Teungku & Santri Jangan Gegabah Bela Qanun LKS

Miswar Ibrahim Njong, mengajak teungku dayah dan santri agar tidak ikut membela Qanun LKS yang sedari awal sudah bermasalah.
Miswar Ibrahim Njong, mengajak teungku dayah dan santri agar tidak ikut membela Qanun LKS yang sedari awal sudah bermasalah.

Teungku-teungku dayah sebaiknya perlu hati-hati dalam memberikan dukungan terhadap Qanun Lembaga Keuangan Syariah (Qanun LKS) atau konsep perbankan di Aceh yang katanya syariah itu. Aktivis-aktivis dayah juga tidak gegabah menyerang secara sporadis kritik-kritik masyarakat terhadap berbagai masalah yang timbul akibat pemberlakuan Qanun ini.

Mengapa? Pertama, ini menyangkut persoalan mendasar bahwa tidak ada satu pun ayat Alquran maupun hadits yang mengatur secara pasti terkait konsep perbankan. Bahkan dalam khazanah turats yang menjadi akar dalam tradisi keilmuan di dayah, juga tidak ditemukan pengaturan tentang konsep perbankan atau sistem ekonomi seperti inflasi, deflasi, kebijakan fiskal, monetarisme, dll. Artinya sistem ekonomi Islam yang berkembang saat ini merupakan hasil ijtihad, ijma’ atau qiyas, atau hasil penalaran para ulama kontemporer sebagai respon Islam atas persoalan ekonomi modern.

Jadi Qanun LKS ini merupakan hasil ijtihad, atau bisa disebut juga sebagai produk penalaran manusia yang menggunakan metodologi ilmiah dalam menggali hukum, dan diformalisasikan dalam qanun yang kemudian dianggap sebagai syariat. Maka sebagaimana lazimnya hasil ijtihad, ia juga memiliki dua kemungkinan, salah atau benar. Maka kebenaran yang diperoleh melalui hasil ijtihad disebut juga sebagai kebenaran yang relatif. Kebenaran jenis ini bisa berubah dan bermacam-macam, tergantung tempat dan waktu, seperti beragamnya mazhab-mazhab fiqh di dalam Islam.

Persoalannya adalah seberapa kokoh metodologi yang digunakan oleh pihak yang menyusun naskah akademik qanun ini? Apakah sudah pernah diuji? Apakah rumusan naskah akademik ini juga sudah pernah dibahas dalam lembaga penelitian dayah-dayah yang telah cukup berkembang saat ini? Mengingat konsekuensi yang diakibatkan oleh qanun ini cukup menentukan dan berdampak serius bagi nasib Aceh.

Atau jangan-jangan justru naskah akademik ini bukan hasil ijtihad para ulama Aceh, akan tetapi hanyalah re-afirmasi atau pengulangan-pengulangan terhadap teks-teks yang sudah dirumuskan oleh beberapa ekonom Islam di luar Aceh, kemudian diambil dan diterapkan begitu saja dalam qanun ini. Jika demikian, pantas saja, unsur lokalitas dan pertimbangan kearifan Aceh dalam qanun ini nyaris tidak ada seperti misalnya nihilnya konsep ekonomi yang sudah ada dalam sistem adat Aceh.

Kedua, penyusunan naskah akademik Qanun LKS ini sama sekali tidak melibatkan ulama dayah Aceh. Memang benar, bahwa yang mengeluarkan fatwa agar Pemerintah Aceh menyusun suatu regulasi ekonomi Syariah adalah MPU. Akan tetapi MPU hanya mengeluarkan fatwa, namun kemudian yang membidani, menyusun dan memformulasikan kerangka-kerangka keuangan syariah dalam naskah akademik qanun ini sama sekali tidak melibatkan ulama dayah yang representatif.

Hal ini pernah disampaikan langsung oleh ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Tu Muhammad Yusuf atau Tu Sop sendiri saat mengisi pengajian di kantor partai PA awal bulan ini. Bahkan pada tahun 2017, dalam dua kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang dilakukan oleh DPRA, tak sekali pun secara spesifik ulama dayah Aceh diajak.

Jadi sebenarnya siapa yang mencari rempah, meracik bumbu dan menakar kadar asam-asin atau pedas qanun ini di dapur kajian akademik? Mengapa ulama dayah Aceh hanya dijadikan sekadar pintu masuk atau raket bak pisang galak bak rangkileh, tanpa pelibatan lebih jauh dalam proses menakar dan memasak kajian akademik yang menjadi ruh qanun ini? Dan siapa yang paling diuntungkan dari lahirnya qanun Aceh? Dan pertanyaan penting lainnya adalah qanun ini sesungguhnya hasil ijtihad siapa?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here