain, keduanya pun mengikat janji melanjutkan hubungan ke jenjang lebih serius.
Setiap kali menemui Nurmala, Mahdi selalu mengajak Mahdan. Berkali-kali Mahdan menolak. Dia merasa tidak enak. Tapi Mahdi bersikeras supaya sang teman ikut. Apalagi pacaran di kampung, sangat tidak elok bila sepasang anak manusia duduk berduaan tanpa ditemani orang lain. Rentan fitnah.
Pada suatu hari tibalah pada pembicaraan bahwa Mahdi ingin meminang Nurmala. Gadis berkulit eksotis tersebut sangat bahagia. Apalagi pernyataan itu diutarakan di depan makciknya Nurmala. Perempuan itu setuju. Tapi yang paling penting ayah dan ibu Nurmala harus setuju. Sebagai orang yang mengenal Mahdi dengan baik, makcik Nurmala bersedia membantu membuka komunikasi awal dengan orang tua Nurmala.
Singkat cerita, pertunangan itu pun berlangsung. Sesuai adat Aceh, Mahdi tidak hadir pada hari pertunangan. Mahdan diberikan kepercayaan sebagai penunjuk jalan, menemani Teungku Imum dan Pak Keuchik. Pada hari itu resmilah Nurmala menjadi calon istri Mahdi. Menjadi calon istri sang kekasih, merupakan kebahagiaan teramat besar baginya.
Setelah Nurmala menjadi calon istri Mahdi, mereka semakin sering berkirim surat. Hingga pada suatu hari Mahdi pun mengirimkan surat, permohonan menemui kedua orangtua Nurmala. Dengan perasaan tak menentu, Nurmala membalas surat itu, yang memberitahukan bahwa orangtuanya menunggu Mahdi pada hari yang telah ditentukan.
Mahdi tidak datang sendiri. Dia membawa serta Mahdan sebagai teman, sekaligus saksi pembicaraan. Kepada kedua orang tua Nurmala, Mahdi mengutarakan meminta restu karena hendak merantau ke Malaysia untuk setahun dua tahun. Kondisi ekonomi di Aceh sedang sangat buruk. Mahdi takut tidak bisa memenuhi janjinya membawakan mahar sesuai kesepakatan antar keluarga.
“Ayah, Mak, Nurmala, Mahdi tahu dengan kepergiaan ini, mungkin jadwal kami menikah akan bergeser. Tapi Mahdi kira lebih baik bergeser, supaya saya mampu membawa pulang bekal yang cukup, demi meminang Dik Nurmala,” katanya dengan lemah lembut.
Kedua orang tua Mala setuju. “Selama niat baikmu itu kamu jalankan, Insyaallah selalu mendapatkan kemudahan,” jawab ayah Nurmala.
***
Setahun setengah Mahdi di perantauan, tersiar kabar bila sang pemuda telah meninggal dunia. Hilang tak tentu rimba setelah dijemput oleh sekelompok pria di kontrakkannya. Kabar tersebut membuat heboh sekecamatan. Keluarga calon istri Mahdi diberitahu. Semua berduka.
Mahdan turut terpukul. Dia tidak menyangka bila sang teman pergi begitu cepat. “Bagaimana dengan Nurmala, Di? Sudah berkali-kali kularang, tapi kau ngotot merantau ke sana,” kata Mahdan kepada angin, sembari menatap lekat foto sahabatnya.
“Kasihan dia sekarang. Kau memang keras kepala. Kali ini aku tidak bisa memaafkanmu. Kau terlampau keras kepala.”
Setelah kenduri 30 hari kepergian Mahdi, kedua keluarga duduk setikar. Keluarga calon istri Mahdi bermaksud mengembalikan beberapa mahar yang telah diserahkan sebelumnya. Tapi keluarga Mahdi menolak.
“Biarlah itu menjadi kenangan. Menjadi pertanda bahwa anak-anak kita pernah memiliki hubungan. Bila pun kelak Nak Mala menikah dengan siapapun, jangan pernah lupa, bahwa kami telah menjadi keluarga,” kata ibunya Mahdi dengan mata berkaca-kaca. Mala segera memeluk calon mertuanya itu.
Mahdi tidak pernah menampakkan batang batang hidungnya sejak dikabarkan hilang dan meninggal. Calon istri sang pemuda berkali-kali mengharapkan keajaiban. Hingga batas tunggu itu usai, sang calon istri pun mengambil keputusan akhir. Dua tahun tiga bulan. Lewat tiga bulan dari janjinya akan pulang. Berarti tak ada lagi keajaiban. Tak ada lagi dugaan sandiwara, juga tidak ada lagi apa-apa. Ia harus realistis.
***
Sesuai adat Aceh, orang pertama yang diberikan kesempatan sebagai pengganti adalah seulangke (mak comblang). Makanya dalam masyarakat Aceh, diupayakan seulangke yang ditunjuk bukanlah lelaki yang telah beristri.
