Singkil tersingkir dalam narasi pembangunan. Peristiwa pencaplokan empat pulau di perbatasan Singkil-Tapteng, menjadikan wilayah tersebut kembali diperbincangkan.
Saat konflik masih mendera Aceh era tahun 90-an hingga awal 2000, tak sedikit pemuda Pulau Banyak direndam dalam kolam berair tengah malam, kehidupan di sana ikut mencekam, demikian diterangkan oleh penduduk tempatan. Tak hanya itu, perlakuan tidak manusiawi, seperti para nelayan yang kerap diperas tangkapannya begitu saja—merupakan ekses konflik Aceh yang dirasakan langsung oleh manusia perbatasan.
Realitasnya, secara kebudayaan mereka sangat berbeda dengan etnis Aceh yang mendiami pantai timur dan utara, termasuk bahasa dan lainnya. Suasana dan perlakuan oleh situasi konflik tetap berlaku dan diterima oleh penduduk perbatasan, hanya karena kesamaan identitas administrasi wilayah; Aceh.
Baca: Antara Aceh Singkil dan Singkil Manado
Masyarakat Singkil memilih ‘setia’ pada Aceh sejak dahulu. Mereka tidak hanya ‘menjaga’ perbatasan Aceh, lebih dari itu, sejarah Aceh yang begitu kesohor juga ditopang oleh keberadaan dua intelektual dari negeri ini; Hamzah Fansuri dan Abdurrauf Ali Al-Fansuri. Bahkan, dalam lima tahun akhir, saat wacana dan gesekan soal empat pulau yang ‘disamun’ dan ‘dirampok’ oleh Sumatera Utara melalui kuasa Kemendagri Indonesia Raya di bawah komando Tito Karnavian bergema, masyarakat Singkil-lah yang paling serius mempertahankannya.
Beberapa masyarakat ‘tanah betuah’ ini sempat kecewa atas lambatnya peran Aceh (baca; pemerintah provinsi) merepson dan membela empat pulau tersebut. Toh, wacana dan upaya klaim atas empat pulau telah dilakukan Sumatera Utara sejak tahun 2007, dan klaim keberpihakan empat pulau milik Sumut secara tegas terjadi setengah dekade terakhir.
Baca: Tari Singkil; Lenggok Putri Kipas Maranao
Transisi peralihan kekuasaan di Indonesia dalam dua tahun terakhir, nyaris menenggelamkan isu empat pulau yang “dibajak” Sumatera Utara kala itu. Pascapemilukada dengan kestabilan politik kekuasaan, Aceh melakukan protes dan perlawanan atas sikap “semena-mena” Pusat tersebut. Perlawanan tanpa senjata dengan upaya demonstrasi dan orasi ditunjukkan oleh segenap elite Aceh di Senayan secara serius datang ke pulau yang telah ‘dirampok” tersebut.
Tindakan semena-mena Pusat pada Aceh dengan menggabungkan wilayah pada Sumatera Utara memang bukan pertama sekali terjadi. Tahun 1949, peleburan Aceh ke dalam wilayah Sumatera Utara tanpa dialog dan konsultasi dengan rakyat Aceh, juga telah memantik konflik berkepanjangan kala itu. Elit dan jelata Aceh ‘kecewa’ atas cara Pusat memperlakukan Aceh secara ceroboh dan lancang.
Kepercayaan Aceh pada Pusat tak sepenuhnya pulih pascaperistiwa sejarah konflik yang berkepanjangan sejak awal kemerdekaan. Bagi Aceh, Pusat tetap dilihat dalam makna lokomotif timpang pembangunan (di) Indonesia. Perilaku elite politik Senayan tersebut tak dapat sepenuhnya dipercaya. Narasi ini berkembang di tengah masyarakat Aceh hingga ke pelosok. Kondisi ini wajar, mengingat Aceh salah satu provinsi yang pernah melakukan perlawanan secara terbuka pada Indonesia demi menuntut keadilan.
Lalu, bagaimana dengan masyarakat Singkil yang ‘setia’ pada Aceh dalam mempertahankan identitas keacehan di perbatasan dan geografis wilayahnya? Sebagai salah satu kabupaten dengan status afirmasi, sudah seharusnya kawasan ini mendapat perhatian serius dan ketat dari Pemerintah Aceh. Selama ini, Singkil semata-mata sebagai wilayah perbatasan yang amat terbatas pembangunannya.
Empat pulau yang ‘dibegal’ Sumut pun dapat dimaknai kasus kecil dalam derap keterbatasan pengembangan kawasan. Daerah ini tidak benar-benar dibangun secara serius. Ia seperti anak angkat di dalam Aceh, meski sejarah menunjukkan Singkil merupakan anak dari garis wali keacehan dalam narasi kebangsaan. fasilitas publiknya terbatas, wisatanya yang eksotis, tidak berkembang, perekonomiannya tidak tumbuh menggembirakan, dan gesekan konflik keagamaan yang tak pernah selesai, menjadi pekerjaan rumah Pemerintah Aceh yang seharusnya ‘direbut’ Kembali sebagaimana semangat menjaga perbatasan Aceh dari ancaman hilangnya empat pulau.
Belajar dari kasus beralihnya empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara, Pemerintah Aceh perlu mengedepankan politik konservasi dan pembangunan ketat bagi kawasan perbatasan yang selama ini terbatas perhatiannya. Hari ini empat pulau ‘disamun,”. Ke depan potensi dan kekayaan alam Aceh juga terus dijarah pihak luar, jika Pemerintah Aceh tidak menggunakan strategi pembangunan dan perhatian bagi kawasan-kawasan tertentu yang memiliki potensi sumber daya.
Penduduk Aceh tak mencapai lima juta jiwa, dengan Otonomi Khusus yang melimpah, pembangunan tepat sasaran dan terencana perlu menjadi perhatian ketat Provinsi paling ujung Utara Sumatera ini.
Belajarlah dari negara maju seperti Brunei Darussalam dan Malaysia. Pengelolaan bangsa dan negara harus diawali dari niat, dilanjutkan dengan keadilan dan pemerataan bagi segenap kabupaten/kota. Tidak ada lagi jalan berlubang, sampah menumpuk di pinggir jalan, pelayanan kesehatan yang prima.
Hilangnya empat pulau di singkil harus menjadi pelajaran. Pulau itu direbut karena pemimpin di Aceh terlalu sibuk berpikir tersentralisasi. Seolah-olah Aceh hanya beberapa kabupaten saja yang dekat dengan Banda Aceh. Pemimpin Aceh harus menyadari bahwa Aceh bukan hanya Banda Aceh dan sekitarnya. Aceh membentang luas hingga ke perbatasan dengan Sumut dan negara-negara lain.