Komparatif.ID, Jakarta— Anggota DPR RI asal Aceh, M. Nasir Djamil, menyebut Forbes DPR/DPD RI akan menggelar pertemuan dengan Pemerintah Aceh untuk mendengar penjelasan langsung terkait kronologi dan kelalaian yang menyebabkan empat pulau di Aceh Singkil keluar dari wilayah administrasi Aceh.
“Kita akan mendengarkan penjelasan penyebab pulau-pulau itu lepas, di mana letak kelalaian Pemerintah Aceh hingga pulau tersebut menjadi pindah tangan,” ujar Nasir saat meninjau program Desa Bersinar (Desa Bersih Narkoba) di Oproom Setdakab Pidie, Selasa, (10/6/2025)
Politisi PKS itu menegaskan persoalan empat pulau —Panjang, Lapan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek, yang belakangan disebut bagian dari wilayah administrasi Sumatera Utara tidak bisa dianggap remeh, dan harus ditindaklanjuti secara serius dengan pendekatan politik maupun hukum.
Nasir mengaku telah menggalang komunikasi dengan seluruh anggota DPR RI dan DPD RI asal Aceh guna menyatukan langkah dalam memperjuangkan kejelasan status pulau-pulau tersebut.
Menurutnya, perlu dilakukan investigasi mendalam untuk mengetahui penyebab berpindahnya status kepemilikan pulau, apakah disebabkan oleh kesalahan teknis seperti kesalahan input data, salah koordinat, atau kelalaian administrasi dari Pemerintah Aceh sendiri.
Baca juga: Bupati Tapteng: 4 Pulau Bekas Singkil Tersimpan Cadangan Migas
Ia juga mengingatkan agar Pemerintah Aceh tidak menyembunyikan informasi penting dalam proses klarifikasi nanti. Nasir berharap pihak Pemerintah Aceh bersikap terbuka dan jujur, karena menurutnya hanya dengan kejujuran dan transparansi persoalan ini bisa diselesaikan dengan baik.
Ia menegaskan, ini bukan soal saling menyalahkan pemerintahan sebelumnya, melainkan soal memperbaiki kesalahan yang sudah terjadi agar tidak semakin merugikan Aceh.
“Kita berharap Pemerintahan Aceh bisa menyampaikan duduk perkara tanpa ada yang ditutup-tutupi, sampaikan saja secara transparan biar masyarakat tidak salah sangka,” lanjutnya.
Informasi tersebut menurut Nasir harus disampaikan secara utuh agar solusi yang dirumuskan bisa tepat sasaran. Ia juga mengingatkan pemerintahan yang sekarang berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, sehingga tidak ada alasan untuk saling lempar tanggung jawab.
Selain itu, Nasir menyebut status kepemilikan empat pulau tersebut sempat berada di bawah cakupan nasional. Artinya, pulau-pulau itu tidak secara spesifik menjadi milik Aceh maupun Sumatera Utara.
Namun dalam perkembangannya, muncul keambiguan di tingkat pusat yang akhirnya menjadikan pulau-pulau itu diklaim sebagai milik Sumatera Utara. Hal ini, menurut Nasir, menunjukkan adanya kegamangan dari pemerintah usat dan lemahnya pengawalan data wilayah oleh Pemerintah Aceh sendiri.
Ia menambahkan untuk memastikan keakuratan data dan kebenaran historis, perlu menghadirkan ahli yang independen dan berintegritas dalam diskusi bersama Pemerintah Aceh.
Nasir menilai pentingnya mengundang narasumber yang kompeten dan memahami batas-batas wilayah, baik secara historis maupun berdasarkan ketentuan hukum dan peraturan administrasi wilayah negara.
Nasir menuturkan terkait perkara sejarah, narasi bisa sangat subjektif tergantung siapa yang menyusunnya. Karena itu, diperlukan referensi dari narasumber yang netral dan punya kredibilitas akademis serta profesional untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai sejarah pulau-pulau tersebut.
Menurut Nasir, penanganan perbatasan wilayah di Indonesia sebenarnya memiliki lembaga yang bertanggung jawab dan memiliki otoritas untuk mengukur dan menentukan batas wilayah secara legal.
Menurutnya proses verifikasi harus melibatkan lembaga-lembaga tersebut secara aktif dan tidak semata mengandalkan pengakuan administratif.