Apalagi sejak beberapa waktu terakhir, Mahdan dan Mala telah intens komunikasi. Mahdan memang menjadi teman paling dekat Mala, sejak Mahdi dikabarkan telah meninggal dunia.
Mala tidak menampik ketika orang tuanya menyampaikan kemungkinan-kemungkinan dirinya menikah dengan Mahdan. Demikian juga Mahdan. Selama Mala bersedia, dia tidak menolak menikahi mantan calon istri temannya. Tapi yang ditekankan olehnya, Mahdan bukan bayangan Mahdi. Dia dan Mahdi merupakan dua pria yang berbeda.
“Saya tidak mau dianggap sebagai bayangan Mahdi. Meskipun bersahabat, kami dua pria dewasa yang beda. Dik Mala, tidak boleh menganggap Bang Mahdan sebagai Bang Mahdi. Abang tak mau dicintai atau diterima sebagai bayangan orang lain,” kata Mahdan berterus terang.
Ayah Mala tak kuasa menahan haru ketika mendengar pernyataan Mahdan. Air matanya keluar. Demikian juga Mala. Ia juga terisak.
“Bila kelak pernikahan kita terjadi, kita berdua harus memulainya dengan bangunan cerita baru. Rasa baru, harapan baru,” kata sang lajang.
Ketulusan Teman Melepas Calon Istri
Tak ada angin tak ada hujan, Mahdi tiba-tiba pulang. Ibunya menyambut dengan tangis haru. Sang perempuan sangat bahagia putranya ternyata masih hidup. Di saat yang sama ia juga berduka. Calon istri sang anak, hendak menikah dengan sahabat sang putra; Mahdan.
Mahdi terduduk. Dia berkali-kali menarik nafas dalam-dalam. Dengan pertimbangan matang, dia memutuskan tidak akan menganggu kebahagiaan mantan sang calon istri dan sahabatnya. Biarlah mereka bahagia.
Pun demikian, dia penasaran juga, seperti apa mantan sang calon istri dan sahabatnya, saat mereka berdua didandani dalam pakaian adat Aceh. Diam-diam dia ikut mengantarkan calon pengantin pria pada hari pernikahan yang disatukan dengan pesta resepsi.
Berbekal handycam yang dibawa pulang dari Malaysia, dia merekam proses perjalanan menuju rumah mantan calon istri yang masih sangat ia cintai.
Sebaik-baiknya penyamaran, ternyata diam-diam ada yang mengetahui bila Mahdi telah pulang dan ikut rombongan pengantar pengantin. Orang yang mengetahui itu menunggu momen paling sakral; jelang akad nikah.
Dengan suara berteriak, dia menyebut bahwa Mahdi belum meninggal dunia dan hadir pada acara itu.
Mahdan terkejut, Mala terkejut. Semua hadirin terkejut. Majelis yang seharusnya menjadi wahana bahagia, berubah menjadi majelis penuh keharuan.
Di tengah kemelut haru, Mahdan berbisik kepada orang tua Mala. “Ayah, sepertinya saya memang tidak berjodoh dengan Mala. Pria yang sejatinya ia tunggu-tunggu telah kembali. Saya mundur.”
Orang tua Mala tidak menjawab. Ia menggenggam tangan Mahdan; menggeleng. “Kamu lelaki. Wajib mempertahankan marwahmu dan kita semua.”
“Semua akan tetap bermarwah, Yah.”
Mahdan bangkit dari tempat duduknya. Dia mendekati Mahdi yang masih berdiri sembari memagang handycam.
“Sialan betul kau, Di. Mengapa telat kali kau pulang? Kalau sedikit lagi terlambat, putuslah rezekimu,” kata Mahdan sembari memeluk sang sahabat. Saat memeluk Mahdi, dia berbisik, “Itu pengantinmu, bukan pengantinku. Bila kau benar-benar lelaki yang merantau demi memperjuangkan Mala, masih ada waktu. Kami belum ijab Kabul.”
Mahdi tak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. “Tapi, Lan.”
“Tak ada tapi-tapi. Kau ganti semua apa yang kubawa. Gantikan mahar yang belum kuserahkan. Kau menikahlah dengan calon istri yang sangat kau sayang itu,” kata Mahdan sembari memegang tangan Mahdi, mengiringnya menuju ruang tengah rumah, dan mendudukkannya di samping ayah Mala.
“Ini Yah, calon menantu Ayah telah pulang. Ia menunaikan janjinya, akan menjemput Mala,” kata Mahdan dengan senyum lebar.
Seperti di film-film India, akhirnya Mahdi menikahi Mala pada hari itu. Mahdan tetap duduk di sampingnya, sebagai pendamping linto baro, sekaligus sahabat yang telah berkomitmen menjaga persahabatan dengan segenap risiko yang harus ditanggung.
Tak ada duka lagi pada hari itu. keluarga Mahdan juga tidak mempersoalkan. Semuanya tidak menolak skenario Tuhan, bahwa hidup penuh dengan kejutan-kejutan. []