Walid Nak Dewi, Boleh?

walid bidaah
Mirza Ferdian. Foto: Dok. MF.

Walid Muhammad yang diperankan oleh Faizal Husein dalam series Bidaah, telah menjadi perhatian warga Indonesia dan Malaysia. Muncul berbagai tanggapan terkait konten series yang tayang di Viu tersebut. Jumlah penontonnya pun membludak, mencapai 2 miliar lebih.

“Walid nak Dewi, boleh?” merupakan salah satu kalimat paling fenomenal dalam series Bidaah, saat sang pemimpin sekte Jihad Ummah, mencoba melakukan hal tak senonoh terhadap Dewi, seorang santriwati di dalam jamaah tersebut. Anggukan kepala Dewi yang sangat terkagum-kagum kepada sosok Walid, membuat pria itu tersenyum bak serigala mendapatkan ayam.

Baca: Fenomena Walid Dalam Series Bidaah Banyak di Aceh

Belakangan ini, serial Bidaah produksi sineas Malaysia ramai menjadi perbincangan di Indonesia. Drama web tersebut tak hanya menegangkan, tapi juga mencerminkan kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat. Bukan sekadar fiksi, namun potret nyata yang membuka mata banyak orang.

Kepopuleran series Bidaah kian meningkat, baik melalui tayangan utuh maupun potongan-potongan pendek di media sosial seperti Instagram dan TikTok. Sayangnya, yang sering viral justru bagian-bagian sensasional dan gelapnya saja. Padahal, jika disimak secara menyeluruh, drama web ini mengandung pesan penting tentang bagaimana seseorang yang sempat terseret dalam praktik menyimpang akhirnya sadar, mengungkap kebenaran, dan berusaha memperbaikinya.

Tak dapat dipungkiri, Bidaah adalah tamparan keras, kritik sosial yang menyentil para tokoh masyarakat terutama mereka yang berasal dari lingkungan pendidikan dan keagamaan. Betapa ironisnya ketika profesi yang seharusnya menjadi pilar moral justru tercoreng karena ulah segelintir oknumnya. Tokoh agama, guru, bahkan dokter, yang semestinya menjadi teladan dan penjaga nilai-nilai luhur, justru terlibat dalam perilaku tercela.

Kita semua sepakat tidak ada tempat bagi predator seksual yang bersembunyi di balik profesi-profesi mulia seperti guru, dosen, dokter, atau pengacara. Oleh karena itu, penting bagi kita semua, orang tua, tokoh masyarakat, dan pemangku kebijakan untuk waspada dan lebih peduli terhadap lingkungan sekitar, agar ajaran-ajaran menyimpang tidak tumbuh subur.

Melihat maraknya kasus seperti yang tergambar dalam film tersebut, pemerintah melalui Kejaksaan Republik Indonesia menetapkan Peraturan Nomor 5 Tahun 2019 tentang Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan dalam Masyarakat (PAKEM). Tim ini bertugas memantau dan mengawasi kelompok-kelompok yang berpotensi menyimpang atau bahkan mengancam negara atas nama agama.

Memang, banyak organisasi yang menjadikan simbol agama sebagai kedok untuk menarik anggota. Namun praktik di dalamnya justru jauh dari nilai-nilai agama, bahkan ada yang menyusupkan ideologi kekerasan dan radikalisme.

Sebagai masyarakat yang cerdas, kita harus menyikapi kritik sosial ini secara arif dan bijak, sesuai dengan nilai-nilai yang selama ini kita pelajari di pengajian dan majelis ilmu. Tidak perlu reaktif atau “kebakaran jenggot”. Yang dibutuhkan adalah aksi nyata menunjukkan bahwa di lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya di Aceh, tidak terjadi hal-hal menyimpang sebagaimana yang digambarkan dalam film tersebut. Justru kita harus menjaga marwah para pimpinan dan lembaganya.

Kita juga tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan bahwa masih banyak tokoh agama yang berjuang mempertahankan pendidikan di dayah-dayah dengan segala keterbatasan. Banyak guru yang tetap mengabdi meski menerima upah seadanya. Dokter yang rela bertugas jauh dari keluarga demi menyelamatkan nyawa. Pengacara yang membela keadilan tanpa pamrih. Mereka adalah wajah-wajah kemuliaan profesi yang sesungguhnya.

Maka jika terjadi kasus, jangan langsung menyudutkan profesinya atau lembaganya. Hakimi individunya. Karena belum tentu semua tudingan kita benar adanya.

Semoga Bidaah mampu menjadi salah satu pelita bagi kita, bahwa predator seksual dan penyimpangan Islam, seperti Walid dalam series tersebut, bukan sesuatu yang baru. Walid-walid demikian telah begitu banyak memanfaatkan agama untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan cara-cara yang menyimpang.

Dengan dalih ketaatan terhadap guru, walid-walid itu memanfaatkan situasi untuk mengeksploitasi pengikutnya. Semoga ruang mawas terhadap lingkungan semakin terbentuk di dalam jiwa kita.

Pejamkan mata, Bayangkan wajah Walid!

Penulis: Mirza Ferdian. Peminat kajian sosio kultural.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here