Komparatif.ID, Jakarta-14 LSM HAM mendesak para pembunuh Imam Masykur diadili di peradilan sipil, meski tiga di antaranya merupakan anggota militer aktif. Demikian disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan, Senin (28/8/2023).
14 LSM HAM tersebut terdiri dari Imparsial, Kontras, Amnesty International, YLBHI, PBHi, LBH Jakarta, Centra Initiative, Walhi, HRWG, ICW, Forum de Facto, ICJR, Setara Institute,dan LBH Masyarakat.
Direktur Amnesty Internasional Usman Hamid, mewakili lembaga-lembaga yang bergerak pada isu penegakan HAK Asasi Manusia (HAM) menekankan bahwa penculikan, penganiayaan, dan pembunuhan yang dilakukan oleh oknum Paspampres dan dua TNI aktif lainnya terhadap Imam Masykur pada Sabtu (12/8/2023) merupakan kejahatan yang teramat keji. Sama sekali tidak berperikemanusiaan.
Baca: Panglima TNI: Penculik Imam Masykur Pantas Dihukum Mati
Oleh karena itu mereka harus mendapatkan hukuman seberat-beratnya. Untuk mendapatkan hukuman paling maksimal, ketiga oknum TNI yang terlibat harus diadili di peradilan sipil. Supaya proses hukum dapat diawasi dan berjalan secara transparan dan akuntabel.
Usman Hamid mengatakan, kasus tersebut harus dibuka seterang-teranganya. Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi dalam proses penyelesaian kasus. Sehingga dapat terwujudnya keadilan bagi korban dan keluarga yang ditinggalkan.
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan, yang terdiri dari 14 LSM HAM, tindakan para oknum TNI yang menculik, menyiksa, dan mengakibatkan tewasnya Imam Masykur, dan kemudian jenazahnya dibuang ke sungai di Karawang, Jawa Barat, telah mencoreng citra wibawa kesatuan Paspampres.
Selain itu juga merupakan bukti bahwa masih tetap saja ada prajurit TNI belumlah dapat berhenti dalam aksi-aksi kejahatan. Peristiwa yang menimpa Imam Masykur menambah deretan kekerasan dan kekejaman aparat negara –TNI—yang terus terjadi di sejumlah daerah, khususnya di Papua.
Perilaku keji yang dilakukan oleh Praka R Manik dari Batalyon Pengawal dan Protokoler Negara Pasukan Pengaman Presiden, akan terus terjadi sejauh para pelaku tidak mendapatkan hukuman yang setimpal dan maksimal.
Baca: Imam Masykur: Dek Kirem Peng 50 Juta Peugah Bak Mak, Abang Ka Jipoh Nyoe
Peristiwa kekerasan oleh TNI akan terus berulang akibat dari hukuman ringan. Bahkan tak jarang mendapatkan perlindungan, dan ada juga yang dibebaskan. Contoh kasus yaitu penyerangan Lapas Cebongan, kasus pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani di Papua, Kasus pembunuhan tokoh Papua Theys Eluay, Kasus korupsi pembelian helikopter AW-101, kasus korupsi Basarnas, dll.
“Penghukuman yang tidak adil terjadi akibat oknum anggota TNI yang terlibat kejahatan diadili dalam peradilan militer yang sama sekali tidak memenuhi prinsip peradilan yang jujur dan adil (fair trial) yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas,” sebut Usman Hamid.
14 LSM HAM Tak Percaya Kredibilitas Peradilan Militer
14 LSM HAM yang terkenal sangat vokal memperjuangkan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia, tidak menaruh kepercayaan kepada peradilan militer di Indonesia.
Mereka menilai selama ini peradilan militer cenderung menjadi sarana impunitas bagi anggota militer yang terlibat kejahatan.
Peluang membebaskan aparat militer yang bertindak jahat, memang diberikan ruang besar. UU Nomor 31 tahun 1997 yang menjadi dasar peradilan militer sejatinya memang didesain untuk melindungi anggota militer yang melakukan kejahatan dan melindungi rezim Soeharto.
Mengapa demikian, karena UU tersebut dibuat di masa akhir Pemerintahan Orde Baru. Politik hukum undang undang peradilan militer sepenuhnya untuk melindungi kepentingan rezim Soeharto serta anggota militer yang melakukan kejahatan.
14 LSM HAM Desak Presiden Reformasi Peradilan Militer
14 LSM HAM mendesak Presiden dan DPR agar segera melakukan reformasi peradilan militer dengan cara membuat perppu tentang perubahan sistem peradilan militer atau segera mengajukan revisi terhadap UU peradilan militer.
“Presiden dan DPR tidak boleh diam apalagi takut untuk melakukan agenda reformasi peradilan militer. Presiden dan DPR jangan lari dari tanggung jawab konstitusionalnya untuk melakukan penegakan prinsip negara hukum yang di dalamnya mengharuskan adanya asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law).
Usman mewakili Koalisi menjelaskan, semua warga negara harus diperlakukan secara setara di muka hukum. Tidak boleh ada yang diistimewakan bila berhadapan dengan hukum.
Dengan demikian, siapa saja, apakah dia paspampres maupun TNI lainnya, wajib diadili di peradilan umum.
Agenda reformasi peradilan militer adalah sebuah mandat rakyat yang telah dituangkan dalam TAP MPR nomor VII tahun 2000 dan mandat UU nomor 34 tahun 2004 itu sendiri (Pasal 65 UU TNI).
Dengan demikian, tak ada alasan bagi Presiden dan DPR untuk tidak melakukan pembahasan revisi UU nomor 31 tahun 1997. Apalagi kasus kekerasan dan kejahatan (penculikan, pembunuhan, korupsi, penyiksaan dll) terus berulang yang melibatkan oknum anggota militer. Dengan demikian, reformasi peradilan militer adalah sebuah keharusan dan kewajiban konstitusional yang harus segera dilakukan Presiden dan DPR.
Tidak ada alasan lagi bagi Presiden untuk menunda pengesahan revisi UU Peradilan Militer. Para pelaku penculikan, penganiayaan, dan pembunuhan terhadap Imam Masykur harus diadili di peradilan umum.