Teuku Nyak Makam, Hidup Mulia dan Mati Syahid

Teuku Nyak Makam
Teuku Nyak Makam. Sketsa wajahnya diambil dari buku Perang Kolonial Belanda di Aceh.

Teuku Nyak Makam meninggal pada Rabu, 22 Juli 1896. Tubuh Panglima Teuku Nyak Makam dicincang oleh serdadu Belanda yang menyimpan kesumat terhadap sang kesuma Aceh Darussalam. Persembunyiannya di Lamnga, Aceh Besar diketahui Belanda berkat informasi dari seorang pengkhianat.

Belanda sudah lama mencari keberadaan Teuku Nyak Makam yang memegang dua jabatan penting di Kerajaan Aceh Darussalam yakni Penegak Kedaulatan Aceh di Timur (mudabbirusyarqiah) dan Panglima Mandala di Aceh Timur, Langkat dan Deli. Untuk melaksanakan tugas besar tersebut, Sultan Aceh yang pada 1885 sudah bermarkas di Keumala, Pidie, menunjuk Teuku Nyak Muhammad dari Peureulak sebagai wakil Teuku Nyak Makam.

Di mata Belanda, Teuku Nyak Makam merupakan musuh besar yang harus dihabisi. Ia bagaikan duri dalam daging. Seperti virus Covid-19 bila ditamsilkan dengan tamsilan saat ini. Kiprahnya dalam memerangi Belanda sudah tersohor kemana-mana. Tak ada kompromi, baginya Belanda merupakan kafir harbi yang harus diusir dari Serambi Mekkah.

Teuku Nyak Makam lahir di Lamnga pada tahun 1838. Ayahnya bernama Teuku Abbas Ujong Aron bin Teuku Chiek di Lambaro, Mukim XXVI. Secara nasab mereka seluruhnya adalah para mujahid Islam yang berjuang untuk Aceh Darussalam.

Baca: Pesona Hikayat Prang Sabi

Sebagai anak bangsawan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman, Teuku Nyak Makam mendapatkan pendidikan agama yang sangat baik. Dia pernah mondok Dayah Teuku Chiek Abbas, kemudian ke Dayah Teungku Lambada, di Lambada Gigieng.

Ia juga berlatih pencak silat Aceh, pendidikan ilmu sosial politik, serta latihan perang yang ditempa oleh Panglima Paduka Sinara serta Tuanku Hasyim Banta Muda.

Ketika berusia 16 tahun, tatkala semua bekal merantaunya dianggap sudah mumpuni, Nyak Makam diberangkatkan ke Penang untuk menambah pengalaman. Di Pulau Penang ada Teuku Paya yang merupakan Ketua Panitia Delapan yang juga keluarga dekat ayahnya.

Di Pulau Penang Teuku Nyak Makam menempa diri lebih baik. Ia belajar bahasa asing termasuk bahasa Inggris. Setelah sekian waktu di Pulau Penang, ia menyeberang Selat Malaka, kembali ke Aceh.

Setiabanya ia ke Aceh, dia diangkat sebagai asisten Tuanku Hasyim Muda di Sumatra Timur. Pada tahun 1858 Sultan Aceh Alaidin Ibrahim Mansyursyah telah menetapkan Tuanku Hasyim sebagai Timbalan Kesultanan Aceh untuk wilayah Aceh Timur, Langkat, Deli Serdang, yang saat itu wilayah Aceh di kawasan timur sedang diserang oleh Belanda.

Perang berkobar sangat dahsyat, akan tetapi satu persatu daerah kekuasan Aceh jatuh ke tangan Belanda. Sumatra Timur takluk, tapi kegigihan para pejuang Aceh dicatat dalam sejarah.

Berkat jasa dan ketulusannya berperang di jalan Allah membela panji Aceh Darussalam, akhirnya Sultan mengangkat Teuku Nyak Makam sebagai Panglima Perang Aceh Timur, Langkat dan Deli Serdang.

Baca: Menguak Tabir Pembubaran Provinsi Aceh (1)

Sebagai seorang panglima ia sangat cekatan, lihai dan bergerak cepat. Penguasaan medan tempur dan semangat berkobar-kobar membuat ia sangat disegani Belanda, sekaligus sangat dibenci. Belanda benar-benar menginginkan kematian sang panglima.

Gara-gara Nyak Makam, pada tahun 1865 Belanda tidak berani memperluas wilayah jajahannya di Seruway, Tamiang. Aksi mereka terpaksa diurungkan karena ketakutan mendengar kebringasan pasukan tempur Aceh yang lincah dan berani mati.

Teuku Nyak Makam Dipancung Belanda

Bertempur dari satu palagan ke palagan lainnya, membuat ia sangat lelah. Perlahan, pertahanan tubuhnya menurun. Ia sakit, namun tak mau undur diri dari medan laga.

Suatu ketika, ia secara perlahan menarik diri pulang ke Aceh Besar. Kesehatannya sudah tidak memungkinkan dirinya bertempur. Sembari terus berobat di jalan, dari Tamiang menuju Aceh, ia mengunjungi pusat-pusat komando yang pernah ia bentuk di sepanjang perjalanan.

Ia menemui Panglima Polim di Meureudu dan Tuanku Hasyim Banta Muda di Padang Tiji. Selanjutnya dia mencari kontak dengan mertuanya; Teuku Umar Meulaboh. Setelah berkomunikasi, ia kembali ke Lamnga. Sebelumnya, jabatan dan tanggung jawab perang telah ia serahkan kepada Teuku Nyak Muhammad.

Selalu ada pengkhianat di tiap perjuangan. Belanda membelanjakan banyak uangnya untuk membiayai para mata-mata yang bekerja siang malam mengendus keberadan Panglima Perang Aceh Wilayah Timur.

Hingga pada Selasa, 21 Juli 1896, telik sandi musuh berhasil menemukan keberadaan sang mujahid. Belanda yang sudah sangat tidak sabar, segera menyiapkan 2000 pasukan mengepung Lamnga.

Ia ditangkap di atas tempat tidur. Meski dalam kondisi lemah, ia tetap tidak kooperatif. Dia sempat meludahi serdadu penjajah yang mencoba menangkapnya. Tapi penyakit yang mendera tubuhnya membuat ia tidak mampu memberikan perlawanan lebih.

Dia dan keluarganya diseret ke hadapan Letnan Kolonel Soeters. Di tengah gulita malam, disaksikan oleh anak dan istrinya, Panglima Besar itu dipancung. Darah menyembur dari batang lehernya yang putus ditebas kelewang musuh. Darah yang menyembur menandakan sang mujahid tidak sedikitpun takut mati. Hidup mulia dan mati syahid merupakan simbol perjuangannya.

Kepalanya dibawa ke Kutaraja, dipajang di beranda Rumah Sakit Militer sebagai tanda kemenangan kaum kafir harbi tersebut. Kepala sang as-syahid ditaruh di dalam toples kaca berisi alkohol dan terapung-apung di dalamnya.

Jangan katakan mati, mujahid yang tewas di medan perang, mereka hidup bahagia, senantiasa bermandikan rahmat Tuhan.

Jangan dianggap mati, meski nyatanya demikian. Jangan ragukan kekasih hati. Ada firman Tuhan.

Jangan sebutkan mati, meski nyawa sudah tiada. Di sisi Ilahi ia abadi. Senantiasa bersuka ria.

Sumber: Disarikan dari berbagai sumber seperti buku Perang Kolonial Belanda di Aceh, Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda, Hikayat Prang Sabi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here