Ziarah ke Pusara Abon Dolah Jeunib di Belantara Rimba Ilahi

Sejumlah peziarah berfoto bersama setelah bergotong royong membersihkan makam Abon Dolah. Foto: Dikutip dari FB Iqbal Nusa.

Teungku Abdullah Saleh, atau lebih dikenal dengan panggilan Abon Dolah Jeunib, merupakan seorang ulama yang memimpin Dayah Darul Atiq, Jeunib. Pejuang Aceh Merdeka yang menjabat Qadhi Neugara Aceh itu dimakamkan di lebatnya belantara, di hulu Krueng Nalan. Ia berpulang pada tahun 2003 karena sakit.

Sudah lama saya bermaksud berziarah ke makam sang ulama, yang merupakan adik bungsu Abon Abdul Azis Samalanga, pendiri Dayah Mudi Mesra yang tersohor. Tapi rencana itu selalu tertunda dengan berbagai alasan.

Dengan izin Allah, impian itu wujud pada Minggu (27/3/2022). Saya bersama Mantri Maimun, dengan mengendarai motor masing-masing berangkat dari Kota Bireuen. Tujuan pertama kami ke Bendungan Krueng Nalan, Jeunib yang berjarak 25 kilometer ke arah barat ibu kota Kabupaten Bireuen. Kami sudah berjanji dengan satu rombongan yang juga akan menuju ke makam Abon Dolah. Mereka adalah santri yang pernah mengaji pada sang ulama yang berbasis dayah tradisional—khas Aceh—itu.

Pukul 8.45 WIB kami sampai di tepi bendungan. Sembari menunggu rombongan lainnya tiba, saya dan Mantri Maimun berbincang-bincang dengan pemilik warung kecil yang berniaga makanan ringan untuk pengunjung bendungan.

Kami bercakap-cakap dengan Zakir, adik pemilik warung, yang ayahnya meninggal dunia tahun 2003 akibat ditembak oleh pelaku konflik di Tanah Rencong. Zakir tidak tahu banyak tentang bara di ujung Sumatera karena ketika ia lahir, perang panjang hanya beberapa tahun saja masih terjadi. Pada 15 Agustus 2005 Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia bersepakat berdamai di Kota Helsinki, Filandia. Perjanjian dalam itu diikat dalam sebuah perjanjian yang dikenal dengan nama Memorandum of Understanding Helsinki (MoU Helsinki).

Ketika kamis asyik berbincang, rombongan yang ditunggu tiba di bendungan. Jumlah mereka 30 orang, terdiri dari mantan kombatan seperti Iqbal Nusa, keluarga Abon, dan santri-santri almarhum, serta beberapa anak kecil.

Setelah silaturahmi singkat, kami sepakat segera berangkat ke Punceuk, bekas markas Teuntra Neugara Aceh (TNA)—sayap militer GAM—yang dibuka di tengah rimba, di pucuk Krueng (sungai-red) Nalan.

25 sepeda motor yang beriring menuju ke lokasi. Rata-rata motor bebek. Ada yang sudah dimodifikasi menyerupai trail untuk kebutuhan mendaki jalan menanjak di pegunungan.

Semakin jauh menggeber gas motor bebek, semakin berat medan yang harus kami lalui. Setelah tiba di irigasi kedua, jalanan yang harus ditempuh seperti kata dalam lagu Ninja Hatori: mendaki gunung turuni lembah……., dengan kondisi jalan yang juga berlumpur.

Setelah 30 menit perjalanan, jalan yang sempat disentuh oleh APBA berakhir. Kami mulai menyusuri jalan terobos, dengan tantangan yang semakin berat pula. Sepeda motor buatan Jepang yang sejatinya dikhususkan untuk melaju di jalanan kota, mulai terlihat “kelelahan”. Dua kilometer selanjutnya, kami harus berhenti. Badan sudah sangat penat. Motor kian menjerit. Motor yang kami gunakan bukan lagi melayani pemiliknya, tapi kali ini kami yang harus melayani motor-motor itu.

Setelah merasa cukup beristirahat, kami sepakat melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Motor-motor bebek itu tidak mungkin diajak melanjutkan menaklukkan rute yang semakin tak menentu. Besi-besi yang dirancang sedemikian sempurna untuk ditunggangi melayani kebutuhan transportasi individu di kota, tidak dapat dipaksa menerobos laluan yang tidak layak disebut jalan.

Kami memperkirakan, dengan berjalan kaki, dapat mencapai makam Abon Dolah dalam tempo dua jam. Saat itu jarum arloji sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB. Kami sandang semua perbekalan masing-masing, kemudian melangkah dengan penuh keyakinan.

Ada juga yang harus mengendong kambing. Tiga ekor binatang berkaki empat itu dibawa ke sana, untuk disembelih, digulai, kemudian dimakan setelah takziah selesai dilaksanakan. Demikianlah persiapan dilakukan dengan sebaik mungkin.

