Jelang Meugang: Makan Tabungan atau Pilih Berutang?

Jelang Meugang: Makan Tabungan atau Pilih Berutang?
Anwar (Cek Wan). Foto: HO for Komparatif.ID.

Di Aceh, tradisi meugang selalu menjadi momen yang dinanti-nanti. Tiga kali setahun, menjelang Ramadan, Idulfitri dan Iduladha, pasar-pasar tradisional ramai oleh masyarakat yang berburu daging untuk disantap bersama keluarga.

Aroma rempah khas Aceh menguar di dapur-dapur, dan kehangatan berbagi dengan tetangga atau kaum duafa menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi ini.

Namun, di balik keindahan budaya tersebut, ada pertanyaan yang kini mengemuka untuk sebagian orang, apakah masyarakat lebih memilih “makan tabungan” atau berutang demi menjaga tradisi meugang tetap hidup, terutama di tengah kondisi ekonomi yang penuh tantangan pada tahun 2025?

Meugang: Lebih dari Sekadar Daging di Meja.

Meugang bukan sekadar ritual membeli daging. Ini adalah warisan budaya yang mengakar sejak masa Sultan Iskandar Muda di abad ke-17, ketika daging dibagikan gratis sebagai wujud syukur atas kemakmuran. Kini, tradisi ini telah menjadi simbol solidaritas sosial dan identitas Aceh.

Tak peduli harga daging melambung atau stok terbatas, masyarakat Aceh tetap berbondong-bondong ke pasar. Bagi mereka, meugang adalah kewajiban moral, tak hanya untuk keluarga, tapi juga untuk berbagi dengan yang membutuhkan.

Namun, ada sisi lain yang tak bisa diabaikan. Momentum meugang juga menjadi penggerak ekonomi lokal. Pedagang daging, penjual rempah, hingga pembuat kue tradisional meraup untung besar. Pasar tradisional seperti Pasar Peunayong di Banda Aceh atau Pasar Pagi di Kota Matang Glumpang Dua Bireuen menjadi saksi bagaimana tradisi ini menghidupkan roda ekonomi. Tapi, ketika harga daging naik atau pendapatan tak seimbang dengan kebutuhan, pilihan sulit pun muncul: menguras tabungan atau berutang.

Ekonomi 2025: Tantangan di Tengah Pemulihan.

Pada Februari 2025, Indonesia, termasuk Aceh, masih berjuang dengan pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Meski Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi nasional di atas 5 persen pada 2023, tekanan global seperti kenaikan harga bahan pangan dan energi masih terasa.

Baca juga: Ekonomi Aceh Tumbuh 4,66 Persen, Tertinggi dalam 4 Tahun Terakhir

Di Aceh, situasi ini diperparah oleh masalah lokal. Baru-baru ini, gangguan layanan Bank Syariah Indonesia (BSI) selama dua hari membuat banyak warga tak bisa mengakses tabungan mereka. Akibatnya, sebagian terpaksa meminjam uang dari saudara atau tetangga untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk persiapan meugang.

Survei terbaru dari KIC (18 Februari 2025) menunjukkan tren menarik: 76,3% kelas menengah di Indonesia lebih memilih menggunakan tabungan ketimbang berutang saat menghadapi pengeluaran besar. Di Aceh, pola ini tampaknya juga berlaku, tapi dengan nuansa berbeda.

Budaya “malu berutang” masih kuat di kalangan masyarakat Aceh, membuat banyak keluarga lebih rela menguras simpanan demi menjaga martabat dan tradisi. Namun, bagi mereka yang tabungannya pas-pasan, pinjaman informal dari keluarga atau tetangga jadi solusi darurat.

Beli Daging Meugang: Antara Tradisi dan Beban Finansial.

Harga daging sapi di Aceh menjelang meugang kerap melonjak. Jika biasanya berkisar Rp140.000-Rp150.000 per kilogram, menjelang hari besar bisa tembus Rp180.000 atau lebih, tergantung pasokan.

Bagi keluarga besar, kebutuhan daging bisa mencapai 5-8 kilogram, belum termasuk biaya rempah, kue, dan hidangan pelengkap. Total pengeluaran untuk meugang bisa mencapai jutaan rupiah—angka yang signifikan bagi pekerja informal atau petani dengan pendapatan terbatas.

Di sisi lain, meugang juga mencerminkan nilai gotong royong. Banyak keluarga yang membeli daging lebih banyak untuk dibagi kepada tetangga atau anak yatim. Ini menambah beban finansial, tapi juga memperkuat ikatan sosial. Pertanyaannya, sampai kapan tradisi ini bisa dipertahankan tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi rumah tangga?

Pilihan Sulit

Bagi sebagian warga Aceh, “makan tabungan” adalah opsi pertama. Tabungan yang disisihkan dari hasil panen, gaji, atau usaha kecil digerus demi meugang. Namun, ketika tabungan menipis, apalagi setelah gangguan layanan bank seperti yang terjadi baru-baru ini, berutang menjadi jalan keluar.

Berutang di Aceh sering kali bersifat personal, bukan ke bank, melainkan ke kerabat atau pedagang langganan. Ini mengurangi beban bunga, tapi tetap menciptakan tekanan psikologis untuk segera melunasi.

Kondisi ini menunjukkan dilema budaya dan ekonomi yang unik. Meugang adalah kebanggaan, tapi juga tantangan. Pemerintah Aceh dan stakeholder terkait bisa berperan lebih besar, misalnya dengan menstabilkan harga daging melalui operasi pasar atau memberikan subsidi khusus menjelang meugang. Ini bisa meringankan beban masyarakat tanpa menggerus esensi tradisi.

Meugang ke Depan

Di tengah pertumbuhan ekonomi yang belum merata, meugang tetap menjadi cerminan ketahanan budaya Aceh. Namun, agar tradisi ini tak jadi beban, diperlukan keseimbangan antara menjaga nilai luhur dan menyesuaikan diri dengan realitas ekonomi.

Masyarakat bisa mulai dengan perencanaan keuangan yang lebih matang, menyisihkan dana khusus meugang sejak jauh hari. Sementara itu, pemerintah dan pelaku usaha lokal bisa berkolaborasi untuk memastikan pasokan daging terjangkau.

Jadi, makan tabungan atau berutang? Jawabannya tergantung pada kondisi masing-masing keluarga. Yang pasti, meugang bukan hanya soal daging di meja, tapi tentang kebersamaan dan syukur.

Di Aceh, tradisi ini akan terus hidup, entah dengan tabungan yang dikorbankan atau pinjaman yang dibayar kemudian. Karena itulah jiwa Aceh: tangguh, solidaritas, dan tak pernah menyerah pada keadaan.

Artikel SebelumnyaGagal di Piala Asia, Indra Sjafri Didepak dari Kursi Pelatih Timnas U-20

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here