Komparatif.ID, Banda Aceh— Gubernur Aceh Muzakir Manaf mengatakan kebijakan penghapusan barcode BBM demi memberikan kemudahan bagi masyarakat.
Menurutnya, sistem barcode membuat petugas SPBU bekerja terlalu kaku tanpa mempertimbangkan kondisi di lapangan, sehingga sering kali mengabaikan sisi kemanusiaan.
“Barcode itu membentuk petugas SPBU kaku tak memiliki pertimbangan dan rasa simpati,” ucap Mualem, di ruang VIP DPRK Subulussalam, usai melantik Wali Kota setempat, Juamt (15/2/2025).
Muzakir Manaf menegaskan pencabutan barcode BBM sebagai langkah untuk mengatasi berbagai kendala yang muncul di lapangan. Dalam setiap kesempatan menghadiri pelantikan bupati dan wali kota di berbagai daerah, ia konsisten menyoroti permasalahan ini.
Sistem barcode BBM sebelumnya sempat menjadi kontroversi saat pertama kali diperkenalkan pada tahun 2022, ketika Aceh bersama Bintan dan Batam menjadi daerah percontohan dalam penerapannya. Tiga tahun setelah diberlakukan, aturan tersebut kini kembali menjadi sorotan.
Baca juga: Mualem: Penghapusan Barcode BBM Akan Diadopsi Provinsi Lain
Mualem mengungkapkan pengalaman pribadi saat menyaksikan dua warga yang terpaksa mendorong mobil pick-up mereka ke SPBU setelah kehabisan BBM.
Sayangnya, petugas SPBU menolak mengisi bahan bakar karena kendaraan tersebut tidak memiliki barcode.
Kejadian serupa juga dialaminya secara langsung ketika kendaraannya kehabisan BBM. Saat itu, ia meminta pengisian pertalite dalam jumlah kecil agar bisa sampai ke rumah, tetapi permintaan tersebut ditolak karena mobilnya terdaftar untuk menggunakan pertamax.
“Sistemnya dibangun untuk menjadikan orang seperti robot, tak ada empati dengan lelahnya dua orang tadi mendorong mobilnya yang kehabisan BBM, tak ada belas kasihan. Seharusnya, petugas SPBU bisa mengisi Rp100 ribu atau Rp200 ribu agar pemilik kenderaan bisa pulang ke rumah tanpa harus mendorong mobil,” tutur Mualem.
Muzakir Manaf menilai sistem ini menciptakan ketegangan antara petugas SPBU dan masyarakat. Ia mencontohkan beberapa insiden di daerah lain di luar Aceh, di mana konsumen dan petugas SPBU terlibat konflik akibat aturan barcode yang kaku.
Dengan menghapus sistem barcode BBM, ia berharap masyarakat dapat mengisi BBM dengan lebih mudah tanpa hambatan teknis yang tidak perlu. Menurutnya, langkah ini juga akan mengurangi potensi konflik serta meningkatkan kenyamanan bagi masyarakat dan petugas SPBU.
“Jadi, penghapusan barcode adalah salah satu solusi menghilangkan konflik di SPBU dan membuat nyaman masyarakat khususnya konsumen dan petugas SPBU,” pungkas Mualem.
blunder pertama
>Kejadian serupa juga dialaminya secara langsung ketika kendaraannya kehabisan BBM. Saat itu, ia meminta pengisian pertalite dalam jumlah kecil agar bisa sampai ke rumah, tetapi permintaan tersebut ditolak karena mobilnya terdaftar untuk menggunakan pertamax.