Peluh bercucuran. Saya dan Mantri Maimun berkeringat luar biasa. Demikian juga orang lain. nafas sudah turun naik.

Di jalan semak itu kami berpapasan dengan pencari jernang yang pulang ke perkampungan. Mereka mengaku sudah seminggu di dalam rimba. Tiga orang itu berjalan sembari mendorong motor yang dipaksa menembus lebatnya belantara. Saya lihat mereka juga membawa dua karung berisi jernang. Alhamdulillah, berarti mereka mendapatkan barang yang dicari.

Kami sempat berbincang-bincang dengan mereka. Saya melihat, meskipun sudah seminggu di hutan, persedian rokok mereka masih mencukupi. Salah seorang di antaranya bahkan berkali-kali menyundut rokoknya tiap kali batang yang diselip di jari habis dihisap.

Setelah berbincang, kami melanjutkan perjalanan. Perkiraan kami meleset jauh. Rombongan baru tiba di makam Abon Dolah pada pukul 18.00 WIB. Suara jangkrik sudah mulai terdengar dari berbagai sisi. Burung-burung rimba juga bercericit, seolah memberi kabar bahwa sebentar lagi Magrib.

Tidak ada waktu untuk melepas penat. Semua bekerja sesuai kesepakatan awal. Ada yang mencari kayu bakar, ada yang menanak nasi, ada yang menyembelih kambing dan mengulitinya. Ada juga yang membersihkan area makam.

Di Punceuk, makam Abon telah dipugar, meskipun masih sangat sederhana. Tiga balai-balai dibangun untuk tempat berteduh peziarah. Seluruh bangunan dibuat dari kayu yang ada di sekitar rimba.

Di kompleks makam juga tersedia kuali, belanga, dan perlengkapan masak lainnya, yang sengaja disimpan di sana, untuk memudahkan peziarah dan pelintas yang sedang mencari rezeki di lebatnya hutan.

Usai makan malam dengan penerang seadanya, dan salat Isya, kami mulai membaca wirid di makam Abon, sembari memanjat doa semoga Allahyarham diampunkan segala dosanya oleh Ilahi.

Teungku Abdullah Saleh (Abon Dolah) Jeunib. Foto: Dikutip dari FB Iqbal Nusa.
Teungku Abdullah Saleh (Abon Dolah) Jeunib. Foto: Dikutip dari FB Iqbal Nusa.

Usai wirid, kami duduk berbincang-bincang. Delapan orang lain menyusul ke makam. Jumlah kami pun bertambah.

Malam itu, di tengah keheningan malam, saya bertadabbur tentang hakikat hidup. Betapa kematian merupakan hal yang pasti, dan hidup di dunia hanya sementara.

Suara burung hantu, desauan angin yang mengecup lembaran dedaunan, dengkuran teman-teman yang kelelahan, dan suara-suara percakapan mereka yang belum tidur, menyatu dalam harmoni di tengah gelapnya rimba Ilahi.

Saya merasakan kedamaian, hati yang begitu tenang. Duh, betapa banyak sekali waktu yang terbuang untuk hal-hal yang sia-sia, sementara maut bisa datang kapan saja.

Abon Dolah, bersemayam di sini. Di tengah lebatnya rimba, di “lautan” maha sunyi. Abon berpulang setelah kalah melawan penyakit yang dideritanya, kala ia sedang memperjuangkan cita-cita sebuah kemerdekaan untuk bangsanya.

Peziarah membaca tahlil di makam Abon Dolah. Foto: tangkapan layar video di FB Iqbal Nusa.

***
Setelah salat Subuh kami Kembali menikmati sarapan pagi ala kadar. Makan apa yang ada, dan tidak ada yang protes. Mereka semua maklum, berziarah ke lokasi seperti ini, siapa saja harus siap menjadi “petempur” yang harus menyesuaikan diri dengan kondisi alam.

Setelah sarapan, kala matahari sudah menerangi seluruh lekuk rimba, kami bergotong royong membersihkan makam Abon Dolah. Rumput dan semak belukar kami babat hingga bersih.

Menurut keterangan salah satu mantan kombatan yang ikut dalam rombongan, Punceuk merupakan markas paling strategis. Mereka bermarkas di sana agar mudah berinteraksi dengan warga. Baik untuk kebutuhan logistik maupun informasi.

Usai bergotong-royong, kami bergegas pulang, Kembali ke kampung yang penuh dengan manusia.

Perang telah lama usai. Para pihak telah sepakat menghentikan permusuhan. Semoga damai yang telah dicapai dengan penuh perjuangan, kiranya abadi, agar kita semua berkesempatan menata Aceh ke arah yang lebih baik, bertamaddun, sekaligus maju ekonomi dan Islamnya.

Laporan: Junaidi Abdullah.
Narator/Editor: Muhajir Juli

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here