“Uzbekistan merupakan lawan terberat bagi Indonesia: melebihi Australia dan Korea Selatan. Dari segala aspek Indonesia kalah, baik dalam taktik, fisik, level individu, dan penguasaan pertandingan.”
Kekalahan yang tidak mengenakkan untuk Indonesia. Diawali dengan dibatalkannya gol Ferari karena VAR menyatakan Sananta berada dalam posisi offside. Lalu, Rizky Ridho yang selama turnamen bermain dengan sempurna mendapat kartu merah — juga karena izin dari VAR. Terakhir, gol bunuh diri Pratama Arhan yang menggandakan kemenganan Uzbekistan atas Indonesia.
Hasil demikian membuat Timnas Indonesia U-23 harus menunda keberangkatannya ke Paris akhir Juni nanti. Indonesia harus memastikan meraih peringkat ketiga, baik melawan Jepang atau Irak beberapa hari ke depannya. Kalaupun masih kalah, ditunggu negara dari Afrika, Guinea.
Jika kita menonton secara detail pertandingan semifinal pertama ini, jelas terlihat bahwa selama turnamen, Uzbekistan merupakan lawan terberat bagi Indonesia: melebihi Australia dan Korea Selatan. Dari segala aspek Indonesia kalah, baik dalam taktik, fisik, level individu, dan penguasaan pertandingan.
Lupakan gol bunuh diri Arhan itu. Saya malah bisa memahami mengapa Arhan panik sedemikian rupa sehingga bola yang seharusnya bisa ditangkap oleh Ernando, malah ditendangnya ke gawang sendiri. Tentu saja, alasan sederhananya, seperti pemain lainnya, dia frustasi dan kehilangan akal berhadapan dengan pemain-pemain Uzbekistan yang dominan. Kalaupun gol bunuh diri Arhan tidak terjadi, bagaimana kita menjelaskan tiga peluang Uzbekistan yang mengenai tiang gawang Indonesia.
Sejak awal memang terlihat Indonesia tidak bisa berbuat banyak di depan pemain Uzbekistan. Akui saja bahwa kita memang berada satu level di bawah mereka. Bahkan kekalahan yang “hanya kosong dua” itu agak melegakan, mengingat dengan kondisi yang sama Arab Saudi juag harus kebobolan dua gol. Bedanya, di sini Indonesia lebih hebat, Arab Saudi tidak dibatalkan golnya oleh VAR itu.
VAR memang menjengkelkan. Ada kalahnya kita berterima kasih kepada VAR, tetapi ada kalanya kita meluapkan kemarahan kepada VAR. Namun, konteks VAR dalam melawan Uzbekitan berbeda ketika melawan Qatar di awal turnamen. VAR di hadapan pemain Uzbekistan seperti palu godam yang tinggal waktu untuk diayunkan kepada kepala pemain-pemain Indonesia yang kalah segalanya dari Uzbekistan.
Tentu saja, kita memiliki banyak analisa mengenai VAR, yang sejak awal saya selalu mengatakan tidaklah imun dari subjektif manusia yang mengontrol alat itu. Belum lagi bias angle yang dimiliki oleh VAR.
Apakah Sananta berada dalam posisi offside? Secara pandangan kalangan awam, kita akan mengatakan tidak ketika posisi Sananta diambil dari atas. Tetapi, situasi berubah ketika kamera yang ditentukan oleh wasit di dalam ruangan VAR memindahkan angle-nya, kaki kanan Sananta terlihat melebihi kaki pemain Uzbekistan satu atau dua senti.
Begitu pula yang dialami oleh Rizky Ridho. Ketika Ridho berteriak terkejut melihat wasit asal Cina itu memberinya kartu merah, tentulah kita tahu bahwa tayangan VAR yang disaksikan oleh Shen Yinhao berbeda dengan kejadian riil. Ayunan kaki Ridho, jika kita lihat dalam tayangan lambat bukan dalam angle VAR, terlihat tidak brutal. Tetapi, ketika angle kamera VAR menampilkan berulang-ulang ayunan kaki Ridho ke Jasurbek Jaloliddinov, kepala wasit pun menjadi mendidih. Dari keadaan psikologi demikianlah kartu merah untuk Rizki Ridho dikeluarkan.
Sekarang, Indonesia menatap pertandingan perebutan juara ketiga, sekaligus tiket otomasti ke Paris tanpa kapten kesebelasan. Kehilangan Rizky Ridho tentu sangat merugikan. Apakah Komang dan Ferari mampu menutup lubang yang ditinggalkan oleh Ridho nanti. Bukankah salah satu masalah dari tim yang dibawa Shin Tae-Yong ke Qatar kali ini adalah tim yang tidak memilikki kedalaman.
Seperti yang kita saksikan pada pertandingan tadi. Ketika Marcelino, Witan, dan Pratama Arhan kehilangan cara untuk membongkar pertahanan White Wolves, STY tidak memiliki rencana alternatif. Bahkan, ketika Sananta digantikan oleh Kelly Sroyer, seakan-akan Indonesia bermain dengan sepuluh orang saja.
Walau demikian, saya tetap meyakini, Indonesia akan melangkah ke Olimpiade Paris. Kini, pintu yang tersisa tinggal dua. Semoga, kita tidak sampai ke pintu terakhir pada tanggal 9 Mei 2024 nanti. Kalaupun itu juga harus terjadi, sepertinya sepak bola Indonesia memang dituntut oleh sejarah untuk berada dalam fase yang paling kritis dan dramatis. Satu fase yang harus dilewati jika hendak menjadi bangsa sepak bola yang besar.
Catatan redaksi: Tulisan ini telah tayang di halaman Facebook Alkaf. Ditayangkan kembali dengan perubahan judul.