Mengapa Istri di Aceh Disebut Po Rumoh?

po rumoh
Museum Rumoh Aceh. Foto: Traveloka.

Tulisan Muhajir Al Fairusy berjudul Lelaki Aceh, Sie Reuboh dan Makmeugang, dikomplain oleh seorang pembaca. Pernyataan Muhajir Al Fairusy bahwa lelaki Aceh harus menyediakan rumah untuk po rumoh, dianggap sesuatu yang mengada-ngada.

Pembaca tersebut menulis: Kedua, lelaki Aceh harus mampu menyediakan rumah untuk po rumoh (istri) saya kira ini nggak benar, mengada-ngada dan memutar-balikkan fakta. fakta bahwa banyak laki-laki di aceh tinggal di tempat istri, makanya istri dalam bahasa aceh po rumoh = pemilik rumah. klo laki-laki yang menyediakan rumah, laki-laki (suami) lah = yang po rumoh, bukan istri.

Baca: Lelaki Aceh, Sie Reuboh dan Makmeugang

Pernyataan tersebut menggelitik, menarik, sekaligus asyik. Banyak lelaki di Aceh yang hidup menumpang di rumah mertua, bahkan hingga meninggal dunia. Bertahannya para suami di rumah mertua umumnya karena ketidakmampuan membangun hunian mandiri.

Menurut pembaca tersebut, istilah po rumoh, bukan karena suami membangun rumah untuk istri, tapi karena suami menumpang hidup di rumah istri –rumah orangtua istri.

Lalu siapa di antara mereka yang benar? Menurut Moehammad Hoesin, yang ditulis dalam buku Adat Aceh, diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh tahun 1970, dan kemudian diterbitkan kembali oleh Majelis Adat Aceh dan LSKPM Aceh pada tahun 2018, dengan judul Islam dan Adat Aceh, istilah po rumoh lahir karena budaya masyarakat Aceh di masa lampau.

Baca: Perkawinan Serta Pergaulan Laki-laki dan Perempuan di Aceh

Moehammad Hoesin menerangkan bahwa di masa lalu, sulit membawa istri keluar dari rumah orangtuanya. Karena alasan tertentu—biasanya karena persoalan jumlah manusia yang masih sedikit—suami diminta menetap di kampung halaman istri, beranak pinak, hingga mati.

Makanya di masa lampau, sering terbit pernyataan dari orang tua di kampung, Lam gampong nyoe droe teuh mandum. Hana meujampu ngon gop. Artinya seluruh penduduk kampung masih punya tali-temali persaudaraan akibat pernikahan.

Akan tetapi adakalanya tak mungkin seorang suami menetap di kampung halaman istrinya. Mau tak mau dia harus membawa istrinya ke mana ia akan pergi. Bila alasan itu diajukan, maka keluarga istri tidak dapat menolak. Pun demikian, ada syarat yang harus dipenuhi oleh suami.

Ia baru boleh membawa istrinya ke tempat ia harus bermukim, bilamana telah membangun sebuah rumah layak huni, yang kepemilikannya diserahkan kepada istri. Rumah tersebut tidak menjadi harta bersama. Diberi kepada istri sebagai hadiah. Bila kelak mereka bercerai, rumah itu tidak masuk ke dalam daftar harta yang dibagi.

Kewajiban membangun rumah dan kemudian menyerahkannya sebagai milik istri, sebagai simbol perlindungan untuk wanita. Bila terjadi hal-hal buruk, ia telah memiliki aset tempat berlindung, sekaligus melindungi anak-anaknya kelak.

Dari sanalah pertama kali muncul istilah poe rumoh/po rumoh/yang kemudian disingkat menjadi prumoh.

Istilah po rumoh tetap dipelihara sampai saat ini, meski tradisi telah berubah. Sekarang, bilamana seorang suami hendak membawa istrinya keluar dari rumah mertuanya, tidak lagi mendapatkan kendala. Tidak ada lagi kewajiban menetap di kampung istri. Tidak ada lagi kewajiban membangun rumah sebelum membawa istri ikut serta.

Tradisi yang masih coba dipertahankan, sebaiknya istri dibawa keluar dari rumah orangtuanya, setelah ia melahirkan anak pertama. Bilapun kemudian hal tersebut tidak memungkinkan, maka tidak ada larangan sama sekali untuk dibawa.

Perubahan tersebut berkat semakin baiknya pengajaran agama Islam di Aceh. Karena di dalam Islam, istri berada di bawah tanggung jawab suami. Istri harus tunduk kepada suami, selama sang suami tidak mengajak istri ke dalam perbuatan mungkar.

Ketundukan istri kepada suami sejauh suami tidak mengajak/memaksa istri melakukan perbuatan-perbuatan yang membuat timbulnya kedurhakaan kepada Allah. Oleh karena itu, sebelum perempuan dan laki-laki sepakat menikah, keduanya terlebih dahulu mendapatkan pendidikan agama yang baik dari orang tua masing-masing.

Hal utama yang harus dibekali adalah pengetahuan tentang fardhu ain, kemudian fardu kifayah, dan ilmu-ilmu lainnya, termasuk ilmu seputar berumah tangga. Pengetahuan berumah tangga sesuai tuntunan Islam wajib dimiliki, supaya hubungan suami dan istri berjalan baik.

Salah satu contoh adalah, ajakan berhubungan badan melalui liwath (dubur). Meski suami meminta dan memerintah, si istri tidak wajib menurutinya. Misalnya, si suami meminta hubungan jimak di siang hari bulan Ramadan, istri harus menolaknya.

Artikel SebelumnyaOknum TNI AL Penembak Ilyas Nangis Saat Sidang, Sebut Teringat Alm Ayahnya
Artikel SelanjutnyaPerkara Pencucian Uang Oleh Nyonya N Dilimpahkan ke Pengadilan
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here