Komparatif.ID, Bireuen— Jumlah pengungsi luar negeri di Indonesia mencapai 12 ribu jiwa. selain Rohingya, terdapat juga pengungsi luar negeri dari Afghanistan, Yaman, Suriah, dan dari sejumlah negara di Afrika.
Dalam kuliah umum bertajuk “Tata Kelola Penanganan Pengungsi di Indonesia: Tantangan dan Hambatan” yang digelar Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Almuslim (Umuslim), Kamis (4/1/2024) Nino Viartasiwi yang merupakan akademisi Hubungan Internasional di President University, Bekasi, menyampaikan pengungsi yang mencari selamat ke Indonesia, berasal dari negara-negara yang sedang dilanda konflik.
Di hadapan puluhan mahasiswa yang hadir di Ruang Seminar Ampon Chiek Peusangan, Umuslim, Nino Viartasiwi yang juga peneliti pada organisasi internasional Resilience Development Initiative-Urban Refugee Research Group (RDI-UREF), menerangkan 1.500 orang pengungsi Rohingya di Aceh, hanya 10 persen dari total pengungsi luar negeri yang telah berada di Indonesia.
Para pengungsi luar negeri tersebut ditempatkan di berbagai fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah Indonesia. Sedangkan pembiayaan penyelenggaraan layanan bagi pengungsi ditanggung oleh lembaga internasional seperti United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan International Organization for Migration (IOM).
Fasilitas penampungan ini tersebar di beragam kota di Indonesia
Lebih lanjut Nino Viartasiwi menerangkan, jumlah pengungsi luar negeri yang ada di Indonesia lebih sedikit dari yang telah berada di Malaysia dan Thailand. Saat ini Pemerintah Kerajaan Malaysia dan Kerajaan Thailand masing-masing telah menampung 150 ribu jiwa dan 500 ribu jiwa pengungsi.
“Pengungsi luar negeri tersebut datang dari berbagai negara. di Eropa pengungsi yang ditampung berasal dari negara berkonflik seperti Ukraina, Polandia, Jerman, dan Republik Ceko. Di Indonesia, Malaysia, dan Thailand, yang banyak datang dari Yaman, Suriah, Afghanistan, Rohingya dari Myanmar, dan dari sejumlah negara di Afrika,” sebut Nino Viartasiwi.
Baca juga: Bersikap Adil terhadap Imigran Rohingya
Pengungsi Luar Negeri Isu Internasional
Persoalan imigrasi dan pengungsi luar negeri merupakan isu internasional. perlu disikapi secara hati-hati. Perlu telaah lebih dalam karena menyangkut keamanan nasional, sekaligus kemanusiaan.
Meskipun Indonesia adalah wilayah transit para pengungsi internasional, Pemerintah Indonesia seharusnya juga memiliki kebijakan tata kelola tersendiri yang dapat dipakai sebagai rujukan pengelolaan pengungsi luar negeri.
Dalam kasus pengungsi Rohingya yang ada di Aceh, Nino menilai bahwa pemerintah sebaiknya memastikan adanya satu fasilitas penampungan sementara yang memadai. Ketersediaan penampungan sementara dengan tujuan tidak mengganggu aktifitas keseharian masyarakat lokal.
Nino Viartasiwi, menekankan pentingnya sikap kepastian Pemerintah Indonesia dalam hal tata kelola penanganan para pengungsi Rohingya di Aceh. Meskipun Indonesia tidak terikat pada Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang pengungsi internasional sehingga prinsip non-refoulement dapat diabaikan, akan tetapi prinsip kemanusiaan dalam isu pengungsi tetap tidak dapat diabaikan.
“Isu pengungsi luar negeri masuk dalam kategori jus cogens (peremptory norms), yaitu terdapat kewajiban negara untuk memberikan perlindungan kepada setiap individu yang berada didalam wilayah teritorialnya,” sebut Nino.
Indonesia juga meratifikasi Konvensi Internasional tentang HAM dan Hak Sipil melalui UU Nomor 5 Tahun 1998, UU Nomor 39 Tahun 1999 dan UU Nomor 12 Tahun 2005 yang menekankan penerapan prinsip perlindungan hak-hak fundamental manusia tanpa memandang suatu negara berstatus anggota konvensi internasional tentang pengungsi maupun bukan sebagai anggota.
UUD 1945 Pasal 28 G (2) telah mengamanatkan posisi setiap individu baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing memiliki kesetaraan hak terhadap nilai-nilai yang melekat pada diri manusia. Sehingga melekat kewajiban negara dalam memberikan perlindungan kepada setiap manusia tanpa melihat status kewarganegaraannya.
Perpres Nomor 125 Tahun 2016 sebagai amanat UU Nomor 37 Tahun 1999 telah menjadi rujukan bagi proses penanganan pengungsi internasional di Indonesia. Nino memberikan apresiasi. Tetapi belum cukup memadai karena tidak disertai dengan petunjuk teknis pelaksanaan yang lebih komprehensif.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Almuslim Shaummil Hadi,S.Sos.,M.A, yang bertindak sebagai pembicara pendamping, pada kesempatan yang sama menyebutkan Pemerintah Indonesia harus lebih tegas dalam penanganan pengungsi luar negeri.
Pemerintah harus memastikan pelaksanaan tahapan emergensi, dan post-emergensi. Termasuk dalam penanganan pengungsi Rohingya.
“Memastikan tahapan ini sangat penting dan menentukan bagaimana upaya pengelolaan yang lebih baik. Kita sebenarnya dapat belajar dari pengalaman penata kelolaan para penyintas bencana Tsunami 2004 lalu, yang pada mulanya juga sengkarut sebelum pemerintah menyusun struktur pelembagaan yang menjalankan mandat proses rehabilitasi dan rekonstruksi paska-tsunami,” sebutnya.
Demikian pula dalam hal penanganan pengungsi Rohingya yang ada di Aceh. Pemerintah Pusat setidaknya dapat membentuk lembaga khusus yang bertindak sebagai komando penanganan. Kelembagaan ini harus berkoordinasi secara efektif dengan lembaga internasional yang bertanggung jawab mengurusi pengungsi, supaya menemukan solusi jangka panjang.