Uswatun Hasanah, Lumpuh dan Tertangkup Miskin di Simpang Mamplam

Uswatun Hasanah (14) dalam gendongan ibunya. Mereka hidup serba kekurangan di Gampong Meunasah Mamplam, kecamatan Simpang Mamplam, Kabupaten Bireuen. Foto diabadikan pada Minggu (2/10/2022) oleh Fakrurrazi untuk Komparatif.id.

Komparatif.ID, Bireuen—Sudah jatuh tertimpa tangga. Demikianlah nasib yang dialami oleh Uswatun Hasanah (14) putri dari pasangan M. Nur dan Mursyidah, warga Gampong Meunasah Mamplam, Kecamatan Simpang Mamplam, Bireuen.

M. Nur (60) pada Minggu (2/10/2022) berkisah bahwa sang puteri telah menderita lumpuh sejak usia empat bulan. Saat itu, sang cahaya mata mengalami kejang-kejang, dan berangsur-angsur lumpuh.

Kelumpuhan itu dialami mulai dari pinggang, sehingga sang dara tidak bisa duduk sama sekali. Sejak bayi hingga berusia 14 tahun, dia hanya bisa berbaring. Sehari-hari menghabiskan umurnya di atas ayunan yang dibuat dari kain sarung dan besi ayunan yang banyak dijual di pasar.

Baca juga: Tawa Haikal & Haru Nuriah Saat Terima Kursi Roda Hadiah Dr. Safrizal

Sampai saat ini, Uswatun Hasanah tidak dapat duduk. Semua aktivitasnya perlu bantuan. Termasuk untuk buang hajat, dia masih harus dipasangkan diapers. Bila tidak ada uang, Mursyidah (52) memasangkan handuk di selangkangan sang anak, kemudian dililitkan ke pinggang seperti pembalut.

Penggunaan handuk sebagai pengganti diapers sangat sering dilakukan, karena M. Nur tidak memiliki uang yang cukup. Sehari-hari dia mengandalkan bantuan dari Murdani (24) putra sulungnya yang bekerja sebagai kernet truk antar pulau yang menempuh jalur Aceh-Jawa.

Uswatun Hasanah (kanan) saat didudukkan di kursi plastik, Minggu (2//10/2022). Foto: Fakrurrazi untuk Komparatif.id.
Uswatun Hasanah (kanan) saat didudukkan di kursi plastik, Minggu (2//10/2022). Foto: Fakrurrazi untuk Komparatif.id.

M. Nur sempat berpikir membelikan kursi roda untuk Uswatun Hasanah. Tapi dia dapat uang dari mana? Mengharapkan pada Murdani? Puteranya itu tentu tidak punya uang banyak. Konon lagi kursi roda yang dapat dipergunakan oleh Uswatun bukan yang biasa. Dia butuh yang khusus.

Murdani pulang ke rumah dua minggu sekali; menjenguk keluarga, sekaligus beristirahat. Sering pula dia tidak dapat pulang karena ada kendala di jalan.

M. Nur mengatakan Murdani dulu sempat bersekolah, namun harus drop out ketika SMA, karena sang ayah tidak dapat lagi diandalkan sebagai tulang punggung keluarga.

“Saya menderita asam urat dan rematik telah menguasai seluruh tubuh saya. Dulu saya bekerja sebagai buruh tani. Tapi dengan kondisi tubuh yang sakit-sakitan, akhirnya Murdani mundur dari mimpinya. Ia menggantikan saya,” sebut M. Nur.

Demikian juga Mursyidah. Dia saat ini mengidap gula. Badannya sering sekali lelah, tapi ia tidak bisa merebahkan punggung. Bila ia “menyerah” maka siapa yang akan mengurus Uswatun Hasanah?

Dengan hanya berharap pada dukungan Murdani, tentu M. Nur tidak dapat berbuat lebih banyak. Ia bersyukur bahwa sang putera masih bersedia pontang-panting bekerja siang dan malam demi keluarga.

Cita-cita M. Nur Untuk Adik Uswatun Hasanah

Tapi, seiring waktu anak-anaknya pun semakin besar. Kini si bungsu yang bernama Naqiatul Hilma (13) sedang menempuh pendidikan di salah satu lembaga pendidikan agama di Simpang Mamplam. Naqiatul mondok di sana.

Meskipun semangat Naqiatul menggebu untuk menuntut ilmu, tapi ada masalah yang juga teramat penting. Ia sudah tidak membayar SPP selama enam bulan. Per bulan Rp50 ribu. Tidak banyak bagi orang berduit, tapi sangat besar bagi M. Nur dalam kondisi seperti saat ini.

M. Nur (60) orangtua Uswatun Hasanah, Minggu (2/10/2022) ketika menceritakan kehidupan mereka. Foto: Fakrurrazi untuk Komparatif.id.

Seringkali ketika menjenguk Naqiatul, M. Nur mengayuh sepeda. Sering pula berjalan kaki menuju tempat sang anak belajar yang jaraknya satu kilometer.

“Satu-satunya anak yang masih menempuh pendidikan hanya Naqiatul. Semoga ada keajaiban agar puteri bungsu saya yang satu itu mampu bertahan sampai titik akhir, saya takt ahu sampai di mana,” kata M. Nur.

Sembari bercerita, M. Nur menatap ke langit-langit rumah. Atap yang dibuat dari daun rumbia telah banyak yang berlubang. Untuk menutup lubang, ia menggunakan kantong plastic bekas detergen bubuk.

Tak ada perabotan mewah di rumah yang layak disebut gubuk itu. Kepapaan, ketidakberdayaan, serta ketidakmandirian terpampang jelas ketika melihatnya dari jarak dekat.

Apa cita-cita M. Nur? Salah satunya ia ingin Naqiatul mendapatkan kesempatan belajar hingga setinggi-tingginya. Naqiatul merupakan satu-satunya cahaya mata mereka yang masih menempuh studi.

“Saya berharap dia betah di asrama dengan segala kekurangan yang kami miliki. Sejauh ini Naqiatul sangat memahami kondisi ayah dan ibunya,” kata M. Nur.

Tulisan ini hasil Kerjasama Komparatif.id dengan Komunitas Jurnalis Warga Bireuen yang dibina oleh Murni M. Nasir.
Penyumbang data: Fakrurrazi
Editor: Fuad Saputra

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here