Warga Indonesia Berobat ke Penang, Dokter Kabur dari Malaysia

Dr. Erta Wijaya menyarankan dilakukan penelitian tentang cemaran e coli. Karena varian e coli bisa menyebabkan gagal ginjal akut. Foto: dikutip dari Facebook Dr. Erta. Waspada Infeksi Streptokokus, Penyebab Rematik Jantung berobat ke penang
Dr. Erta Priadi Wirawijaya Sp.JP.

Ceritanya begini, seorang mantan duta besar kita, Tantowi Yahya, bikin heboh jagat maya. Bukan karena nyanyi lagu country lagi, tapi karena dia mengaku berobat ke Penang, Malaysia. Bukan cuma dia, katanya, dari sekian ratus pasien di rumah sakit tempat dia periksa, lebih dari 80% adalah orang Indonesia. Wow, ini rumah sakit Malaysia atau cabang dari Puskesmas Menteng?

Fenomena warga Indonesia berobat ke Penang memang bukan berita baru. Tapi tiap kali ada figur publik ngomong, reaksi kita selalu sama: “Kok bisa sih mereka pilih berobat ke luar negeri?” Padahal kita tahu jawabannya.

Tapi plot twist-nya bukan di situ. Di balik rumah sakit Malaysia yang kelihatan kinclong dan profesional itu, ternyata ada krisis tenaga medis! Banyak dokter Malaysia yang memilih kabur. Ke mana? Ke negara lain yang bayar lebih mahal dan kasih jenjang karier lebih jelas. Atau, ironisnya, mereka malah jadi dokter kontrak di negeri sendiri dengan masa depan seabu-abu langit Senayan saat macet.

Baca: Waspada Infeksi Streptokokus, Penyebab Rematik Jantung

Jadi kita ini ada di posisi aneh. Dokter Indonesia banyak yang berobat ke Malaysia, sementara dokter Malaysia banyak yang kabur keluar negeri. Seperti adegan di film, semua orang lari ke pintu yang sama tapi dari arah berlawanan. Yang satu cari layanan, yang satu cari kehidupan.

Alasan Berobat ke Penang

Mari kita bahas kenapa orang Indonesia cinta mati sama Penang. Pertama, akurasi diagnosa. Di sana, alatnya canggih, dokternya teliti, dan tidak ada istilah “coba dulu paracetamol, nanti lihat minggu depan”. Kalau MRI ya MRI, kalau lab ya komplit. Bahkan hasil medical check-up bisa keluar dalam 4 jam. Coba bandingin dengan pengalaman di rumah sakit di sini yang kadang hasil lab bisa muncul bareng undangan nikahan mantan.

Kedua, pelayanan di sana kilat. Nggak pakai antre berjam-jam. Tantowi cerita, dia masuk ruang periksa hanya nunggu lima menit. Lima menit, saudara-saudara! Itu waktu yang biasa kita habiskan buat ngelus dada karena antrean di IGD belum juga dipanggil meskipun udah meringis kayak abis ditolak KPR.

Ketiga, dokter dan perawatnya bisa bahasa Indonesia. Nggak perlu bahasa Inggris medis, cukup bilang “Dok, dada saya kayak ditusuk-tusuk rindu” aja langsung paham. Kalau di tempat kita, kadang keluhan “nyeri menjalar ke lengan kiri” malah ditulis “nyeri di perut” karena salah dengar pas rame antrean.

Keempat, ini yang sensitif: biaya. Di Penang, biaya pengobatan bisa 30% lebih murah dibandingkan Jakarta. Bahkan bisa setengah dari harga di Singapura. Gimana bisa? Ternyata karena alat medis diimpor tanpa pajak. Jadi rumah sakit bisa lebih hemat, pasien pun ikut senang. Bandingkan dengan di Indonesia, di mana harga satu jarum suntik bisa bikin dompet meringis.

Kelima, pasien di Penang merasa dihormati. Bukan cuma dilayani. Ada dokter yang bahkan menyarankan beli obat di luar karena lebih murah. Di sini? Kadang baru tanya harga obat aja udah dilirik suster kayak kita minta diskon iPhone.

Keenam, trust. Ada kepercayaan yang tumbuh karena profesionalisme. Pasien merasa didengar. Nggak dituduh “overthinking” atau “kurang minum air putih”. Diagnosa ditegakkan dengan bukti, bukan feeling.

Tapi tunggu dulu, jangan buru-buru booking tiket berobat ke Penang. Soalnya rumah sakit-rumah sakit di sana juga lagi pontang-panting. Kenapa? Karena kekurangan dokter.

Ya, Malaysia juga punya krisis tenaga medis. Meski rasio dokternya dua kali lipat dari Indonesia (sekitar 2 per 1000 penduduk), faktanya distribusi dokter sangat timpang. Di Kuala Lumpur dan Penang berlimpah, tapi di Sabah dan Sarawak, cari spesialis jantung bisa kayak cari sinyal di pedalaman hutan.

Masalah makin pelik karena banyak dokter di Malaysia terjebak sistem kontrak. Sejak 2016, Pemerintah Malaysia bikin sistem contract medical officers. Harapannya sih efisiensi, tapi kenyataannya banyak dokter kontrak yang nggak diperpanjang masa baktinya. Lulus sekolah kedokteran, magang bertahun-tahun, ujungnya freelance atau jual skincare.

Yang lebih nyesek lagi, dokter Malaysia banyak yang pindah ke luar negeri: ke Singapura, Inggris, Australia. Karena selain gajinya lebih besar, jalur kariernya juga jelas. Di negeri sendiri? Kadang gaji kecil, kerja banyak, penghargaan minim. Sama seperti aktor figuran yang main di film blockbuster tapi nggak masuk kredit.

Akhirnya, rumah sakit Pemerintah Malaysia pun mulai megap-megap. Banyak rumah sakit yang kesulitan menyediakan spesialis tertentu. Bahkan dalam beberapa laporan, jumlah dokter yang pensiun lebih tinggi dari jumlah yang masuk. Jadi kalau sekarang pelayanannya masih cepat, itu bisa karena keajaiban manajemen—atau karena semua pasien orang Indonesia.

Lucunya, para dokter Malaysia pun banyak yang stres, burnout, bahkan berganti profesi. Ada yang jadi pengusaha makanan, barista, atau bahkan youtuber. Ya, siapa tahu konten “curhat dokter kontrak” bisa viral dan akhirnya dikontrak Netflix.

Jadi, kalau Malaysia yang sudah “lebih maju” saja bisa krisis, Indonesia harus lebih waspada. Jangan sampai kita cuma sibuk membanggakan gedung baru rumah sakit, tanpa mikir siapa yang akan kerja di dalamnya. Jangan sampai kita sibuk bikin iklan layanan kesehatan canggih, tapi tenaga medisnya malah kabur satu per satu kayak kru kapal Titanic.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Di sinilah saatnya kita buka jendela, hirup oksigen dalam-dalam, lalu menatap kaca dan bertanya, “Sistem kesehatan kita ini maunya ke mana sih sebenarnya?”

Pertama, Pemerintah Indonesia perlu serius—dan kali ini benar-benar serius—membenahi distribusi tenaga kesehatan. Kita ini udah seperti anak sekolah yang pinter matematika semua dikumpulin di kelas unggulan, sementara kelas lain cuma diajarin perkalian pakai sempoa.

Dokter banyak, katanya, tapi semua numpuk di Jakarta, Surabaya, Bali, atau daerah yang sudah penuh tempat makan fancy dan klinik aesthetic. Yang di Papua? Nusa Tenggara? Jangan-jangan masih mengandalkan “dokter terbang” yang datang dua minggu sekali kayak tukang servis AC keliling.

Dan jangan salah, banyak dokter muda itu sebenarnya mau kok ke daerah. Tapi ya itu, insentifnya sering kali tidak menggoda. Gaji sama, beban kerja beda, fasilitas ala kadarnya, belum lagi keamanan dan jenjang karier yang remang-remang. Kalau pasiennya datang naik kuda, tapi tugas administrasi tetap disuruh pakai aplikasi Android dengan sinyal 1 bar, ya siapa yang kuat?

Kedua, kita harus merombak total sistem rekrutmen dan pengangkatan dokter. Stop bikin sistem yang penuh kontrak sementara tanpa jaminan masa depan. Banyak lulusan dokter umum, internship udah kelar, mau daftar PNS belum ada formasi, masuk RS pemerintah gak ada slot, buka praktik sendiri gak mampu modal, akhirnya banting setir jadi reseller skincare atau barista. Padahal mereka bukan figuran dalam sinetron pelayanan publik. Mereka ini pilar utama kesehatan bangsa, bukan pemain pengganti yang hanya muncul saat ada pandemi.

Ketiga, kita harus ciptakan lingkungan kerja yang manusiawi. Jangan lagi dokter disuruh kerja 36 jam nonstop, sambil harus input rekam medis digital, print surat rujukan, ngejawab WA keluarga pasien, sambil ikut seminar daring demi SKP. Ini bukan cuma bikin burnout, tapi bisa bikin trauma. Kita harus pangkas birokrasi, permudah akses pelatihan, dan kasih ruang berkembang. Jangan cuma waktu pandemi semua bilang “pahlawan tanpa tanda jasa”, eh pas pandemi reda malah jasa dokternya dikurangi.

Nah, sekarang kita masuk ke wilayah yang paling sering dibicarakan diam-diam tapi sangat nyata: fenomena dokter alih profesi ke bidang kecantikan. Kenapa? Karena ini cabang ilmu kedokteran yang tidak tersentuh BPJS. Artinya? Uang masuk dari pasien langsung ke dompet dokter. Gak ribet hitung klaim, gak pakai revisi SEP, gak ada sistem kuota, gak dibayar tiga bulan kemudian. Justru dibayar sebelum disuntik. Hasilnya? Dokter yang awalnya pegang stetoskop, sekarang pegang syringe botox dan filler. Yang dulunya sibuk diagnosis pneumonia, sekarang sibuk bikin bentuk hidung jadi Korea Selatan edisi limited.

Ini bukan salah dokternya. Ini reaksi logis dari sistem. Karena dengan semakin banyaknya pasien BPJS dan jumlah dokter yang terbatas, maka beban kerja makin tinggi, tapi jasa medis tidak ikut naik. Bahkan banyak dokter yang bilang, “Pasiennya nambah, pendapatan tetap. Habis waktu, habis tenaga, habis semangat.”

Apalagi kalau jadi dokter umum di puskesmas pinggir kota, antrean bisa sampai 200 orang per hari. Dapat jasa medis? 1,5 juta sebulan. Itu pun dipotong pajak. Sementara di sebelah, klinik estetika bisa narik 2 juta dalam dua jam, cuma dengan suntik glowing-glowing dikit. Nah lho?

Keempat, pemerintah harus investasi besar-besaran dalam fasilitas kesehatan primer. Jangan semua berlomba bikin rumah sakit tinggi bertingkat, tapi puskesmasnya bocor kalau hujan. Karena kesehatan masyarakat tidak dimulai dari ruang operasi, tapi dari ruang tunggu di puskesmas. Fasilitas primer harus kuat, nyaman, dan siap tangani masalah sebelum jadi kronis. Jangan nunggu jantung bocor dulu baru ke spesialis, padahal bisa dicegah kalau tekanan darahnya dicek rutin sejak awal.

Kelima, dorong riset dan inovasi dalam dunia kedokteran Indonesia. Kalau semua dokter kita merasa harus ke luar negeri buat berkembang, lama-lama kita cuma jadi pasar—bukan produsen ilmu. Buatlah beasiswa, inkubator startup kesehatan, dan sistem publikasi nasional yang mendukung. Siapa tahu, dari Bandung atau Makassar muncul teknologi jantung buatan atau AI untuk deteksi dini stroke. Asal jangan semua R&D dibiayai dari YouTube monetisasi konten edukasi medis aja.

Terakhir, kembalikan kepercayaan rakyat pada sistem layanan kesehatan nasional. Ini PR besar. Karena banyak pasien merasa “gak didengar” di fasilitas umum. Keluhannya disepelekan, diperiksa tergesa-gesa, dikasih obat template. Padahal kalau mereka merasa dihargai, dilayani dengan empati dan waktu, mereka tidak akan berobat ke Penang hanya untuk medical check-up.

Kalau kita bisa melakukan semua ini, maka kita tak cuma jadi negara dengan jumlah dokter yang banyak, tapi juga negara yang dicintai oleh dokter-dokternya sendiri. Kita bisa punya sistem yang bukan cuma canggih di atas kertas, tapi hangat dan manusiawi dalam kenyataan.

Mari kita bangun ekosistem kesehatan yang bukan hanya keren di brosur, tapi juga nyaman di hati. Supaya suatu hari nanti, warga Malaysia pun rela antre di Soekarno-Hatta, demi periksa kesehatan di Indonesia. Dan kita akan sambut mereka dengan senyum hangat, sambil berkata, “Selamat datang di Indonesia, tempat dokter betah dan pasien merasa dipedulikan.”

Artikel ini dikutip dari timeline Facebook dr. Erta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here