15,5 Juta Remaja Indonesia Alami Masalah Kesehatan Jiwa

15,5 Juta Remaja Indonesia Alami Masalah Kesehatan Jiwa
Ilustrasi. Foto: Komparatif.ID.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Masalah kesehatan mental remaja di Indonesia kian mengkhawatirkan, namun masih sering terabaikan. Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2022 mencatat satu dari tiga remaja usia 10–17 tahun mengalami gangguan kesehatan jiwa. Angka ini setara dengan 15,5 juta jiwa. 

Remaja tidak lagi bisa dianggap hanya sekadar “galau”. Mereka berada di bawah tekanan yang kompleks: beban akademik yang tinggi, ekspektasi sosial yang memberatkan, kekerasan dalam rumah tangga, perundungan di dunia maya, serta ketidakpastian masa depan.

Laporan Global Burden of Disease 2019 bahkan menempatkan gangguan jiwa sebagai penyebab utama hilangnya produktivitas remaja di seluruh dunia. Masalah ini melampaui penyakit menular maupun cedera fisik. 

Namun ironisnya, akses terhadap layanan kesehatan jiwa di Indonesia masih sangat terbatas, apalagi di wilayah-wilayah rural seperti Aceh Besar. Minimnya psikolog atau psikiater menyebabkan banyak remaja menghadapi tekanan mental tanpa dukungan yang memadai.

Di tengah kondisi ini, inisiatif lokal menjadi sangat berarti. Salah satu contohnya adalah program Pelatihan Kader Edukator–Konselor Sebaya Taman Edukasi Kesehatan Remaja (TaKaSi–SeRa) 2.0 yang digagas oleh Generasi Edukasi Nanggroe Aceh (GEN-A) bersama Puskesmas Darul Kamal. 

Program ini mempertemukan 21 remaja dari lima desa untuk dilatih menjadi pendamping psikologis awal bagi teman sebaya. Selama dua hari pelatihan intensif, para peserta mempelajari keterampilan komunikasi empatik, manajemen stres, hingga teknik Pertolongan Pertama pada Luka Psikologis (P3LP).

Baca juga: 21 Ribu Penduduk Aceh Berstatus ODGJ

Menurut  Direktur Eksekutif GEN-A, dr. Imam Maulana, yang juga menjadi fasilitator pelatihan, teman sebaya memiliki posisi unik dalam mendeteksi dan merespons masalah psikologis. 

Banyak remaja merasa tidak nyaman berbicara kepada orang dewasa, namun lebih terbuka kepada teman sebayanya. Karena itu, konselor sebaya bukan dimaksudkan menggantikan peran psikolog, melainkan menjadi jembatan awal agar masalah tidak semakin memburuk dan dapat dirujuk ke bantuan yang lebih profesional.

“Kami lebih nyaman curhat dengan kawan, kak,” ujar Imam mengulang kalimat peserta pelatihan, Sabtu (28/6/2025).

Dalam pelatihan, peserta diajarkan metode GATHER—sebuah pendekatan komunikasi yang menekankan pentingnya mendengarkan secara empatik dan memberi respon yang tepat. 

Sementara itu, konsep P3LP dibangun di atas tiga pilar: mengenali tanda-tanda tekanan psikologis, memberi ruang aman untuk bercerita, dan menghubungkan ke bantuan lanjutan. Pendekatan ini sederhana, namun sangat penting di tengah keterbatasan akses layanan kesehatan jiwa.

Selain aspek teknis, para peserta juga menyusun rencana kerja komunitas, mulai dari kampanye anti-stigma, diskusi rutin, hingga layanan konseling berbasis desa. Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan bukan sekadar seremonial, tetapi menjadi upaya membangun ekosistem yang lebih peduli terhadap kesehatan mental remaja.

Kepala Puskesmas Darul Kamal, Maya Sopa, STP, menegaskan dukungannya terhadap keberlanjutan program ini. Pihaknya membuka fasilitas untuk pertemuan dan edukasi remaja secara rutin. 
Artikel SebelumnyaBIG Pastikan Nama Baku 4 Pulau Milik Aceh Tidak Berubah
Artikel SelanjutnyaMualem Bakal Sulap 4 Pulau Jadi Destinasi Wisata Bahari Unggulan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here