Sudah lebih dari dua dekade sejak dentuman senjata dan suara tembakan tak lagi menggema di Tanah Rencong, Aceh kini hidup dalam suasana damai yang jauh dari konflik bersenjata yang dulu membayangi.
Namun di balik ketenangan yang tampak di permukaan muncul pertanyaan mendasar: apakah damai itu telah benar-benar menyentuh setiap aspek kehidupan masyarakat?
Banyak yang mengira perdamaian cukup diwujudkan melalui penandatanganan sebuah dokumen dan pengakuan politik. Namun realitas di lapangan jauh lebih kompleks Perjanjian damai yang ditandatangani di Helsinki pada 15 Agustus 2005 memang menjadi titik balik bersejarah Tapi bagi sebagian masyarakat khususnya mereka yang berada di wilayah pedesaan dan daerah bekas basis konflik janji-janji damai itu masih terasa sebatas wacana
Konflik memang telah usai namun luka-luka sosial trauma psikologis dan ketimpangan struktural belum sepenuhnya disembuhkan. Di kawasan seperti Aceh Timur, Pidie, dan Bener Meriah, banyak mantan pejuang dan keluarga korban masih hidup dalam keterbatasan.
Mereka merasa belum sepenuhnya menerima hak-hak yang dulu dijanjikan mulai dari bantuan ekonomi, akses pendidikan, hingga peluang kerja yang layak Program reintegrasi yang dijalankan pemerintah tidak menyentuh semua lapisan secara merata dan hasilnya pun tidak selalu efektif.
Baca juga: Kunci Perdamaian dalam Resolusi Konflik Aceh
Lebih dari itu, tantangan baru justru muncul dari generasi muda yang tumbuh setelah konflik. Mereka tidak mengalami langsung masa-masa kekerasan namun juga tidak memahami secara utuh makna perjuangan dan rekonsiliasi.
Akibatnya, mereka hidup dalam suasana “damai yang membeku” keadaan tanpa kekerasan tapi juga tanpa arah jelas mengenai masa depan ketika kebutuhan dasar tidak terpenuhi ketika ketidakadilan masih dirasakan benih-benih keresahan sosial bisa tumbuh dengan mudah bahkan menjelma dalam bentuk radikalisme atau tindak kriminalitas.
Karena itu, pembangunan Aceh harus dilihat dari perspektif yang lebih luas Infrastruktur fisik memang penting namun bukan satu-satunya jalan menuju kesejahteraan. Tanpa keadilan sosial pembangunan akan kehilangan makna jalan raya dan gedung bertingkat tidak akan memberi pengaruh besar jika masyarakatnya masih merasa tertinggal dan tidak dianggap sebagai bagian dari kemajuan
Pemerintah Aceh bersama pemerintah pusat perlu merumuskan kembali strategi perdamaian pasca-konflik, pendekatan top-down tidak cukup. Harus ada ruang dialog yang terbuka, inklusif, dan jujur antara semua pihak: elit politik, tokoh adat, ulama, pemuda, dan para penyintas konflik.
Kearifan lokal Aceh yang kaya seperti sistem mukim adat istiadat dan budaya musyawarah dapat dijadikan fondasi untuk memperkuat ikatan sosial dan kepercayaan antarwarga
Pendidikan juga memegang peranan kunci. Kurikulum sekolah di Aceh perlu memuat materi tentang sejarah konflik secara jujur dan konstruktif. Tujuannya bukan untuk membuka luka lama melainkan untuk memberikan pemahaman yang utuh kepada generasi muda tentang pentingnya toleransi, dan keadilan.
Anak-anak Aceh perlu tahu bahwa perdamaian adalah warisan yang harus dijaga dan diperjuangkan bersama.
Jika Aceh ingin menjadi contoh sukses daerah pascakonflik di Indonesia maka semua pihak harus bekerja sama dan bersungguh-sungguh. Damai sejati bukan sekadar tidak adanya perang tetapi hadirnya keadilan kesempatan dan rasa dihargai bagi semua warga Aceh harus berani menempuh langkah-langkah berani dan manusiawi yang menyentuh batin masyarakat bukan hanya permukaan pembangunan
Perdamaian bukanlah garis akhir dari perjuangan tetapi awal dari tanggung jawab yang lebih besar. Tanggung jawab itu belum sepenuhnya selesai di Aceh. Kini saatnya membuka lembaran baru lembaran yang ditulis bersama dengan tinta keadilan dan suara rakyat yang tak lagi diindahkan
*Penulis: Dhiya Jinan Sausan, mahasiswa Prodi Pengembangan Masyarakat Islam UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.