Komparatif.ID, Banda Aceh— Aceh harus bersiap menghadapi tantangan besar dalam beberapa tahun ke depan seiring berkurangnya transfer dana dari Pemerintah Pusat mulai 2027. Dengan ruang fiskal yang semakin sempit, Pemerintah Aceh harus lebih kreatif dan inovatif dalam mendanai berbagai program pembangunan.
Usai habisnya Dana Otonomi Khusus (otsus), hilirisasi dan penggunaan pola creative financing seperti seperti penerbitan Sukuk Daerah atau skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dinilai jadi solusi potensial yang harus dioptimalkan.
Namun, tantangan terbesar Aceh adalah minimnya kontribusi investasi swasta dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Ketergantungan ekonomi Aceh pada belanja pemerintah melalui APBD dan konsumsi masyarakat harus segera dikurangi, mengingat keterbatasan anggaran dan daya beli masyarakat yang masih tertekan.
Hal itu dikemukakan pada talkshow Aceh Economic Updates 2025 yang digelar Bank Syariah Indonesia (BSI) Aceh yang bekerjasama dengan Televisi Republik Indonesia (TVRI) Aceh dan Radio Republik Indonesia (RRI) Aceh di Banda Aceh, Selasa (22/1/2025).
Pengamat ekonomi senior, Dr. Rustam Effendi menegaskan kekuatan ekonomi Aceh yang terletak pada sektor primer seperti pertanian, peternakan, dan perkebunan.
Baca juga: Ekonomi Aceh Tumbuh Pesat Berkat PON, Inflasi Terkendali di Batas Bawah
Ia mengingatkan dengan berkurangnya dana Otonomi Khusus (Otsus), Pemerintah Aceh harus mengundang lebih banyak investasi swasta dan memanfaatkan peran perbankan untuk mendukung pembiayaan dunia usaha.
Rustam juga menekankan pentingnya memperluas sumber pendanaan pembangunan daerah untuk menopang pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, Kepala Departemen Ilmu Ekonomi, Universitas Syiah Kuala (USK) Taufiq C. Dawood mendorong Pemerintah Aceh untuk meningkatkan penerimaan daerah dan memastikan efisiensi pengeluaran, terutama di tengah angka kemiskinan yang masih mencapai 12 persen.
Menurutnya, langkah-langkah strategis seperti ini sangat dibutuhkan untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi Aceh, terutama setelah berakhirnya Pekan Olahraga Nasional (PON) yang memberikan dampak besar pada aktivitas ekonomi daerah.
Meski dihadapkan berbagai tantangan, Chief Economist BSI Dr. Banjaran Surya Indrastomo optimis ekonomi Aceh tumbuh hingga 5 persen atau lebih pada 2025.
Ia menjelaskan proyeksi pertumbuhan ekonomi Aceh akan lebih baik dibandingkan beberapa provinsi di Sumatera, meskipun masih di bawah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan secara nasional.
Faktor-faktor seperti outlook harga energi yang positif, konsumsi rumah tangga yang membaik, serta turunnya BI Rate baru-baru ini menjadi angin segar bagi perekonomian Aceh.
Banjaran menyebutkan faktor-faktor seperti harga energi yang positif, perbaikan konsumsi rumah tangga, serta penurunan BI Rate yang baru-baru ini terjadi memberikan angin segar bagi perekonomian.
Banjaran juga menyoroti dampak positif dari stabilitas politik pasca pemilu serentak yang berlangsung aman. Stabilitas ini, menurutnya, menjadi fondasi penting untuk mendorong aktivitas dunia usaha yang sejalan dengan program prioritas pemerintah.
Salah satu contohnya adalah program Makan Bergizi Gratis yang bertujuan meningkatkan produktivitas sektor pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat, sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan bernilai tambah.
Ketiga ekonom sepakat bahwa hilirisasi komoditas primer merupakan langkah strategis untuk memperkuat ekonomi Aceh seiring berkurangnya transfer dari Pusat.
Proses industrialisasi tidak hanya meningkatkan nilai tambah produk, tetapi juga mendatangkan investasi baru dan membuka lapangan pekerjaan.