Tiur Tak Mau Disebut PSK

Tiur
Ilustrasi disitat dari Newsweek.com.

Tiur, sebut saja demikian, seorang pekerja seks komersial (PSK) di Banda Aceh. Bermula dari kemarahan kepada pacar, akhirnya ia memilih mengomersilkan tubuhnya.

Tiur (23) tidak pernah bercita-cita menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK). Sama seperti gadis-gadis lain di kotanya, ia bercita-cita menjadi perempuan karir dan kelak menjadi istri yang baik bagi suami, dan ibu yang menarik untuk anak-anaknya.

Setelah menamatkan pelajaran di sebuah SMA di Aceh Besar pada 2018, Tiur mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri di Banda Aceh. Perempuan itu lulus dan menyandang status mahasiswa.

Sejak SMA dia menjalin asmara dengan seorang pria muda yang membuatnya jatuh hati. Mereka menyembuhkan rasa kasmaran sembari berkeliling kota. Menikmati air kelapa muda. Pergi ke pantai, nongkrong di warung kopi ala kafe, serta aktivitas umum lainnya.

Baca: Perempuan Muda di Bisnis Esek-esek di Serambi Mekkah

Baca: Boh Limeng, Menjadi Pelacur Karena Gaya Hidup

Semakin lama hubungan mereka bertambah masyuk. Tenggelam dalam gejolak asmara. Mulai dari pegang-pegangan tangan, kemudian pada suatu ketika, terjadilah peristiwa itu. Mereka berhasil digoda oleh Al-A’war untuk menikmati hubungan yang belum boleh dilakukan oleh pasangan yang belum terikat pernikahan. Mereka disalup cover cinta oleh Al-A’war yang dalam komunitas persetanan diberikan tugas membujuk manusia untuk melakukan tindak asusila.

Tiur dan Tekwan menyesal telah melakukan tindak asusila yang sangat mereka benci selama ini. Tapi nasi telah menjadi bubur. Dari sekali, bertambah sekali lagi. Sialnya pada suatu ketika, Tekwan mengakhiri hubungan mereka. Tekwan tidak punya rencana lebih jauh membangun hubungan dengan Tiur.

Bagai terkena palu Mjolnir miliknya Thor di serial Avenger, Tiur kehilangan arah. Dia marah, tapi tak berani berteriak. Ia ingin menuntut keadilan, tapi mahkamah cinta tidak pernah ada di dunia. Semua derita ditanggungnya sendiri. Dia tidak berani bercerita kepada siapapun. Perempuan itu tahu bila dunia tidak akan adil padanya. Bila berteriak menuntut Tekwan, pasti orang-orang hanya menyalahkan dirinya. Dia akan dibully dan dijauhi. Terlalu banyak kasus perempuan muda memilih mengakhiri perjalanan hidupnya di dunia akibat rundungan sosial.

Relung hatinya teramat sakit diperlakukan sangat buruk oleh lelaki yang sangat ia sayangi. Tiur yang telah memberikan segalanya kepada sang pujaan hati, justru ditinggalkan begitu saja. “Bilakah aku teramat hina, bukankah ia juga hina dina? Bilakah apa yang kuberikan menjadi tokok ukur keburukanku, bukankah ia juga tidak lebih baik dariku? Lalu mengapa dia menghukumku dengan hukuman yang teramat keji?” demikian batin Tiur bersuara.

Kesumat membuatnya tidak lagi percaya tentang kesungguhan ketulusan. Ia yang tidak punya pilihan, akhirnya menuntut balas. Siapa yang ingin menjamah dirinya harus membayar dengan harga yang pantas.

Mulailah dia berpetualang dalam gelapnya malam. Dalam Lorong-lorong sunyi batin yang terus menjerit, dia mengonversikan apa yang ia berikan dengan uang yang sesuai.

Bergerak tanpa makelar, Tiur mulai menukar semua apa yang dia berikan kepada lelaki dengan uang. Meski demikian, dia tidak ingin disebut wanita tuna Susila.

Menurutnya ia tidak pantas mendapatkan cap negatif tersebut. Ia mengumpamakan apa yang dilakukannya seperti bisnis lain. Ada barang ada uang. Ada jasa yang diberi, ada jerih yang wajib didapat.

Dengan memanfaatkan salah satu jenis media sosial, Tiur berhasil menjaring beberapa pria menjadi langganan tetapnya. Di antara komitmen yang dibangun, tidak ada foto ataupun video ketika mereka sedang “berbisnis”. Kala dia sedang melakukan pekerjaannya ruangan harus gelap. Tidak boleh ada lampu yang dapat membuat dirinya terlihat.

Tiur juga tidak mau melakukan pekerjaan di sembarang tempat. Harus di hotel tertentu. Setiap jasa yang diberikan harus dibayar minimal Rp700.000. Harga minimal itu tidak pernah naik. Karena konsumennya mengaku tidak punya banyak uang. Benar-benar  Biaya penginapan ditanggung konsumen.

Konsumennya yang terbatas itu dari kalangan kelas menengah. Mereka yang datang kepadanya sudah beristri, tapi merasa kurang dengan perempuan yang telah dinikahi. Tiur tahu bila lelaki-lelaki itu hanya mencari alasan supaya dapat berbuat serong. Mereka adalah penghianat yang tidak mau berterus terang. Tapi apa pedulinya? Toh ia hanya menerima bayaran sesuai jasa yang diberikan. Tidak ada fasilitas lainnya. Tak sekalipun dia merengek kepada konsumen untuk diberikan lebih. “Aku bukan gundik mereka. Bukan simpanan mereka,” demikian komitmen yang ia bangun.

Saat ini dia punya kekasih yang sesekali juga berhasil membawanya ke tindakan lebih jauh. Akankah kekasihnya akan menikahinya suatu hari kelak? Tiur tidak tahu. Bilakah kelak lelaki itu mengetahui apa yang dia lakukan, mungkin laki-laki itu akan pergi. Bila itu terjadi, perempuan berumur 25 tahun itu tidak akan kecewa. Toh lelaki sudah kadung negatif di matanya. Meski tidak menjamak, perempuan manis berkulit sawo matang itu sudah sampai pada keyakinan, siapapun lelaki yang bersedia menjamahnya sebelum waktunya tiba, dia bukanlah lelaki yang baik. Jangan harap kesetiaan pada kaum monyet. Bila kelak ada yang berkomitmen, maka ia pantas bersyukur.

Kapankah ia akan berhenti? Sampai kapan ia akan terus kalah melawan bisikan Al-A’war? Entahlah. Semoga suatu saat—lebih cepat lebih baik—ia berhenti. Tidak ada manusia yang sempurna. Semua punya kegelapan masing-masing.

Targetnya saat ini secepat mungkin menyelesaikan studinya yang sudah terbengkalai. Ia ingin menjadi sarjana, seperti teman-temannya yang telah lebih dulu lulus.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here