17 Tahun Damai, Aceh Makin Baik

Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) menyebutkan 17 tahun perdamaian, Aceh semakin baik. Foto: ist.
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (KBA) menyebutkan 17 tahun perdamaian, Aceh semakin baik. Foto: ist.

Oleh: Kamaruzzaman Bustamam Ahmad

Dalam artikel ini saya tertarik untuk mengupas tentang apa hikmah dari memperingati 17 tahun perjalanan damai MoU Helsinki antara GAM dan RI di Aceh. Angka 17 tahun adalah angka yang belum begitu dewasa. Kalau ibarat anak-anak, merupakan usia yang masih belia, di mana mereka masih sekolah di SMU.

Jadi, dapat dikatakan bahwa usia 17 tahun belumlah dikatakan sebagai usia kematangan dari seorang anak manusia. Biasanya usia kematangan itu didapatkan manakala seseorang telah berusia 40 tahun.

Karena itu, menguliti makna perjalanan damai di Aceh tentu tidak ada banyak hal yang diharapkan oleh rakyat Aceh. Salah satu poin penting dari penandatangan MoU Helsinki di Finlandia adalah berakhirnya konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Republik Indonesia.

Ketiadaan konflik bersenjata ini beriringan dengan peristiwa tsunami pada 26 Desember 2024. Setelah tsunami menyapu bersih Banda Aceh dan beberapa daerah lainnya di Provinsi Aceh, maka niat untuk memulai kata damai di antara pihak yang bertikai diwujudkan dengan penandatangan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005.

Lantas, apa makna dari 17 tahun perjalananan MoU Helsinki di Aceh? Saya ingin menjawabnya dengan narasi-narasi yang dapat membantu pembaca memahami, apakah damai di Aceh telah berjalan seharusnya, jika dibandingkan dengan seadanya saat ini.

Proses integrasi mantan kombatan GAM, baik di dalam maupun di luar negeri, telah berhasil membawa mereka ke kursi-kursi kekuasaan di provinsi Aceh. Ada yang menjadi bupati, walikota, anggota dewan, gubernur, wali nanggroe, dan berbagai jabatan lainnya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Proses integrasi sosial politik ini pun beriringan dengan proses reparasi bagi korban kekerasan selama konflik. Mereka yang kombatan pun telah memiliki wadah, tidak hanya partai politik (Partai Aceh), tetapi juga badan khusus yang menangani proses integrasi mereka, yaitu Badan Reintegrasi Aceh (BRA).

Di samping itu, dalam kehidupan sosial legal pun muncul berbagai aturan yang merupakan turunan dari UUPA 2006 tentang Pemerintahan Aceh, tidak terkecuali dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Walaupun harus diakui bahwa pelaksanaan syariat Islam telah dimulai sejak tahun 1999.

Keberadaan beberapa lembaga keistimewaan di Aceh, yang mungkin tidak dijumpai di provinsi lainnya di Nusantara juga tidak dapat dipungkiri sebagai hasil dari MoU Helsinki. Kendati kinerja lembaga-lembaga keistimewaan ini masih jauh dari kata sempurna.

Saat ini, Aceh telah memiliki Baitul Mal, Dinas Syariah Islam, Wilayatul Hisbah, Lembaga Wali Nanggroe, Majelis Adat Aceh, Majelis Pendidikan Aceh, Mahkamah Syar’iyyah, dan berbagai lembaga lainnya yang merupakan kekhasan Provinsi Aceh.

Jadi, setelah MoU Helsinki, Provinsi Aceh telah memiliki infrastruktur pemerintahan yang benar-benar sebagai suatu ‘negara’ dalam negara di republik Indonesia. Keberadaan Dana Otonomi Khusus pun ikut menopang pembangunan Aceh, sejak tahun 2005.

Namun, di atas semua keberhasilan selama 17 tahun MoU Helsinki, namun Provinsi Aceh masih tetap belum bangkit, terutama jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi baru yang mekar dalam dua dekade terakhir di Indonesia.

Saya takjub melihat perkembangan provinsi Sumatera Selatan. Kota Palembang seakan-akan menjadi kota metropolitan baru di Sumatera. Demikian pula, Provinsi Gorontalo, ketika saya melewatinya saat Touring Indonesia Harmoni, terlihat provinsi ini memiliki konsep yang jelas, di mana rakyatnya ikut aktif dalam pembangunan di negeri tersebut.

Akan halnya Aceh, walaupun jalan beraspal dari Kuala Simpang ke Pantai Ule Lheu, sepanjang jalan tidak ada perubahan pembangunan yang cukup signifikan. Rumah, toko, dan areal perkampungan tidak memiliki perubahan yang menjanjikan.

Demikian pula, ketika melihat Aceh dari Lae Balno di Aceh Singkil hingga ke Simpang Ajuen di Kota Banda Aceh, pembangunan jalan yang cukup bagus, tidak dibarengi oleh kreativitas masyarakat untuk mengisi pembangunan.

Sebagian rakyat Aceh masih melarat. Perusahaan dari luar Aceh pun terus masuk, walaupun kantor mereka tidak satupun di kota Banda Aceh. Turis asing sibuk membuka bisnis di Sabang dan Sinabang.

Aceh memang menjadi lahan empuk bisnis jangka panjang bagi para investor, baik yang nyata maupun tidak. Hutan di Aceh menyimpan selaksa kekayaan yang tiada tara. Para pengusaha dari Jakarta selalu mencari cara untuk menjawab asa bisnis mereka di Aceh.

Gerai makanan dan kuliner semakin bergolak. Jaringan bisnis waralaba dari Ibukota merata-rata di setiap kota di Aceh. Mereka benar-benar menjadikan Aceh sebagai target untuk membuka jaringan bisnis mereka.

Jadi, pasca-MoU Helsinki banyak pihak yang memperoleh laba secara esensial di Aceh bagi bisnis mereka. Kendati Aceh masih dikatakan sebagai daerah termiskin di Sumatera. Setiap hari, sepeda motor dan mobil baru masuk dari Sumatera Utara ke Aceh.

Bus-bus mewah Aceh terkenal sampai ke Pulau Jawa. Ini belum lagi bisnis para milenial yang sampai mencari barang ke Kota Bangkok di Thailand. Online shop para milenial telah membuka mata para pebisnis kurir di Provinsi Aceh. Gudang mereka selalu penuh dengan pesanan barang dari Aceh.

Ini belum lagi berbagai pendapatan anak muda di media sosial, seperti YouTube, Tik Tok, dan Instagram. Para blogger Aceh pun tidak terkecuali menikmati cuan dari dunia maya. Di Aceh media online pun merebak ibarat jamur di musim hujan. Semua aktifitas alam maya ini ternyata mengakrabkan mereka dengan dunia cuan dari iklan dan afiliasi marketing.

Tentu saja, bisnis mereka tidak akan hanya menggunakan Bank Syariah yang menjadi ketentuan Qanun LKS. Bank-bank digital dan bank konvensional yang dapat dibuka secara online pun, tampaknya telah banyak mengantarkan cuan pebisnis Aceh di luar daerah.

Karena itu, ketika BI dan BPS mengatakan Aceh tidak memiliki potensi ekonomi, tampaknya di era digital, kajian mereka perlu mendapatkan perhatian, bagaimana damai di Aceh telah menumbuhkan aktivitas ekonomi dari Aceh, yang dikendalikan oleh pihak luar Aceh.

Penutup
Kajian di atas adalah sebagian dari pemaknaan ulang bahwa Aceh baik-baik saja. Kecuali kalau dilihat dari aspek isu dan masalah yang mengitari Aceh paska-MoU Helsinki yang selalu muncul ketika membahas Aceh dalam kondisi tidak baik-baik saja.

Rakyat Aceh memiliki cara tersendiri dalam mengisi damai di Aceh. Hal yang berbeda, tampaknya yang dilakukan oleh sekelompok manusia yang hanya menjadikan Aceh sebagai objek untuk menumpuk kekayaan, lalu mereka mengatakan bahwa Aceh bukan daerah yang aman dan damai.

Bahwa Aceh memiliki masalah setelah damai MoU Helsinki tidak akan dapat dipungkiri. Semua pemberitaan tentang Aceh, tentu saja akan diambil dari sisi negatif. Pada edisi berikutnya, kita akan mengupas bagaimana mental pengambil kebijakan di Aceh beserta aparatur pemerintah yang mengelola provinsi ini.

Catatan: Tulisan ini telah tayang di situs personal kba13.com, milik Kamaruzzaman Bustamam Ahmad.

Artikel SebelumnyaPaskibra Aceh Utara Dikukuhkan Dalam Suasana Khidmad
Artikel SelanjutnyaFISIP UIN Ar-Raniry Turun ke Gampong Nusa
Kamaruzzaman Bustamam Ahmad
Antropolog yang berkhidmat di UIN Ar-Raniry. Menekuni bidang sosiologi antropologi agama di Asia Tenggara, kajian Islam, Tasawuf, kosmologi, dan keamanan, geostrategi, terorisme, dan geopolitik. Penulis lebih dari 30 buku dan 50 artikel jurnal akademik dan profesional serta bab buku. Pendidikan akademisnya adalah antropologi sosial di Universitas La Trobe, Ilmu Politik Islam di Universitas Malaya, dan Ilmu Hukum Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

1 COMMENT

  1. […] Orang yang uban rambutnya, maka disana biasanya kebijaksanaan hidup muncul. Kalau diibaratkan USK dan UIN Ar-Raniry sebagai pasangan, maka sesungguhnya dia sudah memiliki cucu dan cicit di seluruh penjuru Tanah Rencong. Saat ini, kedua penjaga keluarga ini muncul dengan niat baik, untuk kembali menjadi keluarga besar yang tidak akan hancur, walaupun datang berbagai halangan dan rintangan. Note: Tulisan ini telah tayang di situs personal kba13.com. […]